Scroll untuk baca artikel
Market Hari Ini

Sri Mulyani Optimis Jaga Defisit APBN 2,82 Persen di 2025

×

Sri Mulyani Optimis Jaga Defisit APBN 2,82 Persen di 2025

Sebarkan artikel ini
MGL7877 11zon scaled
ANGGARAN PERJALANAN - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menginstruksikan kepada kementerian dan lembaga di bawah Kabinet Merah Putih untuk memangkas anggaran perjalanan dinas sebesar minimal 50 persen dari sisa pagu anggaran tahun 2024. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)

KABARBURSA.COM – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memiliki target untuk menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2025 agar berada dalam kisaran 2,45-2,82 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sri Mulyani menambahkan bahwa pendapatan negara dipatok pada kisaran 12,14 persen hingga 12,36 persen dari PDB. Kebijakan optimalisasi pendapatan negara (collecting more) dilakukan dengan tetap menjaga iklim investasi dan bisnis serta kelestarian lingkungan.

“Hal itu ditempuh melalui tiga cara, pelaksanaan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang lebih sehat dan adil, perluasan basis pajak, dan peningkatan kepatuhan wajib pajak,” ujarnya, dalam Rapat Paripurna DPR tentang Penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal, Senin, 20 Mei 2024.

Implementasi perluasan basis pajak mengacu pada Global Taxation Agreement, yakni melalui pemajakan korporasi multinasional yang melakukan transaksi lintas negara. Sementara peningkatan kepatuhan wajib pajak dilakukan dengan pengawasan berbasis wilayah, integrasi teknologi, dan penguatan sinergi antarinstansi/lembaga.

Pemerintah memberikan insentif fiskal secara terarah dan terukur pada berbagai sektor strategis dalam rangka mendukung akselerasi transformasi ekonomi. Sedangkan penguatan PNBP dilakukan melalui optimalisasi pengelolaan SDA, perbaikan tata kelola, inovasi layanan publik, serta mendorong reformasi pengelolaan aset negara. Di sisi lain, belanja negara diperkirakan pada kisaran 14,59 persen hingga 15,18 persen PDB.

Kebijakan belanja negara diarahkan untuk penguatan spending better, yang ditempuh melalui efisiensi belanja nonprioritas, penguatan belanja produktif, efektivitas subsidi dan bansos, serta penguatan perlinsos yang berbasis pemberdayaan untuk akselerasi pengentasan kemiskinan dan kesenjangan.

Terkait subsidi dan bansos, Menkeu mengatakan akan dilakukan peningkatan akurasi data, perbaikan mekanisme penyaluran, dan sinergi antar program yang relevan.

Pemerintah juga akan menguatkan sinergi dan harmonisasi kebijakan pusat dan daerah untuk kualitas belanja yang produktif dan mandiri.

Adapun upaya yang dilakukan untuk menutup defisit adalah mendorong pembiayaan yang inovatif, bijak, dan berkelanjutan.

Sejumlah langkah yang dimaksud di antaranya mendorong efektivitas pembiayaan investasi, memanfaatkan SAL untuk antisipasi ketidakpastian, peningkatan akses pembiayaan untuk masyarakat berpendapatan rendah (MBR) dan UMKM, serta mendorong kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) yang berkelanjutan.

Menkeu juga memastikan rasio utang akan dikendalikan dalam batas terkelola di kisaran 37,98 hingga 38,71 persen PDB.

Fluktuasi Harga Komoditas

Sri Mulyani juga menyoroti tekanan yang dihadapi keuangan negara akibat pergerakan harga komoditas, khususnya minyak dan batu bara. Menurutnya, naik-turunnya harga kedua komoditas ini memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

“Jatuh bangunnya harga komoditas tentu menyebabkan dampak signifikan bagi ekonomi Indonesia,” ungkapnya

Sri Mulyani menjelaskan bahwa ketika harga komoditas tinggi, pertumbuhan ekonomi terdorong melalui peningkatan ekspor dan permintaan domestik. Namun, saat harga komoditas jatuh, pertumbuhan ekonomi dan posisi fiskal mengalami tekanan berat.

Dalam penyampaian Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) untuk RAPBN Tahun Anggaran 2025, Sri Mulyani merinci berbagai tantangan yang dihadapi kas negara akibat fluktuasi harga komoditas energi.

Contohnya, harga minyak mentah Brent yang melonjak ke USD115 per barel pada Juni 2014 kemudian anjlok tajam ke USD28 per barel pada Januari 2016. Pada masa pandemi 2020, harga Brent kembali turun ke level terendah USD23 per barel.

