KABARBURSA.COM – Menteri Perdagangan Budi Santoso kembali menyita 90.000 rol tekstil dan produk tekstil atau TPT ilegal senilai Rp90 miliar. Barang-barang ini ditemukan oleh Satgas Pengawasan Barang Tertentu yang mengawasi Tata Niaga Impor pada Kementerian Perdagangan (Kemendag).
“Hari ini tim Satgas Impor, seperti yang sudah dilakukan juga sebelumnya, melakukan penyitaan barang ilegal berupa kain tekstil, barang tekstil dan produk tekstil berupa kain gulungan asal impor yang diduga ilegal,” ujar Budi saat meninjau Pergudangan kain tekstil di Kapuk Muara Jakarta Utara, Jumat, 8 November 2024.
Budi menambahkan, pengawasan dilakukan di dua lokasi di Jakarta selama sebulan terakhir. Pengawasan pertama di Kelurahan Roa Malaka, Jakarta Barat, menemukan 30.000 rol TPT senilai Rp30 miliar. Pengawasan kedua menemukan 60.000 rol TPT senilai Rp60 miliar. “Jadi totalnya sekitar 90 miliar. Barang ini diduga ilegal karena tidak ada persetujuan impor. Kemudian tidak ada laporan surveyor dan juga legislasi K3L (Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan),” jelas Budi.
Mantan Sekretaris Jenderal Kemendag ini menegaskan hasil temuan barang TPT ilegal ini akan ditindaklanjuti dengan memperkuat pengawasan dan koordinasi lintas instansi guna melindungi pasar dalam negeri. “Kami sesuai dengan arahan Bapak Presiden agar terus melakukan pemberantasan penyelundupan. Jadi tim Satgas sudah bekerja keras, dan mudah-mudahan ke depannya tidak ada lagi barang-barang penyelundupan seperti ini,” kata Budi.
Menurut Budi, langkah ini diharapkan akan melindungi industri dari persaingan tidak sehat akibat masuknya barang selundupan yang merugikan produsen dan konsumen dalam negeri.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Rusmin Amin, mengungkapkan masuknya barang impor ilegal menjadi tantangan besar yang membawa dampak luas terhadap perlindungan konsumen dan perekonomian masyarakat. Ia menegaskan Satgas akan terus melakukan pengawasan intensif demi melindungi industri dalam negeri dari ancaman produk ilegal.
“Selain itu, Instansi yang tergabung dalam satgas akan melanjutkan tugasnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing,” katanya.
Industri Tekstil Terjepit Gempuran Impor
Industri TPT nasional sempat megap-megap dan berada di titik kritis. Musababnya, gempuran barang impor menyingkirkan kelangsungan sektor ini. Para pelaku usaha yang terdampak pun berharap dukungan pemerintah untuk melindungi pasar domestik.
Menurut Ketua Kompartemen Sumber Daya Manusia Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Harrison Silaen, tanda-tanda keterpurukan terlihat dari anjloknya kapasitas operasional pabrik-pabrik tekstil yang kini hanya beroperasi pada utilitas 45 persen. Perusahaan tekstil, kata Harrison, rela mempertahankan karyawan tanpa ada pekerjaan dan omzet. “Ini akan membuat perusahaan lebih merosot lagi,” ujar Harrison kepada wartawan di Akademi Komunitas Tekstil, Surakarta, Selasa, 25 Juni 2024, lalu.
Harrison mengungkapkan kondisi ini sebenarnya telah berlangsung selama hampir satu dekade. Namun, periode 2023-2024 adalah masa-masa yang paling sulit bagi industri TPT. Sejauh ini, Harrison mengatakan belum melihat pelaku industri TPT yang benar-benar bisa bertahan dalam kondisi pasar saat ini. Ia menambahkan, di tengah krisis ini, para pengusaha berupaya mempertahankan pabrik demi melindungi jutaan tenaga kerja di sektor tersebut.
“Ada sekitar 3 juta orang yang terserap. Tetapi, kalau sampai mikronya bisa sampai 7,5 juta orang. Ini yang harus kita jaga,” ojar Harrison.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Badan Pengurus Daerah API Jawa Tengah, Lilik Setiawan, juga mengakui penurunan utilitas di pabrik-pabrik tekstil turut menambah risiko pengurangan tenaga kerja. Data yang ia himpun menunjukkan setidaknya 10 pabrik di wilayah Surakarta dan sekitarnya telah tutup pada pertengahan tahun ini.
Menurut Lilik, penjualan produk tekstil domestik semakin sulit. Pasca-pandemi Covid-19, industri tekstil belum sepenuhnya pulih, ditambah dampak dari krisis geopolitik Rusia-Ukraina yang masih berlanjut. “Ini diperparah dengan lesunya market akibat pergeseran prioritas belanja. Masyarakat Eropa, yang jadi target ekspor utama kita, juga mengubah prioritas,” ujar Lilik.
Ia menjelaskan posisi Indonesia sebagai eksportir tekstil juga semakin terdesak oleh negara-negara Indochina, seperti Vietnam, Kamboja, dan Laos, yang menjadi pusat baru industri tekstil akibat pergeseran dari China. Di sisi lain, negara-negara seperti India, Pakistan, dan Bangladesh menawarkan produk tekstil dengan harga lebih murah berkat rendahnya biaya tenaga kerja.
“Semua negara ini punya tujuan ekspor yang sama, yaitu Eropa, Amerika, Kanada, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Karena pasar terbesar ada di sana,” tutup Lilik.(*)