KABARBURSA.COM – Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Indonesia Yusuf Wibisono, mengkritik langkah konsolidasi perbankan syariah alias merger yang dilakukan oleh bank BUMN. Ia menilai kebijakan ini tidak mendukung perkembangan industri perbankan syariah nasional. Langkah ini, katanya, justru kontraproduktif bagi kemajuan industri dan kesejahteraan umat.
Tanggapan ini dilontarkan Yusuf menyikapi pengalihan dana milik Muhammadiyah sebesar Rp 15 triliun kepada bank-bank syariah lain. Muhammadiyah menyatakan pemindahan dana amal usaha organisasinya itu ditujukan untuk menyehatkan industri perbankan syariah.
Yusuf menjelaskan, merger tiga bank BUMN syariah yang melahirkan Bank Syariah Indonesia (BSI) pada 2021 lalu tidak memberikan dampak signifikan terhadap market share industri perbankan syariah nasional.
“Langkah konsolidasi perbankan syariah terutama oleh bank BUMN syariah yang merupakan pemimpin pasar, merupakan langkah yang kontraproduktif bagi perkembangan industri dan kemaslahatan umat,” ujar Yusuf kepada KABARBURSA, Senin, 10 Juni 2024.
Kebijakan merger ini, menurut dia, hanya bersifat gimik dan tidak memberikan kemajuan substansial bagi industri perbankan syariah. Meskipun terlihat riuh, kenyataannya market share perbankan syariah masih tetap kecil. “Merger tiga bank BUMN syariah, tidak berdampak ke market share industri perbankan syariah nasional sama sekali, karena yang digabungkan seluruhnya adalah bank syariah,” jelasnya.
Market Share Mungil
Ketua Umum Perkumpulan Bank Syariah Indonesia yang juga Direktur Utama BSI, Hery Gunardi, pernah mengklaim industri perbankan syariah nasional kini menunjukkan pertumbuhan yang positif. Hingga Februari 2024, aset dan pembiayaan perbankan Islam ini mencatat pertumbuhan dua digit secara tahunan dan melampaui pertumbuhan perbankan nasional.
“Pertumbuhan ini berdampak pada peningkatan market share aset perbankan syariah menjadi 7,33 persen; DPK meningkat ke level 7,87 persen; untuk pembiayaan, sangat menggembirakan, menjadi 8,11 persen pada periode yang sama. Sementara itu, potensi industri halal di Indonesia juga masih sangat besar, mencapai Rp 4.253 Triliun,” katanya dalam acara Silaturahmi Perkumpulan Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) yang digelar di Gedung Kantor Pusat BSI, Jakarta Selatan, Senin, 13 Mei 2024, lalu.
Namun, menurut Yusuf, angka 7 persen itu terlalu kecil jika dibandingkan dengan bank syariah yang ada di negara-negara Timur Tengah. Negara-negara dengan bank syariah terbesar, seperti Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Malaysia, Kuwait, dan Bahrain, memiliki penetrasi perbankan syariah domestik yang tinggi. Di negara-negara ini, market share perbankan syariah domestik berkisar antara 15 persen hingga 70 persen.
Dengan market share yang baru di bawah 10 persen, ambisi Indonesia untuk menjadi pemain utama di kancah global dalam industri perbankan syariah terasa muskil.
“Jajaran 10 bank syariah terbesar dunia, seluruhnya dikuasai bank syariah dari Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Malaysia, Kuwait dan Bahrain. Ciri yang sama dari negara-negara tersebut adalah penetrasi perbankan syariah domestik yang sudah tinggi,” kata Yusuf.
“Berbeda jauh dengan kita di mana market share perbankan syariah domestik hingga kini baru di kisaran 7%, serupa dengan Turki,” imbuhnya.
Yusuf mengusulkan alternatif kebijakan yang lebih efektif untuk meningkatkan market share perbankan syariah nasional. Salah satu langkah yang disarankannya adalah konversi bank BUMN konvensional menjadi bank syariah. Misalnya, konversi BTN menjadi bank syariah dapat memberikan dampak yang lebih besar.
Industri perbankan syariah nasional akan lebih berkembang jika bank-bank syariah dapat mendalami ceruk pasar yang spesifik dengan strategi spesialisasi bisnis. Konsolidasi prematur, menurut Yusuf, telah mencegah hal ini terjadi.
“Industri perbankan syariah nasional kita akan melesat jika kebijakan yang ditempuh adalah konversi bank BUMN Konvensional, katakan konversi BTN menjadi bank syariah,” kata dia.
Selain itu, konsolidasi prematur juga membatasi pilihan konsumen bank syariah. Ketika sebuah bank syariah memiliki positioning dan core business yang unik, konsolidasi dapat menghilangkan keunikan tersebut. Sebagai contoh, BRI Syariah yang memiliki spesialisasi dalam pembiayaan mikro untuk usaha kecil kehilangan identitasnya setelah merger dengan dua bank lainnya menjadi BSI.
Yusuf juga menyoroti rencana spin-off BTN Syariah. Ia menyarankan agar pemerintah tidak membiarkan hilangnya bank syariah yang memiliki spesialisasi dalam pembiayaan kepemilikan rumah, terutama KPR subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Langkah yang disarankan adalah konversi BTN menjadi bank syariah agar BTN Syariah dapat melebur ke dalamnya.
Ke depan, bank BUMN syariah yang merupakan market leader di bidangnya masing-masing seharusnya dibiarkan terus eksis dan diperkuat permodalannya. Dengan demikian, market share industri perbankan syariah bisa meningkat signifikan. Menurut Yusuf, menciptakan bank syariah level global membutuhkan dukungan pemerintah untuk mendorong pemain baru pendamping BSI.
Langkah strategis ini, jika diimplementasikan, dapat mendongkrak market share perbankan syariah nasional dari kisaran 7 persen saat ini menembus 10 persen. Di saat yang sama, Indonesia berpotensi memiliki wakil di jajaran 10 bank syariah terbesar di dunia. “Langkah ini akan mendongkrak market share perbankan syariah kita dari kisaran 7 persen saat ini menembus 10 persen,” tegas Yusuf.
Dengan adanya kebijakan afirmatif seperti ini, Indonesia bisa lebih realistis berbicara mengenai ambisinya sebagai pemain utama dalam industri perbankan syariah global. “Hanya setelah itu baru kita bisa bicara ambisi Indonesia sebagai pemain utama dalam industri perbankan syariah global,” katanya.
Corporate Secretary BSI, Wisnu Sunandar, menolak berkomentar terkait hal ini. Ia juga tak berkenan menanggapi ihwal kontroversi pemindahan dana Muhammadiyah dari BSI. “Cooling down ya. Mohon maaf,” ujarnya saat dikonfirmasi.(pin/*)