KABARBURSA.COM – Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menyampaikan penerapan teknologi digital pada sektor pertanian memiliki sejumlah tantangan.
Eliza menyebut, salah satu rintangan yang bakal dihadapi adalah kemampuan petani dalam beradaptasi dalam penggunaan teknologi tersebut.
“Tantangan dalam menerapkan teknologi digital ini adalah kemampuan petani beradaptasi,” katanya kepada Kabar Bursa, Senin 20 Mei 2024.
Selain itu, Eliza menyebut petani juga dihadapkan dengan kecukupan modal finansial. Menurut dia, upah sektor pertanian relatif kecil dibandingkan upah sektor lain seperti keuangan, industri dan pertambangan.
“Bahkan sektor pertanian upahnya menempati kedua terendah dibandingkan sektor-sektor lainnya,” tandasnya.
Lebih lanjut Eliza menilai, mayoritas petani Indonesia merupakan petani pangan skala kecil, yang mana tingkat kesejahteraannya di bawah petani hortikultura dan perkebunan.
Kata dia, adaptasi teknologi saat ini sudah relatif bnyk diterapkan oleh korporasi perusahaan agribisnis, sebagian petani hortikultura.
‘Akan sulit jika berharap pertanian presisi di sektor pangan terutama dapat berjalan, jangankan untuk investasi di teknologi, petani pangan untuk membiayai kehidupan sendiri pun tidak cukup pendapatan dari sektor pertanian aja. Mereka harus memiliki side job,” jelas dia.
Eliza pun menegaskan, penerapan teknologi di sektor pertanian memerlukan dukungan dari pemerintah atau dari swasta. Hal ini, tutur dia, untuk menjalin kemitraan dengan petani, bukan menjadikan petani sebagai buruhnya semata.
Terkait penggunaan teknologi pada sektor pertanian, juga pernah disinggung oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa.
Andreas menyinggung terkait kesejahteraan dari petani di Indonesia. Menurutnya, para petani tidak bisa mengadopsi sebuah teknologi baru jika kesejahteraannya belum terpenuhi.
Hal yang dimaksud dia adalah keadaan finansial petani. Soalnya, ketika petani memiliki kemampuan finansial, maka mereka bisa mengadopsi teknologi baru.
“Kalau kesejahteraan petani meningkat, semua itu akan teradopsi dengan sendirinya, mau teknologi apapun itu. Petani itu akan mengadopsi ketika kesejahteraannya meningkat, daya beli produknya relatif bisa mensejahterakan mereka,” jelasnya kepada Kabar Bursa.
Namun kenyataannya, Andreas menyampaikan kesejahteraan petani saat ini masih memperihatinkan. Dalam 10 tahun terakhir misalnya, produksi padi turun sebesar satu persen setiap tahun.
Selain itu, dia menyatakan harga jual produk petani di tingkat nusa tani masih mengalami penurunan, terutama untuk tanaman pangan.
“Lalu bagaimana petani mau (mengadopsi) teknologi, untuk modal tanam saja masih sangat kesulitan karena harga jual produk yang dihasilkan lebih rendah,” tukas dia.
Penggunaan Teknologi Digital
Pertanian menjadi isu yang bakal diangkat di World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali. Sektor ini memang perlu diperhatikan, terutama dalam penggunaan teknologi digital.
Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengatakan penerapan penerapan teknologi digital di sektor pertanian ini akan memberikan dampak positif pada petani.
“Ini (penggunaan teknologi) akan memberikan dampak positif seperti efisiensi dan optimasi produksi, misal penggunaan pupuk, benih, pengairan, dan lain-lain,” jelasnya kepada Kabar Bursa, Senin 20 Mei 2024.
Eliza menambahkan, penggunaan teknologi digital juga dapat membantu para petani mengambil keputusan. Seperti informasi cuaca, penyebaran hama, dan penyakit tanaman hingga market.
Dengan pertanian presisi ini, lanjut dia, diharapkan dapat meningkatkan produksi dengan seefisien mungkin sehingga harga pangan bisa terjangkau bagi seluruh kalangan.
“Manfaat untuk petani adalah kesejahteraannya bisa meningkat. Digitalisasi dapat menjadi katalisator agar daya ungkit sektor pertanian untuk menopang perekonomian Indonesia bisa optimal,” terangnya.
Eliza kemudian memberikan satu contoh, terkait struktur biaya produksi padi yang hampir separuhnya dihabiskan untuk biaya tenaga kerja.
Menurut dia, biaya tenaga kerja pertanian kini kian langka, sehingga upahnya relatif mahal. Hal ini pula yang menyebabkan biaya tenaga kerja pertanian mahal.
“Sehingga perlunya mekanisasi agar biaya produksi dapat lebih efisien. Meski di Indonesia angkatan kerja berlimpah, namun mereka kebanyakan tidak tertarik ke sektor pertanian,” tutur Eliza.
“Jadi memang harus mekanisasi pertanian dr mulai menanam, memanen hingga penanganan pasca panen,” tambahnya.
Penerapan Smart Agriculture
Sektor pertanian bakal menjadi isu penting yang diangkat di acara World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali pada 18-25 Mei 2024.
“Sektor pertanian termasuk menjadi sorotan utama di WWF nanti, karena pertanian pengguna air terbesar,” kata Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Medrilzam kepada Kabar Bursa di sela-sela acara ‘Peran PBB dan Indonesia dalam World Watter Forum’ di Jakarta, Kamis, 16 Mei 2024.
Medrilzam menilai petani tidak boleh dianggap sebagai konsumen semata. Tapi, sektor ini sudah harus bisa difasilitasi dengan teknologi hemat air.