KABARBURSA.COM – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan akan mengawasi layanan penyedia jasa internet (PJI) berbasis satelit Starlink di Indonesia.
Pengawasan ini bertujuan untuk memastikan terciptanya persaingan yang sehat antar pelaku usaha di sektor penyediaan layanan internet.
“Saat pemain baru masuk ke pasar, tentunya ini menjadi domain KPPU terkait perilakunya di pasar. Hal ini berlaku tidak hanya untuk pemain baru, tetapi juga untuk pemain yang sudah ada,” kata Anggota KPPU Hilman Pujana di sela-sela acara Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Dampak Hadirnya Starlink di Indonesia’ di kantor KPPU Jakarta, Rabu, 29 Mei 2024.
Hilman berharap dengan hadirnya Starlink sebagai pemain baru di industri jasa internet, iklim usaha di sektor tersebut bisa tetap kondusif bagi seluruh pelaku usaha dan memberikan lebih banyak pilihan bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Hilman mengungkapkan, ada sejumlah isu yang dibahas dalam FGD tersebut. Salah satu isu utama adalah dugaan predatory pricing atau permainan harga yang dilakukan oleh Starlink.
Hilman mengutip, berdasarkan penjelasan pakar ekonomi yang hadir di FGD itu, penetapan biaya murah dengan memberikan promo 40 persen yang dilakukan oleh Starlink tidak termasuk dalam kategori predatory pricing.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Ine Minara S Ruky menjelaskan bahwa predatory pricing adalah strategi bisnis dengan niat untuk menyingkirkan persaingan.
“Harga predator itu bertujuan untuk mencapai posisi monopoli, yaitu dengan menetapkan harga yang lebih murah dari biaya untuk mendapatkan posisi monopoli setelah semua pesaing tersingkir dari pasar,” jelas Ine.
Dia menambahkan, penetapan harga layanan Starlink yang lebih murah dari operator lokal belum termasuk predatory pricing. “Kalau menetapkan harga yang lebih murah dengan batasan waktu tertentu, itu adalah promosi atau promotional pricing. Itu biasa dalam bisnis. Penetrasinya biasanya dalam beberapa bulan atau beberapa minggu, tergantung bisnisnya. Namanya harga penetrasi, dan itu biasa bagi pemain baru,” tuturnya.
Dengan demikian, kehadiran Starlink di pasar internet Indonesia diharapkan dapat mendorong persaingan yang lebih sehat dan memberikan manfaat lebih besar bagi konsumen.
“KPPU akan terus memantau dan memastikan bahwa semua pelaku usaha beroperasi sesuai dengan aturan persaingan yang adil,” pungkasnya.
Ancam operator lokal
Sebuah riset yang dilakukan oleh Algo Research menyimpulkan bahwa kehadiran Starlink di Indonesia memiliki potensi untuk mengancam beberapa operator telekomunikasi lokal, seperti PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT XL Axiata Tbk (EXCL), hingga PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk (ISAT).
Menurut lembaga riset independen yang berbasis di Jakarta ini, layanan Starlink dianggap kompetitif karena menggunakan teknologi yang lebih canggih dibandingkan dengan peladen internet lainnya di Indonesia.
Salah satu keunggulan yang ditawarkan oleh Starlink adalah internet berbasis satelit orbit rendah (LEO). Dengan teknologi ini, Starlink dapat meningkatkan koneksi internetnya secara signifikan, yang pada akhirnya dapat mengungguli layanan satelit lainnya dalam hal kecepatan dan stabilitas koneksi.
Selain itu, internet berbasis satelit LEO juga memungkinkan Starlink untuk menyediakan layanan internet di daerah-daerah terpencil, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia.
Algo Research menilai bahwa keunggulan ini menjadi ancaman serius bagi sejumlah perusahaan telekomunikasi lokal hingga infrastruktur telekomunikasi di Indonesia.
Dalam riset terbarunya, Algo juga menegaskan bahwa kehadiran Starlink tidak boleh diabaikan, mengingat basis satelitnya yang efisien dan kemampuannya untuk menjangkau daerah-daerah terpencil dengan mudah, hal yang sulit dicapai oleh infrastruktur telekomunikasi konvensional.
Namun, riset dari PT Trimegah Sekuritas menilai bahwa kehadiran Starlink tidak langsung membawa ancaman besar bagi industri telekomunikasi lokal.
Menurut analis Richardson Raymond dan Sabrina, pasar utama Starlink seharusnya adalah segmen korporasi di Indonesia. Mereka juga menyoroti bahwa harga layanan internet Starlink masih lebih tinggi dibandingkan dengan penyedia layanan internet lainnya di Indonesia.
Berdasarkan informasi resmi yang diberikan, biaya layanan internet Starlink dimulai dari Rp750.000 per bulan, dengan harga perangkat keras sekitar Rp7,8 juta.
Biaya layanan Starlink yang lebih tinggi sekitar tiga kali lipat dari rata-rata pendapatan per pengguna (ARPU) bisnis internet rumahan berbasis serat optik (FTTH), yang berkisar sekitar Rp250.000, menurut Trimegah.
Mereka juga menilai bahwa Starlink hanya akan menjadi tambahan untuk konektivitas serat optik dan layanan internet di daerah-daerah terpencil yang kekurangan akses dari penyedia lokal, karena hambatan infrastruktur yang tinggi.
Starlink, perusahaan penyedia layanan internet milik SpaceX yang didirikan oleh Elon Musk, secara resmi memulai operasinya di Indonesia pada awal bulan ini.
Peresmian dilakukan oleh Musk sendiri saat kunjungannya ke Bali pekan lalu, setelah perusahaan ini mendapatkan izin untuk menyelenggarakan layanan terminal aperture terminal (VSAT).
Starlink juga telah mendapatkan izin sebagai penyedia layanan internet (ISP) yang bekerja sama dengan salah satu penyedia akses jaringan (NAP) di Indonesia dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).