Namun, karena ketegangan geopolitik dan perang di Ukraina, harga melonjak hingga USD 120 per barel pada Juni 2022. “Pada tahun 2023, harga minyak turun tajam kembali menjadi USD65 per barel, kemudian naik ke USD90 per barel di awal 2024 akibat perang Gaza di Palestina,” tambahnya.

Selain itu, Sri Mulyani mencatat harga batu bara yang sempat melambung ke USD430 per ton pada September 2022, lalu turun tajam ke USD127 per ton pada November 2023.

“Harga CPO juga pernah turun terendah USD544 per ton pada Juli 2019, kemudian melonjak mencapai USD1.800 per ton pada Maret 2022,” jelasnya.

Tantangan Besar Indonesia

Sri Mulyani mengingatkan sejumlah tantangan besar yang dihadapi, termasuk tensi geopolitik tinggi akibat perang Rusia-Ukraina dan konflik di Timur Tengah, serta ketegangan di Asia dan perang dagang yang mengakibatkan disrupsi rantai pasok global. Pandemi COVID-19 dan perubahan iklim juga menjadi ancaman besar yang mempengaruhi ekonomi secara signifikan.

“Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia tidak terlepas dari dinamika global dan nasional serta berbagai guncangan yang tidak mudah dan harus diwaspadai dalam 10 tahun terakhir,” ujarnya.

Dia merinci beberapa guncangan global yang mempengaruhi kebijakan ekonomi, termasuk krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa pada 2008-2009 yang hampir melumpuhkan sistem keuangan dunia dan menyebabkan kontraksi ekonomi global hingga 0,14 persen.

“Ini adalah kontraksi pertama kali sejak Great Depression pada 1932,” ungkapnya.

Pasar keuangan global, termasuk Indonesia, juga mengalami guncangan. Dia mengatakan pada Oktober 2008, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia dengan tenor 10 tahun melonjak hingga 21 persen, sementara indeks harga saham gabungan (IHSG) turun tajam 50 persen.

Meski demikian, kebijakan ekonomi makro dan fiskal yang disesuaikan berhasil meminimalkan dampak guncangan global, dan ekonomi Indonesia mampu tumbuh 4,6 persen pada 2009.

Untuk mencegah kelumpuhan pasar keuangan global, pemerintah dan otoritas bank sentral AS dan Eropa menurunkan suku bunga mendekati 0 persen dan menggelontorkan likuiditas dolar AS secara masif.

“Krisis keuangan global adalah ujian berat bagi kemampuan kebijakan ekonomi makro dan fiskal untuk mengatasi persoalan ekonomi,” katanya.

Dia menambahkan bahwa rendahnya suku bunga global dan melimpahnya likuiditas mata uang keras menyebabkan lonjakan harga komoditas dan pemulihan ekonomi global yang mendorong pertumbuhan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Namun, overheating dari permintaan yang melonjak menyebabkan inflasi mencapai 8% pada 2013, sementara defisit transaksi berjalan mencapai 3,2 persen, menciptakan kerawanan ekonomi baru. Ketika The Fed dan Eropa mulai mengetatkan kebijakan moneter pada 2013, arus modal keluar dari negara berkembang menyebabkan depresiasi nilai tukar yang mengancam stabilitas sistem keuangan dan ekonomi banyak negara.

“Indonesia dengan defisit transaksi berjalan di atas 3 persen pada tahun 2013 dianggap rapuh, dan masuk dalam kelompok the fragile 5, bersama Turki, Brasil, Afrika Selatan, dan India,” kata Sri Mulyani.

Untuk menghadapi situasi tersebut, kebijakan fiskal dan moneter harus mengalami penyesuaian. Bank Indonesia menaikkan suku bunga hingga 7,75 persen pada akhir 2014, menciptakan tekanan pada APBN. “Masa-masa sulit tersebut menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi makro dan fiskal sering dihadapkan pada faktor-faktor di luar kendali pemerintah,” tambah Sri Mulyani.

Bendahara negara itu menegaskan bahwa pemerintah harus terus melakukan perubahan dan manuver kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan, stabilitas, dan keberlanjutan fiskal. KEM PPKF 2025 disusun pada masa transisi dari pemerintahan Presiden Jokowi ke Presiden Terpilih Prabowo Subianto, dengan kebijakan fiskal sebagai fondasi kuat untuk menghadapi tantangan ke depan.

“KEM PPKF harus mampu mengidentifikasi, memahami, bahkan mengantisipasi tantangan dan perubahan tersebut, sehingga kita dapat merumuskan kebijakan ekonomi makro dan merancang instrumen kebijakan fiskal yang tepat untuk menghadapinya,” tegas Sri Mulyani.