KABARBURSA.COM – Pemerintah bakal melakukan ekspansi bisnis bagi unit Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pertamina (Persero). Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara HUT Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ke-52 di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Senin, 10 Juni 2024.
Luhut mengatakan, dalam rencana ekspansi bisnis itu, Pertamina akan mengakuisisi perusahaan asing yang mampu mengubah bahan bakar minyak (BBM) menjadi bioetanol secara bertahap. “Presiden (Jokowi) tadı juga sudah memutuskan nanti Pertamina akan akuisisi perusahaan, sekarang lagi due diligence (studi kelayakan) di Brasil untuk mengambil perusahaan yang bisa menyuplai gula dan juga etanol,” kata Luhut dalam pidatonya.
Luhut menambahkan, ke depannya, kendaraan bermotor akan menggunakan bioetanol sebagai ganti dari BBM. Sebab, hal ini sejalan dengan rencana pemerintah mendorong peningkatan kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia dengan memanfaatkan bahan bakar ramah lingkungan.
“Sehingga karena cuaca yang jelek ini air pollution yang sangat tinggi di Jakarta, kita akan ganti bensin itu dengan secara bertahap bioetanol, dan juga menurunkan sulfur kita di bawah 500 sampai kemungkinan 50 atau 60,” kata Luhut.
Lebih lanjut Menko Marves itu menekankan, penerapan bioetanol sebagai pengganti BBM oleh pemerintah akan tercapai dalam kurun waktu 20 sampai 30 tahun kemudian. Ini menjadi sebuah kesempatan bagi Pertamina untuk perlahan membuat ketahanan energi dari sumber gula.
“Nah ini saya kira dalam 20-30 tahun ke depan kita akan bisa capai. Sehingga nanti Pertamina memiliki sumber energi dan sumber gula di Brasil itu akan membuat ketahanan energi bagus,” jelas dia.
Pertamina Kembangkan Bioetanol
PT Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) mengumumkan rencana pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar ramah lingkungan pengganti Pertalite/Pertamax mulai tahun 2027, dengan melibatkan kerja sama dengan Brasil.
CEO PNRE, John Anis, mengatakan Brasil merupakan produsen bioetanol terkemuka di dunia, sehingga PNRE ingin belajar dari pengalaman negara tersebut sebelum memulai produksi massal di Indonesia.
John menekankan pentingnya kerja sama dalam menghadapi tantangan pengembangan bioetanol, termasuk ketersediaan bahan baku.
“PNRE juga belum memastikan tingkat research octane number (RON) dari bioetanol Pertamax Green yang diproduksi di Merauke sebagai pengganti Pertalite atau Pertamax,” ujarnya.
John juga menyebut bahwa PNRE telah bergabung dengan Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, sesuai dengan mandat Keputusan Presiden No. 15/2024.
Selain itu, PNRE sedang membahas kemungkinan terlibat dalam konsorsium yang mengembangkan lahan tebu seluas 2 juta hektare di Merauke.
Harga Acuan Bioetanol
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga acuan bioetanol di Indonesia senilai Rp14.528 per liter pada 1 Mei 2024. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) menilai jika bahan bakar bioetanol menjadi pengganti Pertalite, maka pemerintah harus melakukan penyesuaian harga. Berapa harga yang pantas?
Saleh Abdurrahman, anggota BPH Migas, menyampaikan penyesuaian harga memang perlu dilakukan oleh pemerintah agar mendapatkan harga sesuai guna mendukung penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih ramah lingkungan secara massal.
“Untuk membuat harga bahan bakar alternatif seperti yang akan menggantikan Pertalite atau Pertamax menjadi lebih terjangkau, langkah yang bisa diambil adalah dengan menghapuskan cukai untuk etanol, bahan baku dari bioetanol. Dukungan seperti ini penting untuk pengembangan bioetanol sebagai bagian dari energi terbarukan, sebagaimana yang telah dilakukan untuk biodiesel,” kata dia.
Perlu dicatat bahwa saat ini harga Pertalite, sebuah jenis BBM khusus penugasan (JBKP), didukung oleh skema kompensasi dari anggaran negara, ditetapkan dengan harga tetap Rp10.000 per liter. Sementara itu, harga Pertamax 92, yang seharusnya mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, sedang tetap pada level Rp12.950 per liter hingga Juni.
Di sisi lain, harga Pertamax Green 95, yang juga dikenal sebagai bioetanol non-subsidi atau non-public service obligation (PSO), telah ditetapkan sebesar Rp13.500 per liter di beberapa SPBU Pertamina. Pertamax Green 95 merupakan proyek pilot uji pasar untuk bioetanol komersial pertama yang dicanangkan oleh pemerintah.
Saleh mengemukakan bahwa Indonesia bisa mempertimbangkan kebijakan Malaysia dan Thailand yang memberikan subsidi untuk bahan bakar berkualitas tinggi. Bahkan, menurutnya, Thailand juga memberikan subsidi untuk bioetanol.
Di sisi lain, dengan menghilangkan cukai etanol, harga bahan bakar bioetanol dianggap sudah cukup bersaing untuk menggantikan bahan bakar non-subsidi seperti Pertamax.
“Langkah ini akan membantu dalam menstabilkan harga jual produk Pertamina. Dengan Pertamax Green 95 yang menggunakan bioetanol, bahan bakar tersebut dianggap sebagai jenis bahan bakar umum, sehingga harganya mencerminkan kondisi ekonomi. Namun, kita perlu mencari pilihan terbaik untuk pasokan bioetanol, apakah itu dari dalam negeri atau impor yang terbatas, sampai produksi dalam negeri mencukupi untuk mencampur E5 (etanol 5 persen) atau lebih,” ujarnya.
Saleh mengatakan, usulan penghapusan cukai sebelumnya telah disampaikan oleh PT Pertamina (Persero). Pembahasan mengenai cukai etanol sebelumnya pernah disinggung oleh Pertamina. Perusahaan pelat merah itu meminta pemerintah menghapuskan cukai etanol yang akan digunakan sebagai bahan baku bauran bioetanol untuk bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan, termasuk konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92. (yub/*)