KABARBURSA.COM – Harga mayoritas logam non-ferrous mengalami penurunan signifikan pada Senin 10 Juni 2024. Di tengah penguatan dolar AS dan lemahnya permintaan fisik, harga tembaga di bursa London merosot ke level terendah lebih dari lima minggu.
Mengutip Reuters, harga tembaga kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) turun 0,2% menjadi USD 9.747 per ton pada 0417 GMT. Sementara itu, aluminium turun 1% menjadi USD 2.552,50, seng turun 0,9% menjadi USD 2.741, dan timbal turun 0,4% menjadi USD 2.190,50.
Harga timah LME turun tipis 0,1% menjadi USD 31.410 per ton, dan nikel hampir tidak berubah pada USD 18.035.
Penguatan indeks dolar pada hari Senin membuat logam yang dihargai dalam dolar menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya. Hal ini dipicu oleh data AS yang menunjukkan bahwa ekonomi terbesar dunia tersebut menciptakan lebih banyak pekerjaan daripada yang diperkirakan pada bulan Mei.
Data pekerjaan ini membuat para pedagang sekali lagi mengubah ekspektasi mereka mengenai kapan dan seberapa besar The Fed akan menurunkan suku bunga.
Pada awal sesi, harga tembaga turun 0,2% menjadi USD 9.741 per ton, level terendah sejak 2 Mei.
Kontrak tiga bulan LME telah kehilangan sekitar 12% sejak mencapai rekor tertinggi USD 11.104,50 pada 20 Mei karena investor spekulatif meninjau kembali reli panas tembaga.
Posisi bersih spekulatif pada tembaga COMEX turun ke level terendah sejak 16 April pada hari Selasa, menurut data bursa terbaru.
Sementara itu, premi biasanya untuk mengimpor tembaga ke China tetap berada pada diskon, mencerminkan permintaan yang lemah dari konsumen tembaga terbesar dunia di tengah harga yang tinggi dan volatil.
Stok tembaga di gudang yang dilacak oleh Shanghai Futures Exchange (SFE) terus naik dan mencapai 336.964 ton pada hari Jumat, tertinggi sejak Maret 2020.
Volume perdagangan tipis karena hari libur nasional di China. SHFE tutup pada hari Senin.
Penurunan harga logam ini menjadi sorotan utama bagi para pelaku pasar yang khawatir dengan ketidakpastian ekonomi global. Para analis memperkirakan bahwa volatilitas harga logam akan terus berlanjut, terutama jika penguatan dolar berlanjut dan permintaan fisik tetap lemah.
Di sisi lain, ada harapan bahwa permintaan akan kembali pulih seiring dengan perbaikan ekonomi global dan stabilisasi kebijakan moneter. Namun, hal ini sangat bergantung pada berbagai faktor eksternal termasuk perkembangan geopolitik dan kebijakan ekonomi dari negara-negara besar.
Secara keseluruhan, pasar logam non-ferrous tetap berada dalam posisi yang tidak pasti dengan tekanan dari berbagai sisi, baik dari segi permintaan maupun kebijakan ekonomi global yang terus berubah.
Pada tahun 2024, harga tembaga diperkirakan akan menghadapi fluktuasi yang signifikan. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi harga tembaga adalah ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan global. Permintaan global diprediksi meningkat sekitar 2.7%, terutama didorong oleh permintaan dari China yang naik sebesar 4.3% karena peningkatan aktivitas manufaktur dan sektor energi hijau seperti panel surya, tenaga angin, dan kendaraan listrik.
Namun, peningkatan permintaan ini akan diimbangi oleh kenaikan produksi tembaga yang diperkirakan mencapai 4.6% pada tahun 2024. Produksi ini sebagian besar akan didorong oleh peningkatan kapasitas peleburan dan pemurnian di China, serta proyek-proyek baru di Indonesia, India, dan Amerika Serikat. Penambahan tembaga dari material daur ulang juga akan berkontribusi pada lonjakan pasokan.
Menurut laporan Wood Mackenzie, prospek jangka panjang untuk tembaga tetap cerah, didukung oleh industrialisasi, urbanisasi, dan pertumbuhan populasi. Namun, untuk memenuhi permintaan masa depan, perlu ada insentif untuk pengembangan tambang baru karena waktu yang dibutuhkan untuk memulai tambang sangat lama.
Secara keseluruhan, meskipun ada peningkatan signifikan dalam produksi, pasar tembaga global masih akan mengalami tantangan keseimbangan antara pasokan dan permintaan, terutama di luar China, di mana permintaan cenderung melemah akibat tingginya suku bunga yang menghambat aktivitas manufaktur di Eropa dan AS.
Mengutip The Japan Times, Tiongkok sedang menjalani ekspansi besar-besaran di sektor industri tembaganya, mengubah alur pasokan logam penting bagi transisi energi global. Dominasi negara-negara Asia terhadap pasokan logam ramah lingkungan lainnya seperti litium, kobalt, dan nikel, yang sangat penting bagi baterai kendaraan listrik, telah mendorong negara-negara Barat untuk mengupayakan rantai pasokan yang terpisah.
Di tengah kekhawatiran tersebut, produksi tembaga olahan di Tiongkok melonjak. Pangsa produksi tembaga dunia yang dihasilkan oleh Tiongkok diperkirakan akan mencapai rekor tertinggi tahun ini, berkat pembangunan pabrik peleburan baru yang masif.
Peningkatan kapasitas produksi ini membawa dinamika baru ke pasar tembaga global, yang selama dua dekade terakhir sangat bergantung pada seberapa besar harga yang bersedia dibayar oleh pembeli di Tiongkok. Meski Tiongkok tetap akan mengimpor tembaga dalam jumlah besar, kini lebih banyak dalam bentuk bijih daripada logam olahan.
Tembaga kini diakui sebagai komoditas paling vital dalam era dekarbonisasi, mengingat penggunaannya dalam berbagai teknologi ramah lingkungan, mulai dari kendaraan listrik hingga turbin angin dan perluasan jaringan listrik. Permintaan Tiongkok yang meningkat untuk teknologi hijau menjadi titik terang bagi pasar logam dunia yang sedang menghadapi tekanan pada tahun 2023. (*)