KABARBURSA.COM – Upaya dunia dalam melawan perubahan iklim sempat terguncang ketika Donald Trump, sebagai Presiden Amerika Serikat, memutuskan menarik negaranya dari perjanjian iklim internasional. Meski begitu, negara-negara lain, bersama dengan kota-kota, pemerintah daerah, dan perusahaan swasta, berusaha menutupi kekosongan peran yang ditinggalkan AS.
Namun, banyak pakar khawatir kembalinya Trump menjabat sebagai presiden AS akan memiliki dampak yang lebih merusak terhadap perjuangan memperbaiki iklim. Pandangan Trump yang meremehkan perubahan iklim—di samping dia memimpin ekonomi terbesar dunia—para pakar mengkhawatirkan negara-negara lain seperti Tiongkok akan menggunakan alasan ini untuk mengendurkan upaya mereka dalam menekan emisi karbon. Padahal, Negeri Tirai Bambu ini adalah pengguna fosil dan penyumbang karbon terbesar di dunia.
“Tidak ada harapan untuk mencapai iklim yang aman tanpa aksi nyata dari AS, Tiongkok, dan Eropa,” kata ilmuwan iklim Stanford University, Rob Jackson, yang memimpin Global Carbon Project, dikutip dari Renewable Energy World, Senin, 11 November 2024.
Jackson yakin dunia sedang melewati batas pemanasan 1,5 derajat Celsius sejak zaman pra-industri, meski beberapa pihak percaya target tersebut masih dapat dicapai. Kemenangan Trump datang saat dunia mencatat tahun terpanas karena dihantam oleh kekeringan, badai, banjir, dan kebakaran hutan.
“Trump yang lebih berani akan membawa bencana,” kata CEO European Climate Foundation, Laurence Tubiana, pada Agustus lalu.
Rabu lalu, Tubiana, mantan pejabat Prancis yang ikut merancang Kesepakatan Paris 2015 yang ditinggalkan Trump, menyebut hasil pemilu AS sebagai kemunduran untuk aksi iklim global. Namun, ia menambahkan, “Kesepakatan Paris terbukti tangguh dan lebih kuat dari kebijakan satu negara.”
Negosiasi iklim tahunan PBB yang mengikuti Kesepakatan Paris akan dimulai pekan depan di Baku, Azerbaijan. Dalam beberapa bulan mendatang, semua negara, termasuk AS, harus mengeluarkan rencana nasional yang menunjukkan upaya mereka untuk menekan emisi dari batu bara, minyak, dan gas alam.
“Baku akan menjadi ujian awal ketahanan rezim iklim global,” kata Direktur Asia Society Policy Institute, Li Shuo. Ia memperkirakan Uni Eropa dan Tiongkok akan menggantikan posisi AS, terutama secara ekonomi. “Ini juga harus menyatukan negara-negara lain,” katanya.
Pada 2017, ketika Trump mengumumkan AS keluar dari Kesepakatan Paris, tak ada satu negara pun yang mengikuti langkah tersebut. “Tidak ada satu negara pun yang keluar mengikuti AS,” kata Alden Meyer, analis negosiasi iklim dari lembaga pemikir Eropa, E3G. “Kami melihat lahirnya gerakan ‘We Are Still In’ di AS yang didukung aktor lokal, investor, pengusaha, gubernur, wali kota, dan lainnya.”
Meyer dan beberapa pihak mengatakan, langkah yang lebih serius dari sekadar keluar dari Paris mungkin terjadi. Trump bisa menarik AS dari perjanjian dasar 1992 yang menetapkan pengendalian perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati sebagai tujuan lingkungan global, serta mundur dari sistem PBB yang memfasilitasi negosiasi, mencatat emisi, dan memantau aksi iklim.
