KABARBURSA.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah pada perdagangan sesi I siang ini, mengikuti tren negatif bursa saham Asia lainnya merah. Pada Selasa 11 Juni 2024, penutupan sesi I, IHSG berada di posisi 6.909,69, turun 0,17% dari penutupan hari sebelumnya.
Posisi terendah IHSG siang ini adalah 6.876,96, sedangkan tertinggi mencapai 6.932,46.
Tidak hanya IHSG, hampir semua indeks saham utama Asia terbenam di zona merah. Hang Seng (Hong Kong) menjadi yang paling parah, anjlok 1,67%.
Indeks saham lainnya juga menapaki jalur merah: CSI 300 (China) turun 1,14%, Shanghai Composite (China) melemah 1,14%, Ho Chi Minh Stock Index (Vietnam) menurun 0,55%, Shenzhen Comp. (China) merosot 0,54%, Straits Time (Singapura) terdepresiasi 0,31%, KLCI (Malaysia) berkurang 0,24%, PSEI (Filipina) kehilangan 0,11%, dan TW Weighted Index (Taiwan) terpangkas 0,03%.
Namun, ada indeks yang masih bergerak menguat: KOSPI (Korea Selatan) naik 0,40%, NIKKEI 225 (Tokyo) menanjak 0,31%, dan Topix (Jepang) meningkat 0,10%.
Bursa saham Asia gagal memanfaatkan momentum penguatan di Bursa Saham Amerika Serikat. Dini hari tadi waktu Indonesia, tiga indeks utama di Wall Street kompak ditutup menghijau. Nasdaq Composite, S&P 500, dan Dow Jones Industrial Average masing-masing menguat 0,35%, 0,26%, dan 0,18%.
Sentimen yang mempengaruhi laju Bursa Asia hari ini adalah persiapan pasar menjelang keputusan penting Federal Reserve minggu ini dan data inflasi utama.
Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) memulai pertemuan Komite Pasar Terbuka (Federal Open Market Committee/FOMC) untuk merumuskan kebijakan moneter selanjutnya, yang dimulai hari ini waktu setempat.
Kemudian, pada Rabu, AS akan melaporkan data inflasi Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) bulan Mei yang akan memberikan petunjuk penting arah suku bunga acuan The Fed ke depan.
Seperti yang dilaporkan Bloomberg News, JPMorgan Chase & Co. hingga Citigroup Inc. mendesak para investor untuk bersiap-siap menghadapi goncangan pasar usai terbitnya CPI pada Rabu dan keputusan suku bunga AS.
Tim Riset Phillip Sekuritas menyampaikan bahwa investor secara umum mengambil sikap menghindari risiko menjelang pertemuan kebijakan Bank Sentral AS (Federal Reserve) dan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) minggu ini.
Dari regional Asia, para investor juga mencermati data terbaru pada Senin yang menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto Jepang menyusut dengan laju tahunan mencapai 1,8% dalam tiga bulan hingga Maret.
Angka tersebut mencerminkan konsumen dan perusahaan mengurangi pengeluaran dan persediaan yang tidak terjual menumpuk di rak-rak gudang karena tren inflasi terkuat dalam beberapa dekade terus menekan pengeluaran secara riil.
Belanja rumah tangga masih lemah, memperpanjang penurunan menjadi empat kuartal berturut-turut dengan laju penurunan paling cepat dalam tiga kuartal akibat tekanan kenaikan harga, pertumbuhan upah yang rendah, dan dampak dari gempa bumi tahun ini.
Dari dalam negeri, Penjualan Ritel Indonesia melemah pada April dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, secara bulanan, Penjualan Ritel masih berhasil tumbuh didorong oleh perayaan Hari Raya Idul Fitri.
Pada Selasa, Bank Indonesia mengumumkan Penjualan Ritel yang dicerminkan dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) pada April sebesar 236,3, melemah 2,7% dibandingkan April tahun lalu.
Kontraksi lebih dalam tertahan oleh Kelompok Suku Cadang dan Aksesori serta Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang mencatatkan pertumbuhan positif, tulis laporan BI.
Dibandingkan Maret, Penjualan Ritel tumbuh 0,4%, didorong oleh Kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi, Barang Budaya dan Rekreasi, serta Makanan, Minuman, dan Tembakau sejalan dengan kegiatan masyarakat saat Hari Raya Idul Fitri.
Pada tahun 2024, sentimen bursa saham Asia tampaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, terutama kebijakan suku bunga The Fed dan dinamika ekonomi global.
Salah satu pengaruh terbesar datang dari kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama dari yang diantisipasi. Investor global merasa khawatir dengan ketidakpastian mengenai kapan The Fed akan mulai menurunkan suku bunganya. Kebijakan ini menyebabkan imbal hasil obligasi global melonjak, yang pada gilirannya memberikan tekanan negatif pada pasar ekuitas di seluruh dunia, termasuk Asia.
Selain itu, data ekonomi domestik juga memainkan peran penting. Di Indonesia, meski terjadi penurunan di beberapa sektor seperti manufaktur, pemerintah berusaha menstabilkan ekonomi melalui berbagai insentif dan alokasi dana untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Di Jepang, ekonomi menunjukkan tanda-tanda kontraksi, mencerminkan pengeluaran konsumen dan perusahaan yang menurun akibat inflasi yang kuat.
Pasar saham di Asia menunjukkan reaksi yang beragam terhadap dinamika ini. Beberapa indeks utama seperti Nikkei 225 dan Hang Seng mencatat penurunan signifikan, sementara lainnya seperti KOSPI dan NIKKEI 225 menunjukkan penguatan di beberapa hari tertentu, tergantung pada data ekonomi dan sentimen pasar saat itu.
Sentimen investor di kawasan ini cenderung hati-hati dan risk-averse, terutama menjelang keputusan kebijakan penting dari bank sentral. Misalnya, menjelang pertemuan Federal Reserve dan Bank of Japan, investor cenderung menahan diri dari mengambil risiko besar, menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai arah kebijakan moneter.
Dengan berbagai faktor ini, pasar saham Asia di tahun 2024 dipenuhi dengan volatilitas dan ketidakpastian, mencerminkan tantangan ekonomi global yang terus berkembang. (*)