Scroll untuk baca artikel

CBT: Solusi Pendanaan Atasi Perubahan Iklim

×

CBT: Solusi Pendanaan Atasi Perubahan Iklim

Sebarkan artikel ini
MGL9574 11zon
Anak-anak bermain air di Sunga Sircuit Sentul Bogor, Minggu (26/5/2024). Air bersih yang mengalir di sungai tersebut tidak terjamin kebersihannya, apa lagi di saat hujan. Foto: KabarBursa/abbas sandji

KABARBURSA.COM – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa penandaan anggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging (CBT) dapat menjadi solusi untuk menemukan sumber pendanaan baru dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF, Boby Wahyu Hernawan, menjelaskan bahwa anggaran yang telah ditandai melalui CBT bisa digunakan untuk pembiayaan ulang, sehingga dapat memutar kembali dana sebagai sumber pendanaan baru.

“Apa yang sudah di-tagging (ditandai) itu bisa untuk refinancing dari sisi pembiayaan, atau istilahnya bisa diputar lagi untuk sumber pembiayaan baru,” kata Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Boby Wahyu Hernawan di Bogor, Jawa Barat, Rabu, 29 Mei 2024.

Bahwa sektor belanja APBN kementerian dan lembaga yang ditandai melalui CBT tersebut termasuk belanja untuk upaya mitigasi, adaptasi, maupun output kegiatan mitigasi dan adaptasi secara bersamaan (co-benefit).

Menurutnya, berbagai sektor belanja yang ditandai tersebut dapat berfungsi sebagai aset bernilai uang, yang bisa digunakan sebagai dasar penerbitan instrumen investasi seperti green sukuk dan blue bond, sesuai dengan karakteristik masing-masing instrumen.

“Tentunya karakteristiknya (untuk masing-masing instrumen) harus sesuai ya. Dan, inilah yang menjadi semacam skema refinancing dan ini memang praktik yang berlaku global,” ujar Boby.

Diketahui, sejak 2016 hingga 2022, dari hasil penerapan budget tagging pemerintah pusat berhasil mendapatkan Rp569 triliun untuk penanggulangan perubahan iklim dengan rata-rata Rp81,3 triliun per tahun, atau sekitar 3,5 persen dari APBN.

Boby menyampaikan bahwa alokasi anggaran tersebut sudah cukup baik dibandingkan negara lain, meskipun ia berharap porsi belanja ini bisa meningkat di masa mendatang, terutama untuk upaya co-benefit.

“Jika dibandingkan negara-negara lain yang masih 2 persen atau di bawah 3,5 persen dari anggaran belanja negaranya, ini sudah cukup bagus,” ucap Boby.

Ia pun berharap porsi belanja pemerintah untuk menangani perubahan iklim dapat terus ditingkatkan di masa mendatang, terutama untuk upaya co-benefit, mengingat saat ini pendanaan lebih didominasi untuk upaya mitigasi dan adaptasi, yakni masing-masing sebesar 58,4 persen dan 37,6 persen.

“Jadi, climate budget tagging merupakan salah satu keberpihakan pemerintah untuk mendukung perubahan iklim di Indonesia,” imbuhnya.

Kendati demikian, dia menyebutkan walaupun CBT pada APBD belum diwajibkan dan masih berupa proyek percontohan dan bersifat sukarela. Kementerian Keuangan terus mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan Regional Climate Budget Tagging (RCBT).

“Untuk di pemerintah daerah, ini sifatnya belum semuanya, karena masih voluntary (sukarela) dan kami selalu pacu untuk lebih banyak lagi pemerintah daerah melakukan Regional Climate Budget Tagging (RCBT),” jelas dia.

Sebagai informasi, pilot project RCBT  telah dimulai sejak 2020 dengan 11 daerah uji coba, kini telah diperluas ke 22 pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang telah melakukan uji coba program tersebut.

Menurut Boby, porsi anggaran perubahan iklim dalam APBD berdasarkan pilot project RCBT mencapai rata-rata 5,38 persen dari 2020 hingga 2023. Beberapa daerah seperti Surabaya dan DKI Jakarta telah menunjukkan komitmen signifikan dengan mengalokasikan masing-masing 19,53 persen dan 12,74 persen dari APBD mereka untuk penanganan perubahan iklim.

“Kalau bicara daerah yang cukup climate friendly, ya, atau sangat mendukung agenda perubahan iklim, di sini dapat dilihat adalah Surabaya dan juga Provinsi DKI Jakarta,” ujarnya.

Bahaya Perubahan Iklim

Dalam sebuah studi yang dirilis pada Rabu, 15 Mei 2024, peneliti dari University College London menganalisis literatur ilmu saraf untuk mengungkapkan bagaimana suhu ekstrem dan bencana akibat perubahan iklim memengaruhi penyakit saraf dan gangguan kesehatan mental. Mereka menemukan bahwa faktor lingkungan tidak hanya memengaruhi prevalensi penyakit, tetapi juga dapat meningkatkan risiko rawat inap, kecacatan, dan bahkan kematian.

Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan telah dipelajari dengan baik, terutama terkait penyakit infeksi dan pernapasan. Namun, perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan neurologis, dengan proses pengaturan suhu tubuh tampaknya menjadi pendorong utama peningkatan kondisi yang dipicu oleh panas ekstrem.

“Agar berfungsi dengan baik, otak harus dijaga dalam kisaran suhu yang relatif sempit,” kata Sanjay Sisodiya, profesor di UCL Queen Square Institute of Neurology yang memimpin penelitian.

“Jika otak terkena suatu penyakit, maka kemampuan otak untuk mengatur suhu tubuh terganggu. Ambil contoh seseorang dengan penyakit saraf dan menempatkan mereka dalam gelombang panas yang luar biasa, Anda dapat melihat bagaimana hal itu bisa memperburuk penyakit saraf mereka,” sambungnya.

Sisodiya menambahkan, penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui mekanisme pasti yang menghubungkan gangguan neurologis dengan suhu yang lebih tinggi. Dengan semakin parahnya cuaca ekstrem, sangat penting untuk mengurai hubungan yang tepat, terutama untuk populasi termuda, tertua, dan paling rentan.

Untuk studi baru ini, para peneliti meninjau 332 laporan yang mengamati dampak lingkungan pada 19 kondisi neurologis dengan beban penyakit tertinggi, termasuk Alzheimer dan bentuk demensia lainnya, migrain, stroke, multiple sclerosis, dan meningitis.

Mereka juga mengumpulkan penelitian tentang depresi, kecemasan, dan skizofrenia karena gangguan kejiwaan seringkali memiliki komorbiditas dengan penyakit neurologis. Temuan ini menunjukkan bahwa cuaca berdampak pada setiap penyakit dengan cara yang berbeda, tetapi sebagian besar kondisi secara luas terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dan gejala yang memburuk.

Di antara temuan mereka adalah bahwa orang dengan Alzheimer dan demensia lainnya kesulitan membuat pilihan adaptif dalam cuaca ekstrem seperti mencari bantuan, mengenakan pakaian yang lebih tipis, dan minum lebih banyak air.

Cuaca yang lebih panas juga kemungkinan besar menyebabkan stroke yang lebih fatal atau melumpuhkan dan dapat berdampak pada epilepsi, yang diperburuk oleh kurang tidur. Suhu malam hari yang tinggi adalah ciri khas perubahan iklim dan dapat memengaruhi pola tidur.

Insiden gangguan kesehatan mental bersama dengan rawat inap dan risiko kematian berhubungan paling kuat dengan peningkatan suhu lingkungan. Satu laporan yang disurvei dalam studi baru menunjukkan bahwa klaim asuransi kesehatan AS pada kunjungan ruang gawat darurat terkait kesehatan mental antara tahun 2010 dan 2019 meningkat pada hari-hari dengan panas ekstrem. Peristiwa cuaca ekstrem seperti badai dan kebakaran hutan dapat memicu kasus akut kecemasan, stres pasca-trauma, depresi, dan keinginan bunuh diri.

Tanggapan otak terhadap perubahan iklim menyebabkan kerusakan yang tidak terdeteksi hingga intervensi medis efektif, kata Burcin Ikiz, ahli saraf yang mempelajari dampak pola lingkungan pada otak. Ketika suhu naik, dia berkata, “otak kita mengalami respons stres” yang dapat menyebabkan peradangan dan bentuk degenerasi lain yang berdampak pada kesehatan kognitif.

“Yang paling membuat saya takut dengan skenario ini adalah bahwa pada tahun 2050, tidak hanya akan terjadi ledakan orang dengan gangguan neurologis, tetapi itu akan terjadi pada usia 40-an dan 50-an kita, bukan pada usia 70-an dan 80-an karena otak kita dibombardir oleh stres yang berbeda seperti panas, polusi, dan mikroplastik,” tambah Ikiz, pendiri dan ketua International Neuro Climate Working Group, sebuah inisiatif untuk mempromosikan lebih banyak penelitian dan advokasi seputar ancaman perubahan iklim terhadap otak.

Sisodiya dan Ikiz menyerukan lebih banyak penelitian dan intervensi kebijakan untuk mengurangi beban ekonomi yang akan ditimbulkan perubahan iklim terhadap individu dan sistem kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara miskin. Namun, karena dunia kembali menghadapi musim panas yang memecahkan rekor, setiap individu juga dapat mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri dari panas ekstrem.

“Kita perlu berhenti membakar bahan bakar fosil, berhenti mengeluarkan emisi ke udara. Tetapi di luar itu, kita dapat memastikan bahwa peringatan cuaca itu tepat, informatif, sehingga masyarakat dapat bertindak berdasarkan peringatan tersebut dan tahu untuk mengambil tindakan sederhana seperti menghindari matahari selama jam puncak paparan, menutup jendela, menggunakan barang-barang agar tetap sejuk dan terhidrasi, (dan memiliki) persediaan obat-obatan yang cukup,” kata Sisodiya.