KABARBURSA.COM – Beberapa waktu lalu, Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog, Wahyu Suparyono, mengaku bahwa Bulog akan bertransformasi sebagai badan otonom di bawah kendali Presiden Prabowo Subianto. Sementara saat ini, Bulog diketahui berada di bawah pengawasan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk sektor pertanian.
Saat ini, status kelembagaan Bulog sendiri tengah digodok dalam Keputusan Presiden (Keppres). Menteri BUMN, Erick Thohir, beberapa waktu lalu juga mengamini rencana perubahan status Bulog. Adapun langkah tersebut dilakukan agar Bulog dapat menopang target swasembada pangan dengan melakukan operasi pasar sekaligus juga menjaga stabilitas harga.
Erick juga menyebut, berubahnya status Bulog sebagai badan otonom di bawah presiden, mengembalikan tugas dan fungsinya sebagaimana mandat pembentukannya di era Orde Baru. Diketahui, Bulog sendiri didirikan oleh pemerintah Orde Baru dengan mandat pada tahun 1967 untuk mengendalikan harga dan penyediaan harga pokok, terutama pada tingkat konsumen.
Menanggapi wacana tersebut, Pengamat BUMN, Herry Gunawan, menilai kerja Bulog akan bertabrakan dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Pasalnya, status kelembagaan Bulog memungkinkan badan tersebut tak lagi tunduk pada regulasi korporasi, melainkan pada presiden.
“Bulog tidak lagi tunduk pada regulasi tentang korporasi maupun BUMN. Dia hanya tunduk pada lembaga sesuai yang ditetapkan oleh regulasinya nanti. Persoalannya, Bulog akan bertabrakan dengan Badan Pangan Nasional yang juga sudah memiliki fungsi stabilisasi harga pangan,” kata Herry kepada KabarBursa.com, Senin, 11 November 2024.
Herry bahkan menilai, keberadaan Bulog tidak lagi tidak lagi menjadi sesuatu yang urgen. Pasalnya, BUMN sendiri memiliki holding khusus di bidang pangan, yakni ID FOOD. “Sebaiknya Bulog ditiadakan saja. Kan tugasnya sudah ada di Badan tersebut. Untuk BUMN, sudah ada ID Food. Jadi keberadaan Bulog sudah tidak ada urgensinya lagi,” ungkapnya.
Untuk menunjang program swasembada pangan, Herry menilai, Bulog tidak memiliki peran khusus. Mengingat produksi pangan berkaitan langsung dengan Bapanas dan Kementerian Pertanian. Sementara untuk penyaluran cadangan pangan, kata Herry, dapat dilakukan oleh ID FOOD atau jaringan BUMN pangan yang realisasinya dikontrol oleh Bapanas.
“Kita mendukung program ketahanan pangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada saat bersamaan, pemerintah harus membuat ekosistem yang lebih efisien untuk mencapai program tersebut. Lembaga yang tidak perlu, ya sudahi saja keberadaannya,” tutupnya.
Transformasi Tak Perlu Mengubah Status Kelembagaan
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menilai, ada langkah lain untuk memperkuat peran Bulog di sektor pangan tanpa perlu mengubah status kelembagaannya. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan penguatan regulasi.
“Mengintegrasikan kebijakan, tertama beras, yang terbuka di hilir menjadi terintegrasi lagi; hulu-tengah-hilir. Kebijakan tak terintegrasi setelah Raskin/Rastra diubah jadi bantuan pangan nontunai (BNPT) sehingga BULOG tak lagi memiliki saluran/outlet pasti beras di hilir,” kata Khudori kepada KabarBursa.com, Minggu, 10 November 2024.
Khudori menegaskan, komoditas beras tidak bisa bertahan lama. Jika beras disimpan melebihi batas konsumsi, mutu komoditas tersebut akan turun, bahkan rusak. Pada tahap ini, kata Khudori, peran Bulog dibutuhkan untuk mempercepat perputaran komoditas.
“Outlet pasti penyaluran di hilir adalah bagian untuk memastikan beras yang diserap Bulog itu bisa berputar cepat sehingga prinsip first in first out bisa dilakukan dengan baik. Dengan begitu beras di gudang selalu fresh karena berganti dengan yang baru,” jelasnya.
