KABARBURSA.COM – Keputusan bersejarah dari Bank Sentral Jepang (BoJ) untuk mengakhiri rezim bunga negatif dan pertama kalinya menaikkan suku bunga acuan setelah 17 tahun, dapat memiliki dampak signifikan pada konstelasi dana global mengingat Jepang merupakan “eksportir” dana terbesar di dunia saat ini.
Aliran dana investor Jepang ke luar negeri telah didorong oleh pencarian mereka atas imbal hasil yang lebih tinggi karena rendahnya tingkat pengembalian investasi di Jepang selama 17 tahun terakhir, bahkan dengan penetapan bunga negatif sejak tahun 2016. Ketika rezim bunga berubah dan kemungkinan adanya kenaikan suku bunga BoJ di masa mendatang, aliran dana Jepang ke luar negeri bisa terhambat, bahkan bisa mengalami “repatriasi” dana, meninggalkan aset-aset di luar negeri.
Jepang saat ini menjadi pemegang surat utang Amerika Serikat (AS) terbesar dengan nilai kepemilikan mencapai US$1,15 triliun, diikuti oleh China dan Inggris. Selain bagi AS, posisi Jepang juga memiliki dampak signifikan bagi Indonesia sebagai kreditur terbesar ketiga setelah Singapura dan AS.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia terhadap Jepang saat ini mencapai US$22,45 miliar per Januari 2024. Dengan asumsi kurs JISDOR per 19 Maret sebesar Rp15.712/US$, nilai ULN tersebut setara dengan Rp352,73 triliun, mengalami penurunan 8% dibandingkan dengan Januari 2023.
Sementara itu, nilai ULN Indonesia dalam denominasi yen Jepang pada Januari lalu mencapai US$20,55 miliar, setara dengan Rp322,88 triliun. Utang Indonesia dalam yen menjadi yang terbesar keempat setelah ULN berdenominasi dalam dolar AS, rupiah, dan euro.
Perubahan kebijakan fundamental seperti kenaikan suku bunga oleh BoJ akan berdampak langsung pada Indonesia, mengingat pentingnya posisi Jepang sebagai kreditur utama.
Ketika BoJ mengambil keputusan besar tersebut, nilai yen Jepang langsung melemah ke level terendah tahun ini terhadap dolar AS dan euro, bahkan mencapai melemah terburuk sejak 2008 terhadap euro. Terhadap rupiah, yen melemah 0,64% menjadi Rp103,89/¥, terendah sejak November lalu. Dengan penguatan rupiah terhadap yen, posisi ULN dalam denominasi yen menurun, yang relatif menguntungkan bagi Indonesia. Dengan demikian, pada konteks ini, kenaikan suku bunga oleh Jepang saat ini belum menjadi ancaman bagi keamanan utang Indonesia.
Kemungkinan Rupiah Melemah Akibat Capital outflow
Namun, di sisi lain, posisi Jepang sebagai salah satu kreditur terbesar Indonesia juga membuat rentan arus modal asing di Indonesia ketika imbal hasil di Jepang meningkat karena kenaikan suku bunga.
Sebagai kreditur, investor Jepang memiliki kepemilikan yang cukup dominan atas Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia, selain bentuk utang lainnya. Tingkat imbal hasil yang lebih menarik di Jepang bisa mendorong dana para investor Jepang untuk kembali ke negaranya sendiri, mengurangi likuiditas modal asing di Indonesia. Dampaknya, rupiah bisa melemah karena arus modal keluar.
Meskipun demikian, saat ini kenaikan suku bunga Jepang masih sangat kecil, yaitu di kisaran 0%-0,1%. “Level ini belum mengganggu fondasi ‘carry trade’ global dan aset di negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain itu, sebagian besar aset yang dimiliki investor Jepang di luar negeri berada di AS dan Eropa, sehingga dampaknya masih minim bagi Indonesia,” kata Head of Equity Research Satria Sambijantoro.
Saat ini, tingkat imbal hasil atau yield obligasi pemerintah Jepang, Samurai bond (JGB) tenor 10 tahun, berada di level 0,741%. Sementara itu, imbal hasil surat utang negara RI, INDOGB, tenor yang sama, berada di level 6,623%.
Dibandingkan dengan kelompok negara maju saja, imbal hasil obligasi Jepang sangat rendah — yield Treasury 10Y sudah mencapai 4,293%, apalagi dibandingkan dengan Indonesia yang memiliki peringkat utang di bawah Jepang dan termasuk dalam kategori aset yang lebih berisiko.
Namun, jika inflasi di Jepang sulit dikendalikan di masa mendatang dan membuka potensi kenaikan suku bunga lebih lanjut di Jepang, hal itu dapat menjadi risiko bagi Indonesia dan dunia.
BoJ menargetkan inflasi sebesar 2%. Namun, kenaikan upah pekerja sebesar 5,28%, yang merupakan kenaikan terbesar dalam 33 tahun terakhir, berpotensi meningkatkan inflasi di atas 2%. Target inflasi dapat tercapai jika kenaikan upah berada di kisaran 3,7%. Karena kenaikan upah melebihi angka tersebut, BoJ akhirnya mengambil keputusan besar untuk menaikkan suku bunga agar dapat menurunkan inflasi ke target.
Saat ini, inflasi Indeks Harga Konsumen di seluruh Jepang mencapai 2,2% pada Januari. Sementara itu, inflasi inti Jepang, yang tidak termasuk harga makanan segar dan energi, pada Januari mencapai 3,5%. Inflasi inti di luar makanan segar mencapai 2%.
Data inflasi Februari akan dirilis oleh otoritas Jepang pada 22 Maret mendatang. Analisis ekonom Bloomberg sebelum keputusan BoJ hari ini memperkirakan bahwa inflasi di luar harga makanan segar pada Februari akan naik secara signifikan ke 2,8% dari sebelumnya 2%. Namun, kenaikan ini lebih disebabkan oleh efek basis yang rendah tahun lalu. Jika tidak memperhitungkan faktor tersebut, inflasi inti Jepang diperkirakan berada di kisaran 1,2% secara tahunan.
“Kita harus siap dengan berbagai kemungkinan bahwa kenaikan bunga akan berlangsung lebih cepat ketimbang prediksi karena kenaikan upah yang tinggi, di mana itu akan mendorong peningkatan belanja konsumen,” kata Yuichi Kodama, ekonom di Meiji Yasura Research Institute seperti dikutip dari Bloomberg News.
Dalam keputusan yang diumumkan kemarin, Bank of Japan menyatakan kenaikan suku bunga acuan menjadi 0%-0,1%, mengakhiri pengendalian kurva imbal hasil (yield curve control/YCC), menghentikan pembelian ETF serta J-REIT, serta mengurangi pembelian obligasi komersial dan korporasi. Namun, BoJ tetap akan melanjutkan pembelian surat utang pemerintah (JGB) dengan nilai yang sama seperti sebelumnya, sekitar ¥6 triliun per bulan.
Arus modal asing yang keluar dari Indonesia, terutama dari pasar SBN, sepanjang tahun ini cukup tinggi. Data Bank Indonesia hingga 14 Maret lalu mencatat bahwa investor nonresiden membukukan posisi net sell SBN sebesar Rp23,34 triliun. Sementara itu, di pasar saham, posisi nonresiden masih net buy sebesar Rp19,68 triliun, dan di instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia sebesar Rp23,84 triliun.