KABARBURSA.COM – Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menyatakan bahwa sekitar setengah populasi dunia mengalami kelangkaan air pada tahun 2022. Informasi ini berdasarkan laporan UN Water 2024, lembaga PBB yang menangani isu air global.
“Menurut laporan UN Water 2024, pada tahun 2022 sekitar setengah dari populasi dunia menghadapi kelangkaan air,” ujar Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemenlu, Tri Tharyat, dalam konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Minggu, 19 Mei 2024.
Tri menambahkan bahwa, berdasarkan laporan yang sama, 2,2 miliar orang hidup tanpa akses air minum yang layak, dan 3,5 miliar orang kekurangan akses sanitasi. Masalah ini dianggap sebagai isu serius yang perlu segera ditangani.
Akibat dari permasalahan ini, pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) terkait ketersediaan air dan sanitasi berkelanjutan diakui tidak berjalan sesuai rencana.
“Laporan Sekjen PBB menyebutkan bahwa dari target 2030, pada tahun 2023, negara berkembang secara umum baru mencapai 12 persen. Ini adalah tantangan bersama,” ujar Tri.
Untuk Indonesia, Tri mengklaim bahwa situasinya lebih baik. Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang cukup maju dalam pencapaian SDGs tersebut.
“Indonesia termasuk negara yang cukup maju dalam pencapaian SDGs ini. Pada tahun 2023, target yang dicapai Indonesia melebihi 66 persen,” kata Tri.
Pertemuan World Water Forum (WWF) ke-10 menjadi kesempatan bagi negara-negara untuk berdialog mengenai kesenjangan hak atas air di dunia. WWF ke-10 berlangsung di Nusa Dua, Bali, pada 18-25 Mei 2024.
Forum air terbesar dunia ini akan berfokus pada empat hal: konservasi air, air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi, serta mitigasi bencana alam.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengajak seluruh masyarakat global untuk mendukung program tata kelola perairan yang berkelanjutan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan dalam Dialog G20 Global Blended Finance Alliance yang membahas ‘Sustainable Freshwater and Ocean Wealth’, sebagai bagian dari World Water Forum (WWF) di Denpasar, Bali.
Menurut Trenggono, saat ini, kesenjangan pendanaan menjadi salah satu hambatan utama dalam pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan.
“Forum ini sangat penting sebagai solusi untuk mengatasi kesenjangan pendanaan demi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, terutama di negara-negara berkembang, negara kepulauan kecil, dan negara-negara yang tertinggal,” ujarnya.
Data dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menunjukkan bahwa diperlukan pendanaan sekitar USD175 miliar per tahun untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan. Namun, data dari tahun 2013-2018 menunjukkan bahwa pendanaan untuk SDGs Goal 14 hanya mencapai USD2,9 miliar per tahun.
Trenggono menilai bahwa Skema Global Blended Finance Alliance (GBFA) memiliki peran penting sebagai jembatan untuk mengatasi kesenjangan pendanaan, terutama bagi negara-negara berkembang, kepulauan kecil, dan negara-negara yang tertinggal dalam menghadapi perubahan iklim dan mencapai target SDGs 14.
GBFA melibatkan pemerintah, filantropi, pasar karbon, sektor swasta, pendanaan internasional, serta investor nasional dan internasional.
“Pertemuan ini memiliki peran strategis dalam kolaborasi dan sinergi antara negara-negara dan stakeholder untuk mewujudkan Sustainable Freshwater and Ocean Wealth,” ungkapnya.
Trenggono juga menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki lima program ekonomi biru untuk pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
Program-program tersebut termasuk perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan berkelanjutan berbasis kuota, pengembangan budidaya berkelanjutan di laut, pesisir, dan darat, pengendalian dan pengawasan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta aksi pembersihan sampah plastik di laut melalui partisipasi nelayan.
Trenggono menegaskan bahwa program-program ini berhubungan erat dengan tata kelola sumber daya perairan yang berkelanjutan.
Melalui lima program ekonomi biru tersebut, Indonesia bertujuan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem perairan, memastikan ketersediaan pangan dari sektor kelautan dan perikanan, serta mencapai pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir.
Dia juga menggarisbawahi pentingnya ekosistem perairan yang sehat dalam menangani perubahan iklim global saat ini.
“Indonesia siap untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam hal kebijakan, sumber daya manusia, data dan teknologi, pendanaan, serta memperkuat jaringan pasar dan pelaku usaha,” pungkasnya.