Scroll untuk baca artikel
Market Hari Ini

Pertumbuhan Ekonomi RI akan Stabil hingga Akhir 2024?

×

Pertumbuhan Ekonomi RI akan Stabil hingga Akhir 2024?

Sebarkan artikel ini
MGL4912 11zon
Kawasan bisnis dan perkantoran Jalan Sudirman Jakarta. foto: KabarBursa/abbas sandji

KABARBURSA.COM – Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan stabil di sekitar angka 5 persen sepanjang tahun 2024. Proyeksi ini sejalan dengan perkiraan yang dibuat oleh organisasi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Bahkan, keberlanjutan ketahanan ekonomi Indonesia diperkirakan akan berlanjut hingga tahun berikutnya.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2024 menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan pertumbuhan mencapai 5,11 persen secara tahunan (year on year/yoy), melebihi angka pada periode yang sama tahun 2023. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat bahwa pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2015.

Kabar baik tersebut dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi sepanjang 2024. Namun, di sisi lain, kekhawatiran muncul karena kinerja sektor-sektor utama yang mendukung pertumbuhan tampaknya akan kembali ke level “normal” mulai dari kuartal kedua hingga akhir tahun.

Kepala Riset Pasar Makroekonomi & Keuangan PermataBank, Faisal Rachman, memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan cenderung stabil atau stagnan pada kuartal II 2024, dengan angka sekitar 5,1 persen secara yoy. Jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal II 2023 yang mencapai 5,17 persen, proyeksi pertumbuhan ekonomi ini memang sedikit menurun.

Hal itu terkait dengan adanya faktor high base pada tahun sebelumnya, di mana Ramadhan dan Lebaran jatuh pada kuartal kedua. Sementara pada tahun ini, Ramadhan jatuh pada kuartal pertama dan Lebaran jatuh pada kuartal kedua.

Selama ini, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia selalu menjadi yang terbesar dari segi pengeluaran, bahkan mencapai lebih dari separuh total PDB. Konsumsi rumah tangga juga menjadi penyumbang pertumbuhan tertinggi pada kuartal I 2024, mencapai 2,62 persen.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada periode ini meningkat sebesar 4,91 persen, dibandingkan dengan 4,47 persen pada kuartal IV tahun sebelumnya. Peningkatan ini terutama dipicu oleh datangnya bulan Ramadan pada pertengahan Maret. Hal ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman (di luar restoran) sebesar 4,32 persen, pertumbuhan konsumsi transportasi dan komunikasi sebesar 6,41 persen, dan pertumbuhan konsumsi restoran dan hotel sebesar 6,43 persen.

Harapannya, sisa momen Lebaran masih dianggap sebagai kontributor penting dalam pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua ini. Bulan Mei juga memiliki sejumlah libur nasional dan cuti bersama, yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengeluaran konsumsi pada sektor-sektor tertentu seperti pariwisata dan kegiatan belanja yang bersifat rekreasi atau hiburan.

Walaupun periode Pemilu 2024 telah berakhir, belanja atau konsumsi dari pemerintah dapat ditingkatkan pada kuartal kedua dan seterusnya melalui pembangunan proyek-proyek strategis nasional (PSN), termasuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Terkait dengan PSN, telah terlihat performa positif dalam pencapaian pembentukan modal tetap bruto (PMTB) pada kuartal I 2024, terutama dalam sektor bangunan dan konstruksi yang mencatat pertumbuhan sebesar 5,46 persen. Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan PMTB dalam periode ini didorong oleh investasi publik dan dari pemerintah.

Sektor-sektor Penggerak Ekonomi

Namun, Josua Pardede, yang menjabat sebagai Kepala Ekonom PermataBank sekaligus Kepala Institut Penelitian Ekonomi Permata (PIER), memproyeksikan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan akan mencapai 5 persen mulai tahun 2025 dan seterusnya. Selanjutnya, pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) juga diperkirakan akan stabil atau mengalami sedikit perlambatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun tetap berada dalam kisaran 4 persen.

Pertumbuhan sektor-sektor yang mengandalkan pasar domestik, yakni sektor tersier, diproyeksikan akan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan sektor-sektor yang terkait dengan pasar ekspor, seiring dengan masih adanya ketidakpastian di pasar global.

Sektor informasi dan komunikasi diperkirakan tumbuh 8,52 persen serta sektor transportasi dan pergudangan tumbuh 7,67 sepanjang tahun ini. Proyeksi terhadap sektor-sektor ini lebih tinggi dibandingkan industri pengolahan yang diperkirakan tumbuh 4,90 persen.

