Scroll untuk baca artikel
Market Hari Ini

Uang Asia Jatuh Dipicu Serangan Israel dan Hawkish Fed

×

Uang Asia Jatuh Dipicu Serangan Israel dan Hawkish Fed

Sebarkan artikel ini
Mata Uang Asia
Mata uang dunia (Foto: Shutterstoc)

KABARBURSA.COM Mata uang Asia mengalami penurunan nilainya sebagai dampak dari meningkatnya sentimen pasar menyusul serangan Israel kepada Iran pagi ini, sementara pernyataan hawkish dari Federal Reserve telah lebih dulu meningkatkan popularitas dolar Amerika Serikat (AS).

Won Korea Selatan mengalami penurunan lebih dari 1 persen nilai tukarnya, menjebol level psikologis 1.400 per dolar AS, diikuti oleh penurunan rupee India yang turun ke level terendah baru. Peso Filipina juga mengalami penurunan tajam bersamaan dengan penurunan rupiah, dolar Singapura, baht Thailand, dan dong Vietnam.

Namun, di Asia Tenggara, hanya ringgit Malaysia yang mengalami kenaikan tipis sebesar 0,1 persen. Sementara itu, yuan China tetap stabil karena bank sentralnya menetapkan kurs pada level yang stabil.

Di wilayah lain, peso Meksiko juga mengalami penurunan nilainya terhadap yen. Banyak investor ritel yang melepas peso dan beralih ke yen yang dianggap sebagai tempat yang aman (safe haven).

Yen Jepang dan franc Swiss masih menguat dalam perdagangan Asia menjelang siang ini. Franc Swiss menguat sebesar 1 persen terhadap dolar AS, sementara yen Jepang menguat sebesar 0,6 persen.

Penguatan dua mata uang tersebut berbarengan dengan indeks dolar AS yang semakin merangsek naik di atas 106, sejurus dengan langkah para pemodal di pasar yang berburu aset safe haven di tengah ketegangan yang meningkat cepat pasca serangan Israel ke Iran pagi ini.

Para pejabat Asia bergerak aktif melawan penguatan dolar AS. Beberapa negara memilih bersatu, namun semuanya sepakat menginginkan stabilitas nilai tukar.

Pernyataan terbaru datang dari menteri mata uang Jepang, yang menekankan kembali komitmen Kelompok Tujuh (G-7) untuk mencegah pergerakan nilai tukar yang tidak terkendali.

Sebelumnya Korea Selatan mengatakan telah membahas masalah mata uang dengan Jepang dan berjanji untuk melawan fluktuasi drastis – dan mendapat persetujuan diam-diam dari AS. Sementara itu, China juga berjanji untuk menghindari fluktuasi berlebihan pada yuan.

Para pembuat kebijakan di negara-negara berkembang di kawasan ini lebih proaktif dalam mengambil tindakan. Bank Indonesia melepas dolar di pasar spot dan derivatif untuk menopang nilai tukar rupiah. Pihak berwenang Malaysia menyatakan siap menggunakan berbagai cara untuk mendukung ringgit.

Pelemahan mata uang begitu drastis sehingga mendapat perhatian dalam pernyataan G-7 yang dirilis Rabu kemarin. Pernyataan tersebut menegaskan kembali komitmen para anggotanya yang digariskan pada Mei 2017. Kesepakatan tujuh tahun lalu itu mengakui bahwa pergerakan mata uang yang tidak terkendali dapat berdampak buruk bagi stabilitas ekonomi dan keuangan, pada dasarnya membuka pintu bagi intervensi dalam keadaan tertentu.

Namun, analis mengatakan kelesuan belum mencapai titik di mana otoritas di seluruh wilayah harus membentuk aliansi dan mendukung mata uang mereka dalam intervensi bersama. Itulah yang terjadi pada pertengahan 1980-an, ketika pejabat keuangan terpenting dunia memberlakukan resolusi untuk melemahkan dolar – kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Plaza atau Plaza Accord .

Komitmen G-7 “cukup baik untuk membangun resistensi psikologis terhadap dolar,” kata Christopher Wong, ahli strategi mata uang di Oversea-Chinese Banking Corp di Singapura. “Hal ini seharusnya memberikan kelonggaran yang lebih lama untuk beberapa mata uang regional yang terkena dampak terburuk seperti won dan yen.”

Volatilitas yang lebih buruk mungkin masih terjadi di masa depan untuk mata uang Asia dan negara-negara berkembang. Karena mereka terus terombang-ambing oleh dolar AS yang kuat dan pemulihan ekonomi China yang lamban. Risiko geopolitik yang membara di Timur Tengah dan pemilu AS mendatang kemungkinan akan mengurangi minat terhadap aset-aset berisiko.

“Kami masih berasumsi bahwa intervensi aktual akan lebih efektif dalam mengamankan kompleks valuta asing Asia karena reli dolar AS didorong oleh perbedaan fundamental makroekonomi dan kebijakan moneter,” kata Homin Lee, ahli strategi makro senior di Lombard Odier. “Para pihak berwenang di kawasan ini akan mempertahankan bias untuk melakukan intervensi sehingga mereka dapat mengulur waktu sebelum paruh kedua ketika perbedaan makro dan kebijakan mulai berbalik arah.”