KABARBURSA.COM – Pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang akan dilaksanakan pada pekan depan, tepatnya pada tanggal 23-24 April, menjadi momen yang krusial untuk menentukan kebijakan bunga acuan serta mengevaluasi kondisi ekonomi domestik dan global saat ini.
Pertemuan tersebut diadakan di tengah tekanan yang signifikan terhadap nilai tukar rupiah, yang telah merosot hingga menjebol level psikologis terlemah sejak April 2020. Dalam situasi seperti ini, Bank Indonesia mungkin akan merasa terdorong untuk meningkatkan suku bunga acuan sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, terutama mengingat sinyal pengetatan moneter yang semakin kuat dari Federal Reserve (The Fed) dan data inflasi yang terus menguat.
Meskipun demikian, kebijakan intervensi langsung ke pasar untuk meredam tekanan pada rupiah memiliki batasan karena cadangan devisa bisa terus tertekan di bawah level yang dianggap aman. Selain itu, beberapa instrumen kebijakan lain seperti penerbitan instrumen operasi moneter jangka pendek untuk menarik modal asing (hot money) mungkin juga tidak akan memberikan dampak yang signifikan, terutama jika para pemodal masih cenderung memilih instrumen dengan bunga yang lebih tinggi.
Dengan demikian, pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia pekan depan akan menjadi momen penting untuk melihat bagaimana Bank Indonesia akan merespons kondisi ekonomi dan keuangan yang semakin kompleks, terutama terkait dengan pergerakan nilai tukar rupiah.
Begitu juga kebijakan repatriasi devisa melalui mandatori penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang sudah dijalankan sejak Agustus tahun lalu, nyatanya kurang bertuah seiring sudah berakhirnya pesta harga komoditas yang memuncak pada 2022 silam. Dalam lanskap itu, pilihan tersisa seolah-olah tinggal BI rate.
Namun, menaikkan BI rate akan membuat pertumbuhan ekonomi semakin jeblok setelah mencatat perlambatan tahun lalu. Daya beli masyarakat bakal semakin tergerus, begitu juga dunia usaha akan kian menghadapi tantangan karena pengetatan ekonomi. Lantas, apa pilihan bagi BI?
Simalakama rupiah sejak awal tahun bersumber dari arah kebijakan bunga global. The Fed yang semula diprediksi akan mulai menurunkan bunga acuan pada Juni kini semakin bergeser ke September dan sekarang bahkan ada potensi bahwa mungkin sepanjang tahun ini tidak ada penurunan bunga sama sekali. Sinyal hawkish yang menguat itu merugikan rupiah karena bunga Amerika yang tinggi akan mendorong dana global tersedot ke dolar AS dan menjatuhkan mata uang lawannya, termasuk rupiah.
Selain faktor sentimen bunga global, perekonomian domestik juga terbebani oleh peningkatan ketegangan geopolitik di Timur Tengah antara Israel dan Iran. Konflik dua negara itu bisa memicu lonjakan harga minyak dunia yang bisa berdampak lebih jauh ke harga energi di negeri ini dan pada akhirnya bisa membebani subsidi dan meningkatkan risiko inflasi.
Bank Indonesia menghadapi situasi sulit karena dari sisi fundamental, rupiah juga rentan. Defisit transaksi berjalan tahun ini diperkirakan semakin melebar setelah pada kuartal IV-2023 lalu sudah defisit 0,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Pada saat yang sama, APBN 2024 juga diperkirakan defisit 2,29 persen dari PDB, bahkan bisa melebar hingga 2,8 persen. Tanpa perbaikan struktural, rupiah sulit untuk bangkit kembali ke level penguatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada hari ini dalam wawancara dengan Bloomberg TV di sela pertemuan IMF-World Bank di Washington DC, Amerika, menyatakan, kombinasi kebijakan fiskal dan moneter dalam situasi saat ini menjadi sangat penting.
“Dalam kasus ini, BI tentu harus menetapkan kebijakan suku bunga acuan, untuk merespons nilai tukar rupiah. Untuk kami dari sisi fiskal, kami harus memastikan bahwa anggaran bisa memainkan peran sebagai peredam gejolak secara efektif dan kredibel,” kata Sri Mulyani sembari menambahkan bahwa pemerintah perlu memastikan defisit anggaran berada di bawah 3 persen, sesuai aturan undang-undang. Untuk itu, belanja negara juga dituntut lebih selektif.
Ini menjadi sinyal paling kuat terbaru dari Bendahara Negara tentang BI rate sejauh ini. Hasil konsensus 22 ekonom yang dihimpun Bloomberg sampai siang hari ini masih memperkirakan BI rate bakal ditahan di 6 persen dalam RDG pekan depan. Hanya enam ekonom yang memperkirakan BI akan mengerek bunga acuan pekan depan sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen.
Bank investasi asal Inggris Barclays menilai, respon dan pernyataan banyak pejabat baik dari pemerintahan maupun bank sentral yang semakin meningkat, menunjukkan tingkat kekhawatiran yang menyiratkan risiko lebih tinggi dari kejatuhan nilai rupiah saat ini. Barclays memperkirakan, BI rate bahkan bisa naik 50 bps meski kenaikan 25 bps masih akan dinilai sebagai langkah kewaspadaan.