Proyeksi industri pengolahan relatif tumbuh bagus, dengan catatan investasi sudah mulai kembali membaik serta ketidakpastian Pemilu 2024 sudah jauh berkurang sehingga investor sudah mulai berinvestasi lagi seiring dengan kepastian kebijakan pemerintahan baru.

Adapun pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan diperkirakan lebih baik setelah El Nino berkurang pada akhir semester pertama. Pada kuartal pertama, sektor ini termasuk bidang dengan pertumbuhan terendah, yakni minus 3,5 persen. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan diperkirakan dapat tumbuh 1,50 persen sepanjang 2024 dari 1,30 persen pada tahun lalu.

Dengan kecenderungan faktor El Nino yang semakin mereda pada semester kedua, diharapkan komponen harga bergejolak akan semakin turun sehingga inflasi di tahun 2024 diperkirakan tetap terkendali pada kisaran 3 persen.

Risiko di Hadapan Indonesia

Ekonom memandang Indonesia akan menghadapi risiko twin deficit, di mana terjadi pelebaran defisit transaksi berjalan sekaligus potensi terjadinya pelebaran defisit APBN. Meski demikian, fundamental ekonomi Indonesia sejauh ini tetap dalam kondisi solid sehingga risiko twin deficit belum terlalu terlihat untuk jangka pendek. Walakin, Pemerintah tetap perlu mengantisipasinya untuk jangka menengah.

Dari sisi global, setidaknya terdapat tiga risiko global yang terus perlu diantisipasi oleh Indonesia, yakni suku bunga acuan Amerika Serikat yang belum akan turun di tahun ini, tensi geopolitik global, serta indikasi perlambatan ekonomi China.

Pada dasarnya, sumbangsih dari sisi konsumsi domestik bagi ekonomi Indonesia masih paling dominan sehingga rambatan risiko geopolitik global tidak langsung berpengaruh pada ekonomi nasional. Dengan struktur ekonomi Indonesia yang sampai saat ini masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga, maka dampak tensi geopolitik global relatif kepada ekonomi riil relatif lebih terbatas.

“Akan tetapi, kita tetap perlu mengantisipasi dampaknya pada beberapa jalur, terutama jalur di pasar keuangan dan jalur perdagangan, karena hal ini akan sangat memengaruhi perkembangan dari harga komoditas global dan berkaitan juga dengan prospek dari ekonomi global itu sendiri,” tutur Josua.

Adapun pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di bawah 5 persen dan berlanjut hingga tahun depan. Dampak dari perlambatan ekonomi China perlu diantisipasi, mengingat lebih dari 20 persen tujuan ekspor Indonesia ke China. Namun, perlambatan ekonomi China juga akan berpengaruh tidak hanya kepada Indonesia tetapi juga kepada seluruh negara di Asia.

Neraca perdagangan Indonesia surplus pada Maret 2024 meningkat menjadi 4,47 miliar dolar AS. Tren surplus berlanjut pada April 2024 sebesar 3,56 miliar dolar AS. Tidak bisa dimungkiri bahwa kinerja perdagangan Indonesia sangat dipengaruhi oleh komoditas seperti batu bara dan minyak kelapa sawit mentah terutama sebelum masa pandemi.

Namun, neraca perdagangan yang surplus terus berlanjut karena adanya faktor hilirisasi nikel. Diharapkan hilirisasi terus berlanjut, tidak hanya pada nikel tetapi juga komoditas-komoditas lain. Indonesia harus bisa menambah value added dengan cara memperpanjang rantai pasok (supply chain) melalui hilirisasi.

“Kami melihat bahwa upaya Pemerintah untuk mendorong diversifikasi dari sisi produk ekspor, ini juga menjadi salah satu langkah untuk bisa menjaga momentum kinerja surplus perdagangan kita ke depannya,” kata Josua.

Diversifikasi negara tujuan ekspor juga menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk menjaga neraca perdagangan tetap surplus. Ini dapat dilakukan, misalnya, penambahan perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dengan berbagai negara lain, baik regional maupun bilateral.

Dengan demikian, Indonesia bisa terhindar dari risiko pelambatan ekonomi di negara-negara yang selama ini menjadi tujuan ekspor, seperti China, apabila melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor.

Meski upaya tersebut memerlukan komitmen jangka panjang, Indonesia saat ini dinilai berada di jalur yang tepat dengan melakukan hilirisasi dan mulai meningkatkan mutu sumber daya manusianya. Ke depan, jika langkah-langkah ini berjalan lancar, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa terakselerasi di atas 5 persen.