Khudori menegaskan, integrasi kebijakan perbesaran bisa dilakukan dengan mewajibkan penerima BPNT berasnya dipasok oleh BULOG. Pemerintah tinggal menentukan berapa besar kebutuhan penyalurannya. Menurutnya, angka ideal berada di antara 1,5 hingga 2,0 juta ton. Sisanya, BULOG bisa menyalurkan lewat berbagai keperluan, terutama operasi pasar SPHP.
Di samping penguatan peran Bulog, Khudori juga menilai perlu ada perubahan sistem penganggaran saat ini yang bersifat pasca-bayar yang berlaku sejak 2019. Intinya, kata dia, Bulog disilahkan bekerja melakukan pengadaan baik yang berasal dari produksi domestik maupun impor, dengan pengelolaan dan penyaluran baru bisa mengklaim atau menagih ke pemerintah.
“Masalahnya, Bulog bekerja menggunakan kredit perbankan berbunga komersial. Dari pengadaan hingga penyaluran, bahkan hingga pembayaran klaim bisa memakan lama. Semakin lama semakin besar beban bunga yang ditanggung, semakin mahal pula harga pokok penjualan beras Bulog. Ini berujung pada harga beras Bulog kurang kompetitif di pasar,” ungkapnya.
Idealnya, tutur Khudori, untuk keperluan cadangan beras pemerintah (CBP) sekitar 1,5 juta ton, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui mekanisme Penyertaan Modal Negara (PMN) dengan kebutuhan anggaran sekitar Rp30 triliun.
“Ini sekali saja. Setelah itu, tidak perlu ada lagi PMN serupa. Jika ini dilakukan, beban bunga bank otomatis tidak ada. Implikasinya, harga pokok beras BULOG akan turun drastis dan membuatnya kompetitif di pasar,” jelasnya.
Di samping dua pendekatan tersebut, Khudori menilai, pemerintah dapat memperbesar pangsa pasarnya menjadi 20 persen. Menurutnya, beras pemerintah tidak selalu disimpan di gudang, tetapi selalu ada di pasar sebagai bagian untuk melakukan stabilisasi.
Kalau harga beras naik, kata Khudori, masyarakat punya alternatif pilihan beras Bulog dengan harga yang terjangkau. Di samping itu, Bulog juga perlu memastikan kualitas berasnya baik dan bersaing dengan kompetitor.
“Kalau ini bisa dilakukan, pemerintah tak lagi bertindak sebagai pemadam kebakaran seperti saat ini: melakukan operasi pasar saat harga tinggi. Tapi pemerintah setiap saat bisa menjaga harga di pasar lewat market share 20 persen itu. Jadi terjadi perubahan paradigma: dari stabilisasi harga menjadi harga stabil. Penguatan itu bisa dilakukan pemerintah tanpa harus mengubah kelembagaan BULOG,” tutupnya.
Klik Hal Selanjutnya…
DPR Dorong Kelembagaan Bulog Dibawah Presiden
Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Titiek Soeharto, menilai pemerintah tak perlu mencari roll model pertanian yang baru. Jika sistem pertanian di era pemerintahan sebelumnya dirasa baik untuk kembali diterapkan, dia berpandangan lebih baik pemerintah menggunakan sistem pertanian serupa. Hal itu dia ungkap menyusul wacana kolaborasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan dengan Kementerian Pertanian untuk memperkuat koordinasi.
Dalam wacana tersebut, Kementerian BUMN akan memberi wewenang kepada Perum Bulog untuk melakukan operasi pasar sebagaimana yang dilakukan pada pemerintahan terdahulu.
Akan tetapi, Bulog tidak lagi dibebankan dengan kerugian negara begitu beroperasi di pasar. Hal yang sama juga dilakukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pertamina, di mana kedua perusahaan itu melakukan kompensasi subsidi yang di audit oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK).
“Kalau saya pribadi ya, kita ngapain sih musti cari-cari formula baru gitu. Kalau waktu jamannya, bukan karena Pak Harto (jaman pemerintahan orde baru), ya, jamannya Pak Harto dulu kita bisa swasembada beras gitu. Kenapa kita nggak tinggal nyontek saja lihat dan bisa disesuaikan dengan kekiniannya, ke suasana sekarang gitu,” kata Titiek kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 5 November 2024.
