KABARBURSA.COM – Pin J, startup binaan dari Startup Studio Indonesia (SSI) yang diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, berupaya keras meningkatkan literasi keuangan bagi para pekerja gig atau akrab disapa freelancer. Mereka butuh sistem untuk mendukung produktivitas mereka.
Co-Founder Pin J, Cynthia Susinto, menyatakan bahwa di Indonesia sekitar 60 persen tenaga kerja atau sekitar 83 juta orang terlibat dalam sektor ekonomi informal dan gig, yaitu pekerja tidak tetap berdasarkan proyek atau jangka waktu tertentu.
Para pekerja tersebut menghadapi tantangan besar, seperti akses terbatas ke modal kerja dan minimnya opsi pinjaman formal, yang sering kali menghambat potensi pendapatan dan stabilitas ekonomi mereka.
“Setiap individu harus memiliki akses ke sumber daya keuangan yang memungkinkan mereka berkembang dalam perekonomian yang dinamis ini,” ujar Cynthia dalam keterangannya di Jakarta, Jumat 27 Mei 2024.
Dengan meningkatkan literasi keuangan dan memperluas inklusi keuangan melalui teknologi, menurutnya, dapat membantu individu untuk mengelola keuangan mereka dengan lebih baik.
Melihat pentingnya sektor ekonomi informal dan gig, Pin J menghadirkan solusi keuangan inovatif melalui kredit ultra-mikro dalam aplikasi dan sistem pencairan dana tertutup (closed-loop) untuk memastikan para pengguna dapat mengakses keuangan secara efisien dan bertanggung jawab.
Dengan membatasi penggunaan kredit untuk pembelian kebutuhan utama seperti bahan bakar, data seluler, dan listrik, Pin J berupaya agar penggunanya dapat memprioritaskan kebutuhan yang esensial.
Pendekatan ini tidak hanya menumbuhkan stabilitas keuangan tetapi juga berkontribusi langsung pada peningkatan literasi keuangan para penggunanya.
Sejak diperkenalkan pada 2022, lebih dari 1.900 pengguna telah terdaftar di platform Pin J, dengan lebih dari 590 transaksi difasilitasi melalui aplikasi. Hal ini menunjukkan dampak nyata pada ekonomi gig Indonesia.
Cynthia menyatakan, ke depannya Pin J menetapkan target untuk terus memperluas jangkauan hingga mencapai jutaan pengguna di seluruh Indonesia.
Direktur Ekonomi Digital, Kemenkominfo, Boni Pudjianto, mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh Pin J, salah satu peserta dari program akselerasi yang digagas kementerian tersebut.
Menurutnya, Pin J tidak hanya menyediakan solusi inovatif yang mendukung kestabilan dan literasi keuangan para pekerja gig di Indonesia, tetapi juga menunjukkan bagaimana teknologi dapat menjadi kunci dalam mendorong inklusi sosial dan ekonomi.
“Lewat inovasi yang dihadirkan ini, semoga dapat menginspirasi para startup tanah air untuk tidak hanya menyuguhkan ide yang inovatif, namun juga responsif terhadap kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Pemerintah Diminta Perhatian
Pemerintah diminta untuk lebih memberi perhatian lagi terhadap pekerja di sektor informal. Sebab, banyak masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor ini.
Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Februari 2024 sebanyak 84,13 juta atau 59,17 persen masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal.
Perlu diketahui, sektor informal adalah pekerjaan yang kegiatannya tidak terdaftar dalam pemerintahan. Beberapa pekerjaan di sektor ini adalah seperti petani, nelayan, pedagang kaki lima, sopir angkot, hingga pengemudi ojek online.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menyatakan sudah saatnya pemerintah kini memberi perhatian lebih kepada pekerja di sektor informal. Menurutnya, pemangku kebijakan harus membuat regulasi sendiri terkait pekerjaan di sektor ini.
“Sektor informal itu menurut saya memang harus dibuat kebijakan regulasi tertentu tersendiri, tidak usah disebutkan bentuk-bentuknya. Tapi lebih kepada ruang lingkupnya saja,” jelasnya kepada Kabar Bursa.
Menurut Trubus, pemberi kerja dan pekerja di sektor informal sifatnya tidak langsung, jadi tidak ada ikatan yang terjalin di antara kedua belah pihak.
Hal tersebut, lanjut dia, membuat para pekerja tidak mendapat hak-hak seperti para karyawan pada umumnya, salah satunya seperti Tunjangan Hari Raya (THR).
Trubus kemudian berbicara kasus terkait ojek online (ojol) yang dinilai layak mendapatkan THR beberapa waktu lalu.
“Seharusnya pihak aplikator itu punya kewajiban tanggung jawab. Misal ojolnya sakit, ga ada perhatian apa-apa. Harusnya kan ada perhatian, seperti kasih sumbangan. Soal jumlah hal lain, tapi paling tidak ada tanggung jawabnya,” tuturnya.
Perjanjian Resmi Perusahaan
Sementara itu Robby, salah satu pengemudi ojek online di wilayah Jakarta, sangat menginginkan adanya ikatan perjanjian resmi antara dirinya dan perusahaan. Dengan begitu, bapak satu anak ini bisa memiliki penghasilan tetap.
“Mau banget kaya ada sistem kontrak gitu. Karena biar saya punya penghasilan tetap. Apalagi sekarang udah bekeluarga dan punya satu anak,” ungkap dia kepada Kabar Bursa.
Selain penghasilan tetap, Robby juga mengatakan dengan adanya ikatan perjanjian dengan perusahaan, dirinya bisa mendapatkan jaminan keselamatan hingga kesehatan kerja.
Di sisi lain, Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian berharap pemerintah memperbanyak lapangan kerja di sektor formal.
Hal itu diungkapkan Eliza bukan tanpa alasan. Ia menilai bekerja di sektor informal kurang memadai untuk jaminan kesehatan, keselamatan, hingga kesejahteraan.
Lebih lanjut dia membeberkan, proporsi tenaga kerja sektor formal pada Februari 2024 mencapai 59,17 persen. Adapun sebelum pandemi Covid-19, proporsi tenaga kerja di sektor ini hanya 57 persen.
Dengan kondisi tersebut, Eliza pun berharap pemerintah harus fokus lagi dalam menciptakan lapangan kerja di sektor formal.
Di sisi lain, Eliza menyebut realisasi investasi yang baik, tidak diiringi dengan penyerapan tenaga kerja yang banyak. Sebab, lanjut dia, investasinya banyak di sektor padat modal seperti industri logam dasar, pertambangan, dan petrokimia.
“Semestinya, pemerintah mendatangkan investasi yang padat karya juga dan dapat bersaing secara global,” tuturnya.