KABARBURSA.COM – Bank Indonesia memiliki proporsi kepemilikan yang signifikan atas surat utang pemerintah (SBN) sebagai hasil dari kebijakan burden sharing dengan pemerintah selama pandemi Covid-19 yang merugikan perekonomian. Situasi ini masih berlangsung hingga saat ini dan pada suatu waktu telah membatasi fleksibilitas bank sentral dalam merancang kebijakan moneter serta menjaga kemandirian kebijakan di masa depan.
Dalam konteks ketidakpastian global yang dapat kapan saja mempengaruhi nilai tukar rupiah, Bank Indonesia menghadapi keterbatasan yang lebih besar dalam mengambil langkah-langkah strategis. Sementara itu, biaya operasional yang meningkat akibat skema burden sharing menimbulkan tekanan tambahan, yang berpotensi mengakibatkan defisit dalam neraca Bank Indonesia. Secara keseluruhan, kelebihan likuiditas yang signifikan bersama dengan neraca yang negatif dapat menghambat efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam jangka panjang.
Hal ini menjadi semakin jelas dalam situasi ketegangan pasar global dalam setahun terakhir. Kepemilikan yang signifikan atas SBN mendorong Bank Indonesia untuk lebih agresif menggunakan SRBI sebagai alat utama untuk menarik modal asing, dengan menawarkan tingkat bunga yang jauh lebih tinggi daripada tingkat bunga BI, dalam upaya untuk mendukung nilai tukar rupiah. Pada lelang SRBI yang dilakukan pada 15 Mei sebelumnya, SRBI dengan jangka waktu 12 bulan ditawarkan dengan tingkat bunga 7,52 persen, yang jauh melebihi tingkat bunga BI sebesar 6,25 persen.
Bunga tinggi SRBI di tengah kepemilikan SBN yang sudah begitu besar, bukan tanpa biaya. Beban operasional BI pada 2022 sudah melonjak mencapai Rp23 triliun dibandingkan Rp4,4 triliun pada 2020, efek skema burden sharing. Ditambah rilis SRBI dengan bunga yang tinggi akan membengkakkan biaya moneter dan memicu defisit anggaran tahun ini hingga Rp29,3 triliun, dari proyeksi surplus neraca tahun 2023 sebesar Rp27,2 triliun.
Defisit neraca bank sentral bisa menurunkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter dan dalam skenario terburuk yaitu ketika rasio modal terhadap kewajiban moneter terus mengecil hingga di bawah 3 persen, negara harus turun tangan melalui suntikan modal tambahan ke bank sentral.
“Bank sentral yang sehat secara finansial, yang tidak perlu bergantung pada pendanaan pemerintah untuk operasionalnya, memungkinkan independensi yang lebih besar dalam kebijakan moneter. Namun, kemunculan surat berharga bank sentral baru seperti SRBI di tengah era kenaikan bunga acuan bisa menaikkan beban moneter yang pada akhirnya mempengaruhi fleksibilitas kebijakan BI dalam jangka panjang,” kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas.
Namun, di sisi lain bila bertujuan mengurangi beban operasi moneter, BI juga tidak bisa begitu saja menjual SBN ke pasar karena akan menyeret rupiah melemah. Ditambah saat ini nilai cadangan devisa sudah berkurang hingga USD10 miliar dalam empat bulan saja dan prospek ekspor yang melemah, situasi BI jadi serba terbatas. “BI kini seperti tersandera, maju kena mundur kena,” kata Ekonom Centre of Economic and Law Studies Bhima Yudistira.
SBN Terbesar BI
Mengacu pada data Kementerian Keuangan terbaru per 15 Mei, BI saat ini memiliki SBN hingga 23,22 persen dari outstanding obligasi negara di pasar. Persentase itu setara dengan Rp1.322,05 triliun, mengalahkan kepemilikan perbankan 22,1 persen dan industri asuransi, dana pensiun dan manajer investasi total 21,98 persen.
Angka itu juga menjadi kepemilikan SBN terbesar oleh BI sepanjang masa, menempatkan BI di kelompok eksklusif bank sentral pemegang terbesar obligasi negaranya sendiri bersama Jepang yang memegang 50 persen obligasi yen.
Semakin besarnya penguasaan BI atas obligasi negara pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan semasa pandemi menerjang yang menjatuhkan perekonomian dalam resesi. Pada 2020 lalu, BI dan pemerintah menyepakati kebijakan burden sharing untuk menutup defisit APBN yang menganga akibat ‘matinya’ perekonomian gara-gara pandemi Covid-19.
Dalam bahasa lebih sederhana, BI mencetak uang dengan membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah, di mana uang utang itu digunakan pemerintah untuk membiayai APBN agar perekonomian tetap berdenyut. Sebagai perbandingan, sebelum pandemi, penguasaan SBN oleh BI di awal 2020 hanya 5 persen dari total outstanding obligasi di pasar.
Skema burden sharing sebenarnya sudah berakhir pada 2022 lalu. Namun, kepemilikan SBN oleh BI malah semakin besar, sebagian karena BI dinilai ‘telat’ menyedot likuiditas dari pasar melalui kenaikan bunga acuan yang seharusnya bisa dilakukan lebih awal sebelum keputusan Oktober 2023 kala rupiah tersudut.
Ketika booming harga komoditas memberikan stok dolar AS memadai di pasar, BI memiliki kesempatan untuk tapering SBN di neracanya.
“Seharusnya setelah berakhir [skema burden sharing], proporsi SBN milik BI turun. Bila ini dilanjutkan, bisa-bisa pemerintah semakin agresif menerbitkan SBN ‘toh ada BI sebagai standby buyer. Disiplin fiskal pemerintah jadi melemah, dan BI seperti berada di bawah ‘ketiak’ pemerintah,” kata Bhima.
Program Presiden Baru
Kekhawatiran bahwa kemerosotan disiplin fiskal itu akan berlanjut, juga muncul seiring dengan berbagai rencana program presiden terpilih Prabowo Subianto yang membutuhkan dana sangat besar seperti makan siang gratis dan kelanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dalam pernyataan terbaru di Qatar Economic Forum, Prabowo menyatakan akan menggeber belanja besar-besaran untuk mendorong pertumbuhan, melalui berbagai program populis yang ia promosikan selama kampanye. Prabowo juga optimistis ekonomi RI bisa dikerek tumbuh sampai 8 persen dalam 2-3 tahun masa pemerintahannya.
Prabowo juga menyebut batas defisit APBN 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai sesuatu yang arbitrer, memberi sinyal bahwa ada potensi pemerintahannya kelak mungkin mengerek defisit demi membiayai berbagai belanja berbiaya jumbo.
Defisit yang melebar bisa mempengaruhi stabilitas peringkat surat utang, salah satu modal berharga Indonesia dalam menjaga perekonomian di tengah gejolak. Ini yang cukup menjelaskan mengapa ketika hasil Pilpres sudah keluar, asing masih terus melepas SBN mereka di pasar, selain imbas sentimen global.
Kepemilikan asing di SBN sampai 15 Mei lalu adalah sebesar Rp791,61 triliun, turun dibanding posisi pekan lalu sebesar Rp797,93 triliun. Berdasarkan data BI, sepanjang tahun ini hingga data setelmen 7 Mei lalu, asing masih membukukan posisi jual neto di SBN senilai Rp46,61 triliun di pasar SBN.