Scroll untuk baca artikel
Market Hari Ini

Rupiah di Tepi Jurang, Hampir Mirip Krisis 1998

×

Rupiah di Tepi Jurang, Hampir Mirip Krisis 1998

Sebarkan artikel ini
Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS
Ilustrasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Foto: Int

KABARBURSA.COM – Pasca serangan balasan Israel ke Iran, hampir seluruh bursa saham Asia merosot ke zona merah, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang kemarin ditutup dengan penurunan 1,11 persen ke angka 7.087,82.

Dalam suasana kepanikan tersebut, credit default swap (CDS) Indonesia dalam jangka waktu 5 tahun per 18 April 2024 berada pada angka 76,4 basis poin (bps), mengalami penurunan dibandingkan dengan 12 April 2024 yang mencapai 77,24 bps. Namun, sejumlah data lain menimbulkan kekhawatiran.

Salah satunya adalah kurs rupiah. Menurut data Jisdor Bank Indonesia pada Jumat (19/4), rupiah ditutup di posisi Rp 16.280 per dolar Amerika Serikat (AS), mengalami penurunan sebesar 0,63% dibandingkan dengan hari sebelumnya.

Angka kurs ini mendekati rekor terburuk rupiah sepanjang sejarah saat krisis moneter (krismon) pada pemerintahan Presiden Soeharto, khususnya pada 17 Juni 1998, ketika rupiah mencapai Rp 16.800 per dolar AS.

Berdasarkan data transaksi 16 – 18 April 2024 yang dikutip dari situs Bank Indonesia (BI), asing tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 21,46 triliun. Rinciannya adalah penjualan bersih sebesar Rp 9,79 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), penjualan bersih sebesar Rp 3,67 triliun di pasar saham, dan penjualan bersih sebesar Rp 8 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Sejak awal tahun hingga 18 April 2024, asing telah melakukan penjualan bersih sebesar Rp 38,66 triliun di pasar SBN. Sementara itu, mereka melakukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 15,12 triliun di pasar saham dan Rp 12,90 triliun di SRBI.

Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana memproyeksikan bahwa nilai tukar rupiah kemungkinan akan terus merosot. “Selain akibat ketegangan politik di Timur Tengah dan kenaikan suku bunga global, rupiah juga tertekan oleh keluarnya modal asing dari pasar modal Indonesia,” ungkap dia dikutip Minggu 21 April 2024.

Dolar AS dan Surat Utang Amerika Serikat, kata Fikri, dianggap sebagai tempat perlindungan utama dari gejolak di Timur Tengah. Ditambah dengan kemungkinan penundaan penurunan suku bunga The Fed. Sehingga, investor lebih memilih keamanan daripada keuntungan (risk averse). “Hampir semua negara mengalami tekanan yang sama seperti rupiah. Jadi saya kira tekanan terhadap rupiah saat ini masih wajar,” ujarnya.

Dalam jangka pendek, rupiah diperkirakan akan berada dalam kisaran Rp 15.800-Rp 16.400 per dolar AS. Namun, jika ketegangan geopolitik berlanjut dan tidak ada penurunan suku bunga oleh The Fed, kemungkinan rupiah akan semakin melemah. Skenario terburuk, rupiah bisa turun ke kisaran Rp 16.200-Rp 16.700 per dolar AS pada semester I-2024 dan kemungkinan berada di kisaran Rp 16.400-Rp 17.000 pada akhir tahun ini.

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Adityo Nugroho, menyatakan bahwa di tengah ketidakpastian ini, investor cenderung mencari instrumen safe haven seperti emas dan dolar AS. “Pelaku pasar juga dapat mempertimbangkan saham-saham dengan fundamental yang kuat, sambil menunggu momen yang tepat untuk kembali berinvestasi di pasar saham,” pungkasnya.