KABARBURSA.COM – Anggota komisi VII DPR RI Hendry Munief, mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berdampak negatif kepada sektor UMKM.
Menurutnya saat ini menurutnya bukan saat yang tepat untuk menaikkan pajak di saat semua pihak berjuang menyelematkan ekonomi nasional.
“Pasca Covid-19 ekonomi kita tidak bertumbuh. Itu dibuktikan dengan pendapatan pajak tahun 2024 yang tidak sesuai target. Jika tahun 2025 PPN dinaikkan, bukan ekonomi saja yang tidak bertumbuh, tapi Indonesia gagal jadi negara maju ke depannya,” kata Hendry dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin, 18 November 2024.
Ia menegaskan bahwa UMKM memiliki peran krusial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan jumlah yang mencakup 99 persen dari total unit usaha. Pada tahun 2023, terdapat sekitar 66 juta pelaku usaha UMKM. Kontribusi UMKM terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 61 persen, atau setara dengan Rp 9.580 triliun.
“Yang pertama merasakan dampak kenaikan pajak ini sektor UMKM. Baik sektor UMKM mandiri atau UMKM sebagai mitra dan instrumen pendukung industri skala besar. Logikanya ini akan mempengaruhi 61 persen pendapatan ekonomi nasional,” ungkap ungkap legislator PKS itu..
Lanjutnya ia juga menegaskan, efek lain dari kenaikan pajak yaitu menurunkan daya beli atau konsumsi masyarakat. Hampir 60 persen ekonomi Indonesia yang masih ditopang oleh sektor konsumsi, utamanya dari kelas menengah bawah yang sebagian karakternya ‘hobi belanja’, jadi dampak PPN ini bisa menurunkan konsumsi kelas menengah.
“Penurunan daya beli ini akan mempengaruhi kelas menengah, bahkan bisa membawa kelas menengah bawah turun kelas, menjadi kelas bawah. Faktanya dalam lima tahun terakhir kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Kalau jadi dinaikkan, maka otomatis akan menambah kelas bawah. Dan ini bahaya untuk ekonomi kita, ” paparnya.
Ia menekankan bahwa kenaikan PPN pada Januari 2025 bukanlah yang pertama dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, PPN juga telah dinaikkan pada tahun 2022.
Adapun mulanya, tarif PPN sebesar 10 persen, kemudian meningkat menjadi 11 persen pada tahun 2022, dan akan naik lagi menjadi 12 persen pada tahun 2025. Secara akumulatif, kenaikan PPN dalam lima tahun terakhir mencapai 20 persen, bukan hanya 2 persen. Angka 2 persen merujuk pada peningkatan tarif, namun jika dihitung secara persentase, kenaikannya adalah 20%.
“Implikasi lain pada harga, harga produk akan meningkat, jika pilihan dari perusahaan adalah mempertahankan tenaga kerjanya, konsekwensinya adalah keuntungan dari sektor privat berkurang, dan pada gilirannya adalah investasi pada selanjutnya berkurang. Yang pada gilirannya juga pada penyerapan tenaga kerja yang turun pada periode selanjutnya.” tegasnya.
“Sebaiknya pemerintah menunda kenaikan PPN ini, di tengah melemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Itu ditandai dengan deflasi 5 bulan berturut-turut, yang mengindikasikan hal tersebut. Masih ada instrumen lain untuk peningkatan pendapatan nasional yang lebih elegan dan tidak berisiko.” tutupnya.
Kelas Menengah Makan Tabungan
Fenomena kelas menengah yang mulai “memakan” tabungannya untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin marak.
Berdasarkan data terbaru dari Bank Indonesia (BI), proporsi tabungan masyarakat terus mengalami penurunan. Pada Oktober 2024, angka tabungan hanya tercatat 15 persen, lebih rendah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya yang masing-masing tercatat 15,3 persen pada September dan 15,7 persen pada Agustus 2024.
Menurut para ekonom, fenomena ini diprediksi akan semakin memburuk, terutama dengan diterapkannya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan bahwa kenaikan PPN ini akan memperparah kondisi kelas menengah, yang saat ini sudah menghadapi tekanan ekonomi.
“Kecepatan peningkatan upah riil justru turun, sementara biaya hidup terus meningkat meskipun inflasi terbilang rendah. Inflasi yang rendah ini sebenarnya mencerminkan permintaan yang juga rendah,” kata Faisal, Minggu, 17 November 2024.
Faisal juga mengungkapkan bahwa saldo tabungan di bank, terutama untuk rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta, terus menurun. Sekitar 99 persen rekening perbankan di Indonesia memiliki saldo di bawah angka tersebut.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa dengan bertambahnya biaya hidup, baik karena kebijakan seperti kenaikan PPN maupun faktor lainnya, pendapatan kelas menengah akan semakin tergerus. Ini berpotensi mengurangi tabungan mereka lebih lanjut,” ungkap Faisal.
Faisal juga memperkirakan bahwa fenomena ini akan berdampak pada melambatnya permintaan domestik dan penurunan pengeluaran konsumsi kelas menengah.
“Selain menurunnya tingkat pengeluaran, mereka yang masih memiliki tabungan pun terpaksa menggunakannya,” ujar Faisal.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai bahwa kenaikan PPN 12 persen datang pada waktu yang buruk bagi kelas menengah.(*)