Scroll untuk baca artikel
Makro

Menebak Arah Transformasi Bulog: Perlu Ubah Status Kelembagaan?

×

Menebak Arah Transformasi Bulog: Perlu Ubah Status Kelembagaan?

Sebarkan artikel ini
Beras Bulog Impor
BULOG - Wakil Menteri Pertanian Sudaryono berharap Perum Bulog dapat menyerap lebih dari 10 persen dari total produksi padi pada tahun 2025. (Foto: Int)

KABARBURSA.COM – Beberapa waktu lalu, Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog, Wahyu Suparyono, mengaku bahwa Bulog akan bertransformasi sebagai badan otonom di bawah kendali Presiden Prabowo Subianto. Sementara saat ini, Bulog diketahui berada di bawah pengawasan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk sektor pertanian.

Saat ini, status kelembagaan Bulog sendiri tengah digodok dalam Keputusan Presiden (Keppres). Menteri BUMN, Erick Thohir, beberapa waktu lalu juga mengamini rencana perubahan status Bulog. Adapun langkah tersebut dilakukan agar Bulog dapat menopang target swasembada pangan dengan melakukan operasi pasar sekaligus juga menjaga stabilitas harga.

Erick juga menyebut, berubahnya status Bulog sebagai badan otonom di bawah presiden, mengembalikan tugas dan fungsinya sebagaimana mandat pembentukannya di era Orde Baru. Diketahui, Bulog sendiri didirikan oleh pemerintah Orde Baru dengan mandat pada tahun 1967 untuk mengendalikan harga dan penyediaan harga pokok, terutama pada tingkat konsumen.

Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, terus-terang mengaku hanya bisa menebak upaya transformasi yang dikehendaki Prabowo dan Wahyu Suparyono. Diketahui sebelumnya, perubahan Bulog dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi Perusahaan Umum (Perum) juga hasil kajian mendalam.

“Terus terang, kita yang diluar dan jauh, hanya bisa menebak-nebak transformasi seperti apa yang dikehendaki Presiden Prabowo Subianto dan diemban oleh Dirut Bulog, Wahyu Suparyono,” kata Khudori kepada KabarBursa.com, Minggu, 10 November 2024.

Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, tutur Khudori, negara disebut berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang. Untuk mewujudkan itu pemerintah menyelenggarakan berbagai kegiatan, mulai dari perencanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyediaan dan keterjangkauan pangan.

Adapun kebijakan itu memuat tiga hal penting; pertama kebijakan peningkatan produksi, kedua pengelolaan cadangan nasional, dan ketiga perdagangan luar negeri atau impor berdasarkan Pasal 12 hingga 14 dalam UU Nomor 18/2012. Sedang dalam hal keterjangkauan, kata Khudori, diatur dalam Pasal 46 yang menyebut pemerintah melaksanakan kebijakan yang mencakup antara lain kebijakan stabilisasi pasokan dan harga pangan serta bantuan pangan.

 

Klik Hal Selanjutnya…

Sementara stabilitas pasokan dan harga pangan, Khudori juga menyebut, UU Pangan mewajibkan pemerintah mengelola stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.

Di Pasal 14 disebutkan bahwa sumber penyediaan Pangan berasal antara lain dari Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional. Sementara di Pasal 51 ayat 2, kata Khudori, disebutkan bahwa Pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan pangan yang bertujuan untuk stabilisasi harga pangan, manajemen cadangan, dan penciptaan iklim usaha yang sehat.

Begitu juga dengan fungsi dan kewajiban, kata Khudori, amanat pemerintah yang dapat menugaskan BUMN Pangan. Di UU Nomor 18/2012, dia menyebut, kriteria BUMN pangan mengerucut kepada institusi seperti Bulog.

Bahkan, Khudori menyebut, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional (Bapanas), dari 9 komoditas yang diurusi Bapanas 3 di antaranya eksplisit diserahkan pengelolaannya kepada Bulog, yaitu beras, jagung, dan kedelai.

Khudori menyebut, enam komoditas lainnya pengelolaannya bisa diserahkan ke Bulog atau BUMN pangan lain seperti ID Food. Seandainya Bulog tidak lagi berbentuk BUMN, dia khawatir tidak kewenangan sebagai operator pengelolaan komoditas pangan tidak lagi Milik Bulog.

“Kalau BULOG tidak lagi berbentuk BUMN implikasinya tidak lagi bisa mendapatkan penugasan untuk menjadi operator pengelolaan komoditas pangan yang jadi obyek cadangan pangan pemerintah,” ungkapnya.