Titiek menilai, pemerintah tidak perlu malu meniru pendekatan yang diterapkan pemerintah orde baru. Menurutnya, perlu pendewasaan pemerintah untuk memisahkan kebijakan yang baik dan buruk untuk diterapkan kembali di era sekarang. “Jadi nggak usah malu lah kalau nyontek dengan yang dulu, yang berhasil gitu ya. Yang jelek kita tinggalin, yang bagus bisa kita lanjutkan gitu,” tegasnya.
Diketahui, Bulog sendiri didirikan oleh pemerintah Orde Baru dengan mandat pada tahun 1967 untuk mengendalikan harga dan penyediaan harga pokok, terutama pada tingkat konsumen. Titiek menegaskan, apapun keberhasilan program di era orde baru, tidak mengatasnamakan Soeharto. Melainkan program yang dibentuk oleh anak-anak bangsa.
“Apapun program-program dulu, keberhasilan dulu, zaman dulu, itu bukan produknya Pak Harto, tapi produk dari anak-anak bangsa yang pintar-pintar gitu. Jadi terusin saja,” jelasnya.
Lebih jauh, Titiek menegaskan, kinerja Bulog masih tetap pada kesejahteraan petani, terlepas dari posisi koordinasinya di Kementerian BUMN maupun Kementerian Pertanian. Dia pun enggan menjawab posisi Komisi IV dalam wacana kolaborasi BUMN Pangan. Akan tetapi, dia menilai baiknya Bulog berada di bawah presiden langsung. “Ya gimana, lihat nanti gimana. Di bawah presiden mestinya,” tutupnya.
Klik Hal Selanjutnya…
Upaya Mengembalikan Fungsi Bulog
Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN, Erick Thohir, menyambut baik rencana kolaborasi yang hendak dilakukan BUMN Pangan dan Kementerian Pertanian. Menurutnya, kolaborasi tersebut sejalan dengan target swasembada pangan yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
Erick juga mengaku telah bertemu dengan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, untuk membahas kerja sama kolaborasi dengan BUMN Pangan. Wujud yang hendak dibangun melalui BUMN ini adalah mengembalikan fungsi Perum Bulog seperti sebelumnya.
“Kita sudah bersemangat untuk bekerjasama untuk memberikan solusi. Salah satunya misalnya Bulog dikembalikan perannya seperti zaman dulu,” kata Erick kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 4 November 2024.
Dengan kembalinya fungsi tersebut, kata Erick, Bulog bisa beroperasi di pasar. Akan tetapi, begitu beroperasi, Bulog tidak lagi dibebankan dengan kerugian negara. Hal yang sama dilakukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pertamina, Erick menyebut kedua perusahaan itu melakukan kompensasi subsidi yang di audit oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK).
“Seperti yang kita lakukan dengan Pertamina PLN, ketika mereka sudah melakukan kompensasi subsidi di audit BPK, nanti sisa dananya di top-up, dibantu kembali,” katanya.
Sementara itu, Erick merencanakan mengguyur BUMN Pangan dengan dana Rp26 triliun untuk menunjang operasi pasar. Dana itu digelontorkan agar para petani bisa mendapat kepastian dari hasil produksinya. Dengan begitu, petani hanya perlu memikirkan produksi, sementara pemerintah akan menjadi pemasok atau off taker.
“Nanti setelah operasi pasar, setahun kemudian diaudit, atau enam bulan kemudian, atau tiga bulan. Ternyata dari operasi pasar itu ada kerugian Rp6 triliun. Tapi ini bukan kerugian korupsi karena memang untuk memproteksi harga-harga yang diciptakan petani yang selama ini, tadi disampaikan petani ini selalu tertinggal. Ya, policy-nya ada,” tutupnya.
Ditemui terpisah, Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, menilai pembentukan BUMN Pangan perlu dilakukan untuk menyelaraskan kerja BUMN dan Kementerian Pertanian dalam mencapai swasembada pangan.
“Kenapa sih Kementerian Pertanian lari sendiri? Kementerian Pertanian ayo dong kolaborasi dong dengan BUMN-BUMN sehingga BUMN juga punya keuntungan,” kata Herman kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 4 November 2024.
Politikus Partai Demokrat ini menyebut kolaborasi antara BUMN Pangan dan Kementerian Pertanian akan membuat kinerja perusahaan menjadi lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari fraud dalam pengelolaan perusahaan negara. “Insyaallah ke depan lebih baik,” katanya.(*)