Scroll untuk baca artikel
Makro

Setumpuk Tanya Dibalik Joint Statement Indonesia-China

×

Setumpuk Tanya Dibalik Joint Statement Indonesia-China

Sebarkan artikel ini
prabowo subianto xi jinping
Keputusan Indonesia bergabung dalam kelompok ekonomi BRICS mendatangkan keuntungan dan kerugian yang datang bersamaan, baik dari sisi geopolitik dan ekonomi. (Foto: IG Presiden Republik Indonesia)

KABARBURSA.COM – Dosen Universitas Paramadina, Peni Hanggarini menegaskan, diplomasi Indonesia dan China mesti berdasar pada kepentingan nasional. Dia menegaskan, diplomasi yang dibangun seyogyanya tidak memuat transaksi bisnis.

Hal itu ia ungkap dalam acara diskusi publik yang digelar virtual bertajuk Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China pada Jumat, 15 November 2024. Diketahui, Indonesia dan China mengeluarkan pernyataan bersama atau joint statement terkait kerja sama maritim usai pertemuan bilateral Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping di Beijing, beberapa waktu lalu.

“Diplomasi internasional seharusnya tetap dalam rangka kepentingan nasional, dan tidak ada urusannya dengan transaksi-transaksi bisnis atau lainnya,” ungkap Peni dalam paparannya.

Peni pun mempertanyakan joint statement yang disepakati Indonesia-China lantaran memuat dua kemungkinan, antara mutual benefit dan asymmetric relation. Menurutnya, kedua pertanyaan ini perlu dipertegas karena menyangkut hubungan Indonesia-China ke depan.

“Apakah ada kesetaraan dalam hubungan China – Indonesia? Dan kedua, apakah ada keuntungan, benefit yang didapat? Apakah bisa mengoptimalkan diplomasi? Meskipun dalam hal power dan ekonomi Indonesia masih di bawah China,” jelasnya.

Peni juga mempertanyakan kesamaan kepentingan dalam joint statement Indonesia-China. Ia menilai, hal ini perlu dipertegas untuk memastikan keberlanjutan diplomasi. Pasalnya, dalam kemitraan ekonomi, China merupakan investor terbesar bagi Indonesia setelah Singapura.

“Lalu taktik apa yang bisa dimainkan? Dalam hal kemitraan ekonomi, China adalah investor kedua terbesar dengan Indonesia, yang pertama Singapura. Neraca perdagangan kedua negara juga tidak begitu buruk,” tutupnya.

‘Oleh-oleh’ dari China Dianggap Pemanis

Diberitakan sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri China, Li Qiang, di Great Hall of the People, Beijing, Sabtu, 9 November 2024. Pertemuan ini merupakan bagian dari agenda kunjungan resmi Prabowo ke China, yang diharapkan dapat memperkuat hubungan bilateral kedua negara, khususnya dalam bidang ekonomi.

Dalam kesempatan tersebut, Prabowo mengungkapkan bahwa sejumlah kontrak kerja sama antara perusahaan-perusahaan Indonesia dan China akan segera ditandatangani. Nilai total investasi yang terlibat diperkirakan mencapai lebih dari USD10 miliar atau sekitar Rp156,54 triliun, berdasarkan nilai tukar saat ini.

Guru Besar Bidang Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai, Rp156,56 triliun nilai investasi yang dibawa oleh Prabowo hanya menjadi pemanis lantaran dinilai tidak berkaitan dengan joint statement. Ia menilai, mesti ada yang bertanggungjawab di Kemenlu RI ihwal siapa yang menyiapkan naskah joint statement. 

Kendati naskah itu diduga disiapkan oleh China, Hikmahanto menilai, pihak Kemenlu RI mestinya mengingatkan Prabowo ihwal joint statement tersebut. Menurutnya, harus ada pihak yang mengundurkan lantaran menyangkut kedaulatan bangsa dan negara.

Pasalnya, klaim overlapping di 9 dash line dinilai menjadi modal bagi China untuk mengabarkan dunia internasional bahwa Indonesia telah mengakui keberadaan 9 dash line. Di sisi lain, Hikmahanto juga mengungkap, dua hari setelah joint statement, China melakukan klaim internasional.

“Dengan joint statement itu, dikhawatirkan nelayan-nelayan china boleh saja mengambil ikan di wilayah 9 dash line yang dalam wilayah ZEE Indonesia, dengan fasilitas kapal mereka yang lengkap, ada cold storage, tonase kapalnya besar,” kata Hikmahanto dalam acara Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China pada Jumat, 15 November 2024.

“Sementara nelayan kita mau ke wilayah China tidak akan mampu karena butuh bahan bakar yang lebih banyak. Kapal nelayan kita juga banyak yang masih tradisional. Tidak menutupi cost dibanding ikan yang didapat,” tambahnya.

China, tutur Hikmahanto, setiap pemerintahan baru di Indonesia selalu mencoba memprovokasi untuk menguasai 9 dash line di wilayah Indonesia. Hal itu sempat terjadi pada zaman Presiden Joko Widodo (Jokowi) di tahun 2016 hingga 2020. Akan tetapi, provokasi tersebut gagal lantaran Jokowi membuat rapat di KRI Imam Bonjol. “Sekarang dicoba lagi di era Prabowo. China tetap ingin 9 dash line-nya diterima,” jelasnya.

“Yang jadi masalah sekarang adalah Joint Statement Prabowo dengan Xi Jinping, meski itu bukan instrumen hukum, tapi itu mengindikasikan jangan-jangan (menurut China) Indonesia sudah mengakui 9 dash line,” tutupnya.(*)