KABARBURSA.COM – Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I-2024 tetap terjaga meskipun terdapat peningkatan ketidakpastian global.
Menurut Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, defisit transaksi berjalan tetap rendah di tengah perlambatan ekonomi global. Sementara itu, defisit transaksi modal dan finansial terkendali seiring dengan dampak peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.
NPI pada triwulan I-2024 mencatat defisit sebesar 6,0 miliar dolar AS dengan posisi cadangan devisa yang tetap tinggi mencapai 140,4 miliar dolar AS. Hal ini setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta melebihi standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Transaksi berjalan mencatat defisit 2,2 miliar dolar AS atau 0,6% dari produk domestik bruto (PDB), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Sementara neraca perdagangan nonmigas masih mencatat surplus meskipun lebih rendah dari periode sebelumnya.
Neraca jasa membaik didukung oleh peningkatan penerimaan devisa dari pariwisata, namun defisit neraca pendapatan primer sedikit meningkat karena tingkat suku bunga global yang masih tinggi.
Kinerja transaksi modal dan finansial tetap solid, terutama investasi langsung yang mengalami peningkatan surplus. Investasi portofolio mencatat defisit karena aliran keluar modal asing, sedangkan investasi lainnya juga mengalami defisit akibat peningkatan investasi swasta pada instrumen finansial luar negeri.
Dengan demikian, transaksi modal dan finansial pada triwulan I-2024 mencatat defisit 2,3 miliar dolar AS, setelah mencatat surplus pada triwulan sebelumnya.
BI terus memantau dinamika perekonomian global dan memperkuat respons kebijakan yang sinergis dengan pemerintah dan otoritas terkait guna memperkuat ketahanan sektor eksternal.
Prakiraan NPI 2024 menunjukkan transaksi berjalan dalam kisaran defisit rendah, sementara neraca transaksi modal dan finansial diprakirakan mencatat surplus seiring dengan meningkatnya aliran masuk modal asing dan persepsi positif investor terhadap perekonomian nasional.
Negara Menerima Valuta
Neraca perdagangan Indonesia kembali surplus pada April 2024 sehingga mencatatkan surplus selama 48 bulan berturut-turut, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Ini menandakan bahwa negara menerima lebih banyak valuta asing atau valas daripada melepasnya.
Dalam konteks tersebut, Indonesia seharusnya memiliki faktor yang dapat memperkuat nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Namun saat ini, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin loyo sepanjang 4 tahun terakhir.
Sepanjang 2020, rerata kurs rupiah di pasar spot ada di Rp14.529,06 per dolar AS. Tahun ini, rata-ratanya ada di Rp15.788,78 per dolar AS per 15 Mei. Bahkan tahun ini rupiah sempat berada di atas Rp16.000 per dolar AS, terlemah sejak 2020.
Kelebihan neraca perdagangan memang merupakan aspek yang positif. Namun, terdapat faktor-faktor lain yang menjadi fundamental dalam menentukan nilai tukar suatu negara, dan Indonesia masih memiliki kelemahan dalam hal ini.
Salah satunya adalah transaksi berjalan (current account), yang mencakup lebih dari sekadar neraca perdagangan barang. Indonesia sering mengalami defisit dalam transaksi berjalan, yang mencerminkan hubungan ekspor-impor barang dan jasa serta pergerakan valas.
Dari segi ketahanan dan kestabilan, pasokan valas dari transaksi berjalan cenderung lebih kokoh dan berkelanjutan dalam jangka panjang dibandingkan dengan valas yang berasal dari investasi portofolio di pasar keuangan (hot money). Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa transaksi berjalan menjadi salah satu aspek fundamental yang penting dalam menentukan nilai mata uang suatu negara.
Defisit Transaksi Berjalan
Pada 2023, sebagai contoh, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar USD1,57 miliar atau setara dengan 0,11 persen. Meskipun neraca perdagangan barang menunjukkan surplus sebesar USD46,35 miliar, hal ini tercermin dari surplus neraca perdagangan yang diumumkan oleh BPS.
Namun, defisit terjadi pada neraca jasa sebesar USD17,92 miliar. Selain itu, neraca pendapatan primer juga mencatat defisit sebesar USD35,36 miliar. Dalam neraca jasa, defisit terbesar disumbangkan oleh sektor transportasi, mencapai USD8,7 miliar. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan defisit tahun 2022 sebesar USD8,2 miliar.
Antoni Arif Priadi, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, sebelumnya mengatakan bahwa sekitar 60.000 kapal mengangkut barang hingga 1 miliar ton keluar masuk perairan Indonesia setiap tahunnya. Namun, masih terlihat dominasi pemain asing.
Menurut Antoni, dari semua kapal yang terlibat dalam aktivitas ekspor dan impor di perairan Indonesia antara 2017 dan 2022, sekitar 37 persen merupakan kapal Indonesia, sedangkan 63 persen lainnya berasal dari luar negeri. Pada tahun 2022, jumlah kapal yang aktif di perairan Indonesia mencapai 10.534, dan sekitar 9.458 di antaranya adalah kapal asing.