Project 2025 dan Bayangan AS Mundur dari Kesepakatan Iklim
Project 2025, cetak biru kebijakan konservatif pasca-pemilu, merekomendasikan agar AS menarik diri dari Kesepakatan Paris dan kerangka PBB soal perubahan iklim. Meski tim kampanye Trump berusaha menjauhkan diri dari dokumen ini, isinya dirancang oleh para sekutunya.
Pada 1992, Presiden George H.W. Bush menandatangani Konvensi Rio yang membentuk Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Dari perjanjian ini, lahirlah Kesepakatan Kyoto dan Paris. Senat AS menyetujui Konvensi Rio, tetapi menolak Protokol Kyoto 1997, yang kemudian diputuskan ditinggalkan oleh Presiden George W. Bush.
Saat perjanjian Paris 2015 disusun, aturan dibuat agar sifatnya sukarela dan terintegrasi ke dalam Konvensi Rio. Hal ini memungkinkan Presiden Joe Biden untuk bergabung kembali dengan Paris tanpa persetujuan Senat pada 2021. Namun, keluar dari Rio dan UNFCCC akan mempersulit AS kembali ke negosiasi iklim di masa depan, kata Alden Meyer, analis negosiasi iklim dari E3G. David Waskow dari World Resources Institute setuju dan mengatakan, langkah ini akan mengeluarkan AS dari arena pembicaraan iklim internasional.
Kesepakatan Paris mewajibkan negara-negara untuk menyusun rencana yang lebih agresif untuk mengurangi emisi setiap lima tahun. Biden berencana menyerahkan rencana terbaru AS sebelum masa jabatannya berakhir, sebagai contoh tentang apa yang bisa dan seharusnya dilakukan.
Namun, Meyer menduga kuat pemerintahan Trump tidak akan melanjutkannya. Ia mengibaratkan sikap AS terhadap iklim seperti karakter Lucy dalam kartun Peanuts yang terus menarik bola dari Charlie Brown. “Dunia lelah dengan sikap ini,” ujarnya.
Sejarawan negosiasi iklim, Joanna Depledge, memprediksi masa jabatan baru Trump berarti empat tahun hilang untuk aksi iklim AS. “Namun dunia sudah terbiasa dengan sikap AS yang inkonsisten dan tidak akan teralihkan dari usaha mereka sendiri,” sindirnya.
Selama pemerintahan Trump yang pertama, pandemi 2020 dan jadwal tenggat waktu Paris membuat negosiasi PBB tidak seambisius yang diharapkan. Tahun ini, kata Depledge, pertemuan PBB memerlukan tindakan segera.
Kepala iklim PBB, Simon Stiell, menegaskan negosiasi harus tetap berjalan karena fakta dasarnya tak berubah. “Pemanasan global sudah menghantam setiap negara dan menekan anggaran nasional dan rumah tangga tiap tahun,” katanya.
Minggu depan, perwakilan AS di bawah pemerintahan Biden tetap akan hadir dalam negosiasi penting untuk membahas bantuan finansial bagi negara miskin dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, kekalahan Harris dalam pemilu melemahkan posisi negosiator AS. “Karena semua tahu, AS kemungkinan tidak akan menepati perjanjian apa pun yang ditandatangani,” ujar Rob Jackson dari Stanford.
Dalam negosiasi di masa kepemimpinan Demokrat, kesepakatan AS-Tiongkok sering kali mendorong kesepakatan global. Biasanya, AS berhasil mendorong Tiongkok untuk lebih ambisius dalam menghadapi perubahan iklim, kata Li Shuo dari Asia Society. “Beijing akan melihat situasi di Washington dan menyimpulkan bahwa iklim tidak lagi menjadi prioritas seperti sebelumnya,” jelasnya.
Namun, meskipun tantangan yang berat, para negosiator iklim tetap optimistis. “Ada penawar bagi keputusasaan,” kata mantan kepala iklim PBB, Christiana Figueres. “Penawarnya adalah aksi nyata di lapangan yang terjadi di seluruh penjuru bumi.”(*)