Scroll untuk baca artikel
Market Hari Ini

Menjadikan BSI Pemain Utama Dunia, Pemikiran yang Sesat

×

Menjadikan BSI Pemain Utama Dunia, Pemikiran yang Sesat

Sebarkan artikel ini
MGL9316 11zon
Gedung Bank Syariah Indonesia (BSI) di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didesak mengambil langkah afirmatif dalam menghadirkan pesaing Bank Syariah Indonesia (BSI) yang kompetitif.

Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono, mengatakan BSI tidak seharusnya dijadikan satu-satunya tumpuan dalam industri perbankan syariah nasional maupun global.

“Pemerintah selayaknya tidak lagi meneruskan ambisi menjadikan BSI sebagai salah satu bank syariah terbesar di dunia. Menjadikan BSI sebagai alat pencitraan dengan menjadikannya sebagai pemain utama di industri perbankan syariah global adalah langkah semu,” kata Wibisono kepada Kabar Bursa, Senin, 10 Juni 2024.

Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) ini menjelaskan, bergantung pada satu entitas tidak cukup untuk mencapai posisi dominan dalam industri perbankan syariah global. Ia menilai keliru apabila menganggap kehadiran BSI dalam jajaran 10 bank syariah terbesar dunia otomatis akan menjadikan Indonesia pemain utama.

“Ini adalah sesat pikir ketika kita menganggap bahwa ketika BSI masuk dalam 10 bank syariah terbesar dunia maka Indonesia otomatis akan menjadi pemain utama di industri perbankan syariah global,” ujarnya.

Menurut dia, diperlukan industri perbankan syariah domestik yang besar dan kuat. Negara-negara dengan bank syariah terbesar, seperti Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Malaysia, Kuwait, dan Bahrain, memiliki penetrasi perbankan syariah domestik yang tinggi.

“Jajaran 10 bank syariah terbesar dunia, seluruhnya dikuasai bank syariah dari Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Malaysia, Kuwait dan Bahrain. Ciri yang sama dari negara-negara tersebut adalah penetrasi perbankan syariah domestik yang sudah tinggi,” jelasnya.

Di negara-negara ini, market share perbankan syariah domestik berkisar antara 15 persen hingga 70 persen. Di sisi lain, market share perbankan syariah domestik Indonesia baru mencapai sekitar 7 persen, setara dengan Turki.

“Hal ini berbeda jauh dengan kita di mana market share perbankan syariah domestik hingga kini baru di kisaran 7 persen, serupa dengan Turki,” kata Wibisono. Akibatnya, Indonesia dan Turki belum memiliki pemain besar dalam industri perbankan syariah global.

Untuk menjadi pemain global, kata Yusuf, agenda kebijakan terpenting adalah memperbesar industri perbankan syariah nasional. “Untuk menjadikan bank syariah kita sebagai pemain global, agenda kebijakan terpenting adalah membesarkan industri perbankan syariah nasional kita, yang setelah lebih dari tiga dekade dikembangkan sejak 1990-an hingga kini market share-nya baru di kisaran 7 persen,” jelas Yusuf.

Dia juga menekankan pentingnya memperkuat fondasi industri perbankan syariah dalam negeri terlebih dahulu. Dengan industri domestik yang besar, secara alami akan muncul lebih banyak pemain besar di industri perbankan syariah global.

“Dengan industri domestik yang besar, secara alami kita akan memiliki pemain besar di industri perbankan syariah global, tidak hanya satu, bahkan dalam jumlah yang lebih banyak,” tegasnya.

Di sisi lain, Yusuf menyayangkan konsolidasi industri perbankan syariah nasional yang dilakukan terlalu dini. Konsolidasi yang dilakukan pada tahap market share perbankan syariah masih sangat rendah dianggap semata demi ambisi memiliki pemain besar di tingkat global.

“Saya menyayangkan konsolidasi industri perbankan syariah nasional kita yang dilakukan terlalu dini, di tahap ketika market share perbankan syariah masih sangat rendah, masih di bawah 7 persen dari aset industri perbankan nasional, semata demi mengejar ambisi memiliki pemain besar di tingkat global,” kritiknya.

Yusuf mengingatkan langkah afirmatif harus diambil untuk menciptakan ekosistem perbankan syariah yang lebih kompetitif dan inklusif. Untuk itu, pemerintah perlu membangun regulasi dan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan bank syariah lainnya.

Membangun industri perbankan syariah domestik yang kuat akan menciptakan ekosistem perbankan yang lebih beragam dan dinamis.

“Dengan memperbesar skala domestik, kita tidak hanya menciptakan pemain besar, tetapi juga memastikan bahwa pertumbuhan industri perbankan syariah bersifat inklusif dan berkelanjutan,” kata Yusuf.

Optimalisasi Market Share Perbankan Syariah

Peneliti Eksekutif di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Siti Yayuningsih, pernah mengungkapkan market share Bank Umum Syariah (BUS) per Desember 2022 hanya mencapai 4,8 persen dari total market perbankan. Sementara, total market share Perbankan Syariah (termasuk BUS, Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)) sekitar 7 persen.

“Kinerja BUS diperkirakan tidak akan mampu mengejar market share >10 persen pada 2028 tanpa ada intervensi struktural (merger/konversi/pembentukan BUS baru),” kata Yayuningsih dalam Idea Talks Riset OJK Institute Volume 4, Rabu, 13 Maret 2024.

Dia mengatakan intervensi struktural dianggap penting untuk mendorong pertumbuhan market share perbankan syariah. Indonesia memiliki berbagai potensi besar untuk mengembangkan market share perbankan syariah. Mayoritas penduduk Indonesia, yaitu 86,88 persen, beragama Islam, yang merupakan potensi pasar yang signifikan bagi perbankan syariah.

Selain itu, potensi industri halal baik di dalam negeri maupun global sangat besar. Dukungan regulator untuk memperbesar market share perbankan syariah juga menjadi faktor penting melalui langkah-langkah struktural seperti merger, konversi, atau pembentukan BUS baru.

“Untuk mencapai market share BUS 5,6 persen dan PS 9,3 persen, maka perbankan syariah harus mengoptimalkan variabel CAR, FDR, NPL, dan BOPO,” jelas Yayuningsih.

Pengelolaan variabel-variabel ini dianggap krusial untuk meningkatkan market share secara signifikan.

Untuk mencapai target market share BUS 10 persen dan PS 14 persen atau bahkan BUS 15 persen dan PS 18 persen, perbankan syariah perlu menggunakan variabel aset di masa lalu. Ini bisa dicapai melalui konversi Bank Umum Konvensional (BUK) menjadi BUS dan merger beberapa BUS menjadi satu entitas yang lebih besar. (alp/*)