Ekonom Bloomberg Economics Tamara M. Henderson, juga memprediksi BI rate akan naik 25 bps pekan depan untuk memperkuat dukungan pada rupiah. “Rupiah sudah kehilangan 5 persen nilainya. Selain itu, ada risiko inflasi dari kenaikan harga minyak, pangan dan biaya logistik [akibat tensi geopolitik Timur Tengah],” kata Tamara.
Inflasi Maret naik di atas batas tengah target Bank Indonesia tahun ini, terdorong lonjakan harga pangan. Selain itu, inflasi dari aktivitas importasi barang juga diwaspadai menyusul lonjakan harga dolar AS yang akan mempengaruhi harga berbagai barang konsumsi.
Sementara Lionel Prayadi, Macro Strategist Mega Capital Sekuritas, menilai, masih ada potensi BI menahan bunga dalam pertemuan pekan depan dan baru akan mengerek BI rate Juni nanti karena rupiah belum menembus level psikologis baru di Rp16.500/USD.
“Dari sisi momentum perlu dorongan rupiah tembus Rp16.500/USD. Kalau itu tidak terpenuhi, kemungkinan besar BI akan tahan suku bunga saja,” kata Lionel.
Rupiah bisa jebol ke level itu apabila kondisi global semakin buruk seperti perang yang berkepanjangan, inflasi Amerika Serikat semakin buruk atau trade balance Indonesia pada Maret semakin buruk. “Sejauh ini belum ada momentum negatif besar seperti itu,” ujar dia.
Badan Pusat Statistik akan melaporkan data neraca dagang Maret pada Senin pekan depan sebelum jadwal RDG BI digelar. Konsensus Bloomberg memperkirakan neraca dagang masih melanjutkan surplus sebesar USD1,3 miliar, naik dibanding Februari yang jatuh ke level terendah enam bulan di angka USD867 juta.
Dalam pernyataan terbaru hari ini di sela pertemuan IMF dan Bank Dunia di Washington DC, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, BI akan terus memastikan stabilitas rupiah tetap terjaga melalui intervensi valas dan langkah-langkah lain yang diperlukan.
Pernyataan itu mengimplikasikan kekukuhan bank sentral memakai pendekatan triple intervention dalam menjaga rupiah, yaitu intervensi di pasar valas spot, forward dan pasar surat berharga negara. Pernyataan itu diperkuat lagi oleh pejabat bank sentral lain siang ini di tengah tekanan pada rupiah yang belum terjeda hingga menyentuh Rp16.282/USD.
“Kami masuk ke pasar lebih luas untuk mempertahankan kepercayaan diri pasar,” kata Edi Susianto, Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia.
Pendekatan intervensi langsung ke pasar masih menjadi pilihan BI bahkan ketika posisi cadangan devisa sudah terkuras USD6 miliar dalam tiga bulan tahun ini.
Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro berpandangan, akan sulit bila BI hanya mengandalkan intervensi pasar untuk membantu stabilitas rupiah mengingat kapasitas cadangan devisa terbatas.
Hitungan Bahana, BI mengintervensi pasar minimal sebesar USD250 juta per hari. Bila intervensi sebesar itu terus dilakukan sampai akhir bulan ini, nilai cadangan devisa April bisa turun lebih dari USD4 miliar.
“Bila intervensi berlanjut terus intervensinya sampai bulan depan, memperhitungkan utang luar negeri yang jatuh tempo serta kebutuhan dolar domestik yang juga tinggi dari pembayaran dividen dan impor migas, maka cadangan devisa bisa turun di kisaran USD4 miliar-USD6 miliar,” kata Satria kepada Bloomberg Technoz.
Posisi utang luar negeri jatuh tempo kurang dari setahun per akhir Februari 2024, mencapai USD69,75 miliar, lebih tinggi dibanding Februari tahun lalu yang masih di posisi USD68,09 miliar. Total ULN Indonesia juga naik pada Februari menjadi USD407,2 miliar.
Selain itu, kebijakan intervensi juga membuat likuiditas rupiah di pasar semakin ketat. Perbankan bisa terkena imbas.
Saat ini, suku bunga pasar uang antar bank (JIBOR) 1, 3 dan 6 bulan bergerak naik masing-masing ke 6,65 persen, 6,93 persen, dan 7,05 persen. Sedangkan bunga PUAB overnight melandai ke 5,88 persen dan JIBOR 1 minggu juga turun ke 6,26 persen.
“Lebih baik BI rate naik sekarang untuk menjaga stabilitas dan cadangan devisa, ketimbang intervensi agresif dengan cadev tapi akhirnya tetap menaikkan BI rate seperti yang terjadi pada Oktober lalu,” kata Satria.
Tahun lalu, BI secara mengejutkan menaikkan bunga pada Oktober ke 6 persen setelah menghabiskan cadangan devisa sekitar USD12 miliar.