Scroll untuk baca artikel
Makro

Dirut Garuda Wanti-wanti Tiket Pesawat semakin Mahal, Dipicu Kenaikan PPN 12 Persen

×

Dirut Garuda Wanti-wanti Tiket Pesawat semakin Mahal, Dipicu Kenaikan PPN 12 Persen

Sebarkan artikel ini
MGL1338 11zon scaled
TIKET PESAWAT - Menteri BUMN Erick Thohir memastikan bahwa tarif tiket pesawat untuk periode liburan Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 di sejumlah maskapai penerbangan nasional mengalami penurunan sebesar 10 persen. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)

KABARBURSA.COM – Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra memperingatkan potensi kenaikan harga tiket pesawat seiring diterapkannya kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.

Peringatan tersebut disampaikan dalam paparan Public Expose Tahunan 2024 di Cengkareng, Tangerang, Bantej, Senin, 11 November 2024.

Irfan menjelaskan bahwa dengan adanya kenaikan PPN, harga tiket pesawat dipastikan akan terdampak.

“Siap-siap, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan membuat harga tiket pesawat ikut naik,” kata Irfan.

Ia memaparkan bahwa komponen utama yang membentuk harga tiket pesawat antara lain adalah tarif jarak, Iuran Wajib Jasa Raharja (IWJR) sebagai asuransi penumpang, biaya tambahan (surcharge), dan pajak layanan bandara (PSC/airport tax).

Menurut Irfan, kenaikan PPN 12 persen akan memengaruhi biaya-biaya tersebut, yang akhirnya meningkatkan harga tiket.

“Kalau semua komponen biaya naik, siapa yang harus menanggungnya? Tentu saja, yang terbanglah (penumpang) yang akan menanggung biaya tambahan tersebut,” jelas Irfan.

Meski begitu, Irfan menegaskan bahwa sejak 2019, Garuda Indonesia telah mengikuti regulasi pemerintah terkait tarif tiket pesawat, termasuk batas tarif atas yang ditetapkan.

Namun, dengan adanya kenaikan PPN pada komponen biaya tiket, Garuda tetap harus memastikan perusahaan tetap profitable, sesuai komitmen yang dibuat kepada pemegang sahamnya.

“Kami berjanji untuk tetap menguntungkan, meski kami bisa saja menjual tiket murah, seperti Rp500.000 ke Denpasar, tetapi itu tidak akan menguntungkan,” ujarnya.

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen akan berlaku mulai 2025. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Airlangga menambahkan bahwa ketentuan tersebut dijadwalkan akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU HPP.

“Undang-undangnya sudah jelas, tarif PPN naik jadi 12 persen pada 2025,” kata Airlangga saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis, 8 November 2024.

16 Komponen yang Mempengaruhi Harga Tiket Pesawat

Pengamat energi Komaidi Notonegoro menegaskan bahwa avtur bukanlah faktor utama yang menyebabkan mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia. Menurutnya, harga tiket pesawat ditentukan oleh 16 komponen biaya, dan avtur hanya satu di antaranya.

“Tidak tepat jika tingginya harga tiket penerbangan domestik semata-mata dikaitkan dengan mahalnya avtur,” jelasnya di Jakarta, Senin 7 Oktober 2024.

Komaidi, yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengungkapkan bahwa sesuai dengan ketentuan Permenhub Nomor 20 Tahun 2019, harga tiket pesawat terdiri dari berbagai komponen seperti tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, serta biaya tambahan (surcharge). Tarif jarak itu sendiri mencakup biaya langsung dan biaya tidak langsung.

Lebih rinci, biaya langsung terbagi menjadi biaya operasi langsung tetap, seperti penyusutan atau sewa pesawat, asuransi, gaji tetap kru dan teknisi, serta biaya pelatihan. Sementara itu, biaya operasi langsung variabel mencakup pelumas, avtur, tunjangan kru, pemeliharaan, jasa kebandarudaraan, jasa navigasi penerbangan, jasa ground handling, hingga biaya katering.

“Berdasarkan Permenhub tersebut, harga tiket pesawat yang dibayar konsumen digunakan untuk menutup sekitar 16 komponen biaya maskapai, termasuk pajak, asuransi, dan surcharge. Jadi, kenaikan harga tiket bukan hanya soal avtur, melainkan juga dipengaruhi 15 komponen lainnya,” tegas Komaidi yang juga merupakan pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi di Universitas Trisakti.

Ia menambahkan, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa porsi biaya avtur dalam komponen harga tiket pesawat hanya berkisar antara 20–40 persen. Dengan kata lain, masih ada sekitar 60–80 persen komponen biaya penerbangan lainnya di luar avtur. “Jika hanya fokus pada avtur untuk menurunkan harga tiket, maka kebijakan yang diambil bisa jadi tidak proporsional,” tambahnya.

Komaidi turut membandingkan porsi biaya avtur dari beberapa maskapai internasional. Pada 2019, kontribusi avtur terhadap total biaya penerbangan di Garuda Indonesia, Thai Airways, Singapore Airlines, Qatar Airways, dan Emirates masing-masing sebesar 27, 27, 29, 36, dan 32 persen. Namun, pada 2023, porsi tersebut meningkat menjadi 36, 39, 31, 41, dan 36 persen.

Kenaikan tersebut, menurut Komaidi, sejalan dengan lonjakan harga minyak dunia, di mana harga minyak jenis Brent naik dari USD64,30 per barel pada 2019 menjadi USD82,49 per barel pada 2023. Sementara, harga minyak jenis WTI meningkat dari USD56,99 per barel pada 2019 menjadi USD77,58 per barel pada 2023.

Komaidi menekankan bahwa persoalan ini memerlukan sinergi antar pemangku kepentingan untuk mencari solusi komprehensif.

“Dibutuhkan kebijakan yang bijaksana dan kolaborasi semua pihak. Tidak perlu saling menyalahkan, melainkan duduk bersama untuk menyelesaikan masalah yang ada,” pungkasnya. (*)