KABARBURSA.COM – Mantan Presiden Donald Trump kembali ke Gedung Putih dan membawa janji kampanye “drill, baby, drill” dan “repeal, baby, repeal (Bor aja terus!” dan “Cabut aja terus!)” untuk menggenjot industri minyak. Namun, beberapa pendukung industri khawatir bahwa kebijakan ini mungkin terlalu cepat dan agresif.
Dilansir dari Politico, Jumat, 8 November 2024, para ahli menyebut permintaan minyak global mungkin telah mencapai puncaknya. Banyak perusahaan minyak pun berencana menurunkan produksi tahun depan karena harga minyak mentah yang turun. Selain itu, ancaman Trump untuk menaikkan tarif impor bisa meningkatkan ketegangan dagang, menaikkan biaya, dan menutup akses pasar internasional.
Produksi minyak AS melonjak di era Biden. Trump sebelumnya menegaskan berniat mendorongnya lebih tinggi lagi. Dalam kampanye, ia mengklaim produksi bisa empat atau lima kali lebih besar dari saat ini—klaim yang dianggap tak realistis oleh eksekutif industri.
Banyak anggaran untuk energi surya, angin, dan kendaraan listrik diperkirakan akan dipotong. Fokus pemerintah akan berpindah ke industri minyak, gas, dan batu bara. Namun, tidak semua eksekutif yakin perubahan ini akan berdampak besar pada jumlah produksi. CEO ExxonMobil, Darren Woods, menyatakan produksi AS tidak terhambat oleh aturan pemerintah.
Selama minggu pertama masa jabatan, Trump diharapkan akan mengeluarkan perintah eksekutif untuk mempercepat izin ekspor gas alam cair (LNG). Namun, rencana ini mungkin terganjal oleh kebijakan tarif yang dapat memicu perang dagang dengan negara seperti China yang bisa menyulitkan ekspor.
Trump juga diperkirakan akan membekukan aturan baru dari EPA perihal biaya emisi metana, serta mengarahkan Departemen Dalam Negeri AS untuk meningkatkan luas lahan federal untuk pengeboran.
Siapa yang akan ditunjuk Trump sebagai pemimpin kementerian penting akan menjadi penentu utama keberhasilan kebijakan ini.
Tarik Ulur Kebijakan Trump
Alex Conant, mantan staf Gedung Putih, memperingatkan kebijakan yang terlalu dipenuhi loyalis tanpa pengalaman bisa berujung pada kebijakan yang tidak matang. Pada masa kepemimpinan Trump sebelumnya, izin proyek energi fosil sering diberikan dengan cepat, tetapi akhirnya terjerat litigasi panjang, seperti pada proyek pipa minyak Keystone XL yang batal. Beberapa proyek lain, seperti pipa gas Mountain Valley, berhasil diselesaikan namun setelah bertahun-tahun tertunda dan biaya membengkak.
American Exploration & Production Council (AXPC) mengingatkan pendekatan yang terlalu memihak dapat membuat proyek rentan digugat di pengadilan, terutama jika Partai Republik menguasai Gedung Putih dan Kongres. Menurut Rachel Ziemba dari Ziemba Insights, meski Trump ingin meningkatkan produksi minyak, kondisi ekonomi global dan perlambatan permintaan mungkin akan membatasi pertumbuhan tersebut.
Selain itu, rencana tarif impor yang tinggi dari Trump bisa berdampak negatif pada permintaan energi di AS. Menurut Peterson Institute for International Economics, tarif ini bisa membebani konsumen rata-rata hingga USD2.600 per tahun karena perusahaan akan menaikkan harga. Tarif ini juga bisa memicu perang dagang yang menekan ekonomi global dan mengurangi permintaan bahan bakar.
Trump diharapkan akan terus mendukung energi fosil dalam jangka menengah. Namun, jika kebijakan tarif menghambat perdagangan, dampaknya bisa membebani ekspor AS. Industri minyak AS, yang bergantung pada pasar dan bahan baku dari luar negeri, sudah berusaha agar Trump tidak melanjutkan tarif yang memberatkan, seperti untuk bahan baku baja dan aluminium.
Sementara itu, permintaan bahan bakar global mulai melemah. Menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA), pertumbuhan pesat kendaraan listrik di China dan Eropa berdampak pada penurunan permintaan minyak. OPEC juga memangkas perkiraan kebutuhan minyak tahun depan.
Jason Bordoff dari Columbia University menilai fokus besar Trump pada energi fosil bisa menjadi peluang yang hilang bagi AS untuk memimpin dalam teknologi energi masa depan. Sementara negara-negara Eropa dan Asia berlomba mengembangkan energi terbarukan untuk menjaga ketahanan energi, AS bisa tertinggal jika Trump meninggalkan pengembangan energi generasi baru.
“Terlepas dari pandangan tentang perubahan iklim, China sudah jauh di depan dalam beberapa industri penting,” kata Bordoff. “Ini adalah peluang yang hilang bagi ekonomi AS dan menciptakan ketergantungan pada negara yang kian bersaing ketat dengan AS, dan membahayakan keamanan energi dan nasional.”(*)