KABARBURSA.COM – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan alasan kerugian negara akibat dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk (TINS) periode 2015-2022 mencapai Rp300,003 triliun. Angka ini, menurut BPKP dan Kejaksaan Agung, adalah kerugian negara riil, meski beberapa pihak menilai angka tersebut terlalu tinggi karena memasukkan potensi kerugian.
Deputi Bidang Investigasi BPKP, Agustina Arumsari, menjelaskan bahwa audit dilakukan dengan berkonsultasi dengan enam ahli dan menemukan kerugian negara dari tiga sumber utama. “Pertama, harga sewa smelter PT Timah yang mahal sebesar Rp2,285 triliun. Kedua, pembayaran bijih timah ilegal sebesar Rp26,649 triliun. Ketiga, kerugian akibat kerusakan lingkungan sebesar Rp271,069 triliun, yang dihitung berdasarkan neraca sumber daya alam dan lingkungan,” jelasnya Rabu 29 Mei 2024.
Pakar Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Heru Saharjo, menegaskan bahwa penghitungan kerugian lingkungan didasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014. “Kami melakukan legal sampling di beberapa titik di Bangka Belitung dan Belitung Timur, dengan hasil yang menunjukkan kerusakan lingkungan yang signifikan di kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan taman nasional,” ungkap dia.
RBS Diperiksa Kejagung
Penyidik Kejaksaan Agung kembali memeriksa saksi terkait dugaan korupsi penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha PT Timah, yaitu Robert Bonosusatya, pada Senin 2 April 2024 lalu
Dalam penyelidikan ini, penyidik mencurigai keterlibatan Robert dengan PT Refined Bangka Tin. Sebelumnya, Kejagung menyebut perusahaan tersebut diwakili oleh Harvey Moeis untuk mengakomodasi tambang ilegal di lahan PT Timah.
Suami dari aktris Sandra Dewi itu dilaporkan menghubungi pejabat PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan memintanya agar menerima kegiatan pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Robert diperiksa selama 13 jam. Namun, saat keluar dari gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), ia bungkam ketika ditanya soal keterkaitannya dengan PT Refined Bangka Tin maupun Harvey Moeis. Ia hanya meminta wartawan menanyakan hal tersebut kepada penyidik.
“Silakan ke penyidik ya,” ujarnya seperti dilansir dari Kompas.
Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, mengatakan pemeriksaan terhadap RBS dilakukan bukan atas desakan siapapun, melainkan untuk kepentingan penyidikan.
Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan RBS kemarin, penyidik masih mendalami kaitan Robert dengan PT Refined Bangka Tin. Meski Robert disebut sebagai pemilik perusahaan, namun ia tidak tercatat sebagai komisaris direksi di dalamnya.
“Sepanjang tidak ada alat bukti yang cukup, tentu saja kita tidak akan [mengaitkannya] demikian. Yang jelas, kami melihat ada urgensi yang perlu kami klarifikasi kepada yang bersangkutan untuk membuat terang peristiwa pidana ini,” ujar Kuntadi seperti dilansir Kompas.id.
Sejauh ini, penyidik Kejagung telah memeriksa 172 orang saksi untuk mendalami kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di tambang milik PT Timah tahun 2015-2022. Penyidik juga telah menetapkan 15 tersangka dugaan korupsi serta satu tersangka kasus perintangan penyidikan dalam perkara yang berkaitan dengan tata kelola tambang timah tersebut.
Adapun crazy rich Pantai Indah Kapuk, Helena Lim, ditetapkan sebagai tersangka ke-15 atas perannya sebagai Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE). Sehari setelahnya, pengusaha Harvey Moeis menjadi tersangka ke-16 dalam kasus tersebut.
Sebelum Robert Bonosusatya diperiksa Kejagung, LSM Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) telah mengirim somasi terbuka kepada Kejaksaan agar segera menetapkan tersangka terhadap sosok berinisial RBS terkait korupsi tambang timah ilegal di lahan milik PT Timah.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyebut RBS sebagai aktor utama dan penikmat uang hasil korupsi yang merugikan perekonomian negara hingga Rp271 triliun. Boyamin mengklaim bahwa RBS mendirikan dan mendanai perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai alat korupsi tambang timah.
“RBS adalah terduga official benefit (penikmat utama keuntungan dan pemilik sesungguhnya) dari perusahaan-perusahaan pelaku penambangan timah ilegal,” ujar Boyamin.
Sehingga, menurut Boyamin, RBS harus dijerat dengan ketentuan tindak pidana pencucian uang guna merampas seluruh hartanya. Boyamin mengaku memiliki dokumen yang dapat membuktikan bahwa RBS adalah pemilik saham terbesar di PT Refined Bangka Tin, bukan Harvey Moeis seperti yang selama ini digembar-gemborkan.
Namun, katanya, RBS dan Harvey sebenarnya sudah menjadi rekan bisnis di perusahaan tambang lainnya di Kalimantan.
“RBS itu bosnya dari bos. Saham dia paling besar. Saya paham RBS orang kayak apa dan sepak terjangnya,” sebut Boyamin kepada BBC News Indonesia.
Boyamin mendesak Kejaksaan segera menetapkan RBS sebagai tersangka dalam waktu satu bulan. Jika tidak, MAKI akan mengajukan gugatan praperadilan. Di sidang praperadilan, Boyamin berjanji akan membuka dokumen-dokumen yang menguatkan dugaannya, termasuk dokumen perusahaan tambang yang menunjukkan hubungan bisnis antara RBS dan Harvey Moeis di Kalimantan.
Dalam perkara di Bangka Belitung, Boyamin menyebut Harvey Moeis hanya kaki tangan RBS.
“Kalau nanti Kejaksaan menilai tidak cukup bukti [menetapkan RBS tersangka], kita akan buka di sidang praperadilan biar fair. Di situ bisa saling memberikan data, berargumen antara saya dan penyidiknya,” kata Boyamin. Ia berharap somasi ini membuat pengungkapan kasus lebih serius dan menyeret para pemain utama.
Peran Harvey Moeis