“Baik dalam pengadaan (pembelian dalam negeri maupun impor), pengelolaan (pemeliharaan dan distribusi ke seluruh wilayah), dan penyaluran (untuk berbagai keperluan, baik operasi pasar, bantuan bencana atau kebutuhan darurat dan penyaluran ke masyarakat miskin seperti bantuan sosial),” tambahnya.

Transformasi Tak Perlu Mengubah

Kendati menganggap pemerintah telah memikirkan implikasi perubahan bentuk kelembagaan Bulog, Khudori menilai ada langkah lain untuk memperkuat peran Bulog di sektor pangan. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan penguatan regulasi.

“Mengintegrasikan kebijakan, tertama beras, yang terbuka di hilir menjadi terintegrasi lagi; hulu-tengah-hilir. Kebijakan tak terintegrasi setelah Raskin/Rastra diubah jadi bantuan pangan nontunai (BNPT) sehingga BULOG tak lagi memiliki saluran/outlet pasti beras di hilir,” ungkapnya.

Khudori menegaskan, komoditas beras tidak bisa bertahan lama. Jika beras disimpan melebihi batas konsumsi, mutu komoditas tersebut akan turun, bahkan rusak. Pada tahap ini, kata Khudori, peran Bulog dibutuhkan untuk mempercepat perputaran komoditas.

“Outlet pasti penyaluran di hilir adalah bagian untuk memastikan beras yang diserap Bulog itu bisa berputar cepat sehingga prinsip first in first out bisa dilakukan dengan baik. Dengan begitu beras di gudang selalu fresh karena berganti dengan yang baru,” jelasnya.

Khudori menegaskan, integrasi kebijakan perbesaran bisa dilakukan dengan mewajibkan penerima BPNT berasnya dipasok oleh BULOG. Pemerintah tinggal menentukan berapa besar kebutuhan penyalurannya. Menurutnya, angka ideal berada di antara 1,5 hingga 2,0 juta ton. Sisanya, BULOG bisa menyalurkan lewat berbagai keperluan, terutama operasi pasar SPHP.

Di samping penguatan peran Bulog, Khudori juga menilai perlu ada perubahan sistem penganggaran saat ini yang bersifat pasca-bayar yang berlaku sejak 2019. Intinya, kata dia, Bulog disilahkan bekerja melakukan pengadaan baik yang berasal dari produksi domestik maupun impor, dengan pengelolaan dan penyaluran baru bisa mengklaim atau menagih ke pemerintah.

“Masalahnya, Bulog bekerja menggunakan kredit perbankan berbunga komersial. Dari pengadaan hingga penyaluran, bahkan hingga pembayaran klaim bisa memakan lama. Semakin lama semakin besar beban bunga yang ditanggung, semakin mahal pula harga pokok penjualan beras Bulog. Ini berujung pada harga beras Bulog kurang kompetitif di pasar,” ungkapnya.

Idealnya, tutur Khudori, untuk keperluan cadangan beras pemerintah (CBP) sekitar 1,5 juta ton, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui mekanisme Penyertaan Modal Negara (PMN) dengan kebutuhan anggaran sekitar Rp30 triliun.

“Ini sekali saja. Setelah itu, tidak perlu ada lagi PMN serupa. Jika ini dilakukan, beban bunga bank otomatis tidak ada. Implikasinya, harga pokok beras BULOG akan turun drastis dan membuatnya kompetitif di pasar,” jelasnya.

Stabilisasi Di Pasar

Di samping dua pendekatan tersebut, Khudori menilai, pemerintah dapat memperbesar pangsa pasarnya menjadi 20 persen. Menurutnya, beras pemerintah tidak selalu disimpan di gudang, tetapi selalu ada di pasar sebagai bagian untuk melakukan stabilisasi.

Kalau harga beras naik, kata Khudori, masyarakat punya alternatif pilihan beras Bulog dengan harga yang terjangkau. Di samping itu, Bulog juga perlu memastikan kualitas berasnya baik dan bersaing dengan kompetitor.

“Kalau ini bisa dilakukan, pemerintah tak lagi bertindak sebagai pemadam kebakaran seperti saat ini: melakukan operasi pasar saat harga tinggi. Tapi pemerintah setiap saat bisa menjaga harga di pasar lewat market share 20 persen itu.

“Jadi terjadi perubahan paradigma: dari stabilisasi hargha menjadi harga stabil. Penguatan itu bisa dilakukan pemerintah tanpa harus mengubah kelembagaan BULOG,” tutupnya.(*)