KABARBURSA.COM – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah naungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat peningkatan signifikan dalam realisasi pengembalian pajak atau restitusi pajak hingga bulan April 2024.
Jumlah restitusi pajak yang direalisasikan hingga 30 April 2024 mencapai Rp 110,64 triliun, mengalami lonjakan sebesar 81,67% secara tahunan alias year on year (YoY). Pada periode yang sama tahun sebelumnya, nilai restitusi pajak hanya sebesar Rp 60,9 triliun.
“Dalam total, realisasi restitusi hingga 30 April 2024 mencapai Rp 110,64 triliun,” ungkap Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu dikutip Senin 10 juni 2024.
Sementara itu, total penerimaan pajak yang direalisasikan hingga April 2024 mencapai Rp 624,19 triliun. Angka ini setara dengan 31,38% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
“Penerimaan pajak mengalami koreksi yang cukup dalam, turun 9,29% secara tahunan (YoY), dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 688,15 triliun,” jelas Dwi Astuti.
Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan bahwa peningkatan restitusi pajak akan berdampak pada penerimaan pajak hingga akhir tahun ini.
“Jika penerimaan mencapai 400 dari target 1.000, maka secara sederhana kinerjanya mencapai 40%. Namun, jika capaian tersebut dikurangi dengan restitusi sebesar 100, maka secara agregat penerimaan pajak baru mencapai 300, dan kinerja agregatnya hanya 30%,” jelas Prianto.
Peningkatan signifikan dalam restitusi pajak hingga bulan April 2024 berpotensi memberikan dampak yang cukup besar terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan.
Lonjakan restitusi pajak yang mencapai 81,67% secara tahunan dapat mengurangi jumlah total penerimaan pajak yang seharusnya masuk ke kas negara. Hal ini akan menyebabkan penurunan dalam pencapaian target penerimaan pajak yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Jika penurunan penerimaan pajak tidak diimbangi dengan sumber pendapatan lain yang cukup, hal ini dapat memperbesar defisit anggaran negara. Defisit anggaran yang semakin besar dapat menimbulkan berbagai masalah fiskal dan ekonomi dalam jangka panjang.
Pemerintah mungkin perlu meninjau ulang kebijakan fiskalnya untuk mengatasi penurunan penerimaan pajak akibat lonjakan restitusi. Hal ini bisa mencakup penyesuaian dalam anggaran belanja negara atau implementasi kebijakan baru untuk meningkatkan penerimaan pajak dari sumber-sumber lain.
Penurunan total penerimaan pajak dapat mempengaruhi kebijakan fiskal dan moneter pemerintah, yang pada gilirannya dapat memengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini bisa mencakup pengurangan belanja publik, perubahan suku bunga, atau stimulus ekonomi untuk mengimbangi dampaknya.
Lonjakan restitusi pajak juga dapat mendorong pemerintah untuk meningkatkan pemantauan dan pengendalian terhadap sistem perpajakan. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan atau penipuan dalam pengajuan restitusi pajak oleh para wajib pajak.
Dengan memahami dampak dari peningkatan restitusi pajak, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengelola konsekuensi ekonomi dan fiskal yang mungkin timbul.
Aturan Pajak Restitusi
Mengutip DJP, paket kebijakan baru yang bertujuan untuk mempermudah layanan kepada Wajib Pajak (WP). Salah satu inovasi terbaru adalah penyederhanaan proses restitusi, yang kini hanya memerlukan waktu 15 hari kerja saja, jauh lebih cepat dari sebelumnya yang memakan waktu hingga 12 bulan. Perubahan signifikan ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2023 tentang Percepatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Kebijakan ini khusus diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) yang mengajukan restitusi Pajak Penghasilan OP sesuai dengan Pasal 17B dan 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp100 juta. Hal ini tercantum jelas dalam Pasal 2 Perdirjen 5/2023 yang menyatakan:
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi persyaratan tertentu diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan ketentuan Pasal 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Termasuk dalam Wajib Pajak orang pribadi yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang disertai permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dengan:
a. Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
b. Pasal 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Sebelum kebijakan ini diterapkan, WP OP yang mengajukan restitusi berdasarkan Pasal 17B UU KUP harus melewati proses pemeriksaan yang memakan waktu hingga 12 bulan. Dwi Astuti, Direktur P2Humas DJP, menjelaskan bahwa tujuan dari penerbitan Perdirjen ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada WP.
Perdirjen ini ditetapkan untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan percepatan dalam layanan restitusi yang lebih sederhana, mudah, dan cepat. Dengan proses restitusi yang lebih cepat, diharapkan dapat membantu Wajib Pajak dalam mengelola cash flow mereka dengan lebih baik. (*)