KABARBURSA.COM – Sejumlah kelompok masyarakat sipil menyerukan agar isu kesehatan diarusutamakan dalam pembahasan kebijakan di pemerintah dan DPR.
Hal ini karena isu kebijakan kesehatan sering kali terpinggirkan oleh sektor lain seperti ekonomi dan industri. Seruan ini disampaikan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil dalam acara Sarasehan Kesehatan bertema “Mengarusutamakan Kesehatan dalam Kebijakan untuk Kebajikan” di Jakarta.
Direktur Eksekutif Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Manik Marganamahendra, menyoroti jarak antara penyampaian aspirasi masyarakat dengan pemangku kebijakan sebagai penyebab kebijakan yang kurang tepat. Ia menekankan perlunya pelibatan yang bermakna bagi masyarakat sipil, khususnya orang muda, dalam proses pembuatan kebijakan.
Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau, Nina Samidi, menggarisbawahi dampak negatif rokok terhadap ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan.
Ia menekankan pentingnya implementasi dan monitoring peraturan daerah tentang pengendalian tembakau, serta pengendalian zat adiktif dalam produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah turunan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Risky Kusuma Hartono, menekankan pentingnya kebijakan pengendalian rokok yang ketat, termasuk menaikkan cukai rokok minimal 25 persen dan memperkecil jarak cukai antara Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Gisela Tellys mengusulkan peningkatan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) sebesar 20 persen untuk menurunkan konsumsi dan mengubah perilaku konsumen, yang dapat mencegah kematian terkait konsumsi minuman manis.
Program Manager Stop TB Partnership Indonesia, Nurliyanti, menekankan perlunya implementasi Perpres No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis hingga ke tingkat kabupaten/kota dan memberikan perlindungan sosial kepada pasien TBC.
1000 Days Fund Nahla Jovial Nisa menyoroti masalah stunting dan perlunya peningkatan kondisi puskesmas serta kelengkapan alat-alat kesehatan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara kementerian, lembaga, dan DPR untuk memperbaiki skema kerja di tingkat daerah.
Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan, Benget Saragih, mendorong penerapan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) dan monitoring setiap dua tahun dengan penghargaan dari Kemendagri dan Kemenkes bagi daerah yang berhasil menjalankan aturan tersebut.
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, William Aditya Sarana, menyebut bahwa Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah mengajukan Perda KTR sejak 2019, namun pembahasannya masih belum menjadi prioritas.
Ia optimis bahwa Perda KTR dapat disahkan oleh DPRD DKI Jakarta periode 2025-2029 dengan anggota baru yang lebih sadar akan pentingnya kawasan tanpa rokok.
Kelompok masyarakat sipil yang terlibat dalam seruan ini meliputi Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Stop TB Partnership Indonesia (STPI), 1000 Days Fund, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Pimpinan Pusat Aisyiyah, Yayasan Lentera Anak, Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI), Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Gizi (Ilmagi), dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI).
Turut hadir dalam acara tersebut perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Bappenas, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), DPR RI, dan DPRD DKI Jakarta.
Regulasi Terkait Tembakau
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, mengemukakan pandangan bahwa pasal-pasal terkait tembakau sebaiknya dipisahkan dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan. Menurutnya, produk turunan tembakau telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, sehingga ia mempertanyakan relevansi pengaturan tembakau dalam RPP Kesehatan.
Trubus menyoroti potensi dampak terhadap industri jika regulasi terkait tembakau dimasukkan dalam RPP Kesehatan. Ia menekankan bahwa kebijakan yang terbaik harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak, termasuk industri, dan menyatakan perlunya partisipasi publik yang luas dalam proses penyusunan RPP Kesehatan. Seperti dalam keterangannya di Jakarta.
Ia menyarankan agar pemerintah menunda atau tidak memaksakan pengesahan RPP Kesehatan dalam waktu dekat mengingat masih banyaknya pasal-pasal yang menuai perdebatan publik, termasuk terkait tembakau.
Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) juga berpendapat bahwa pengaturan produk tembakau sebaiknya dipisahkan dari RPP Kesehatan. Mereka menilai bahwa industri hasil tembakau memiliki ekosistem yang berbeda dengan sektor kesehatan dan seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sesuai dengan mandat UU Kesehatan.