KABARBURSA.COM – Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Badrun Susantyo menekankan bahwa transportasi publik bukan sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, melainkan cerminan nilai-nilai sosial dan ekonomi suatu negara.
“Sistem transportasi yang inklusif dan efisien dapat menjadi katalisator dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketidaksetaraan sosial, bahkan memperkuat fondasi ekologis suatu negara,” ujar Badrun di Jakarta, Selasa 11 Juni 2024.
Menurutnya, kebijakan dan sistem transportasi yang humanis harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia terhadap aksesibilitas.
Ia menjelaskan bahwa kompleksitas geografis Indonesia sebagai negara kepulauan membuat perjalanan transportasi publik yang ideal menjadi tantangan tersendiri.
“Kondisi ini menimbulkan tantangan besar dalam merancang dan menerapkan solusi transportasi yang terintegrasi dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat,” kata Badrun.
Salah satu tantangan utama, lanjutnya, adalah pembangunan infrastruktur transportasi yang merata. “Ini tantangan berat bagi negara kita,” tambahnya.
Badrun juga menyoroti infrastruktur transportasi di daerah terpencil yang masih belum memadai. “Banyak daerah, terutama yang terpencil, infrastrukturnya jauh dari kata memadai. Hal ini berdampak langsung terhadap aksesibilitas warga,” ujarnya.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Kementerian Perhubungan menetapkan sasaran strategis sektor perhubungan tahun 2020-2024, meliputi infrastruktur pelayanan dasar, infrastruktur ekonomi, dan infrastruktur perkotaan.
Direktur Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Zamrides menjelaskan arah kebijakan pembangunan infrastruktur berupa penguatan konektivitas transportasi darat, pengembangan simpul, pengembangan jaringan, pengelolaan layanan, dan penataan kawasan.
“Arah kebijakan peningkatan keterpaduan antarmoda transportasi meliputi integrasi fisik, integrasi kelembagaan, integrasi jadwal, integrasi pembayaran, dan integrasi layanan serta sistem,” ujar Zamrides.
Menurutnya, transportasi berkelanjutan harus mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan yang nantinya akan berdampak pada kelayakan pelayanan angkutan umum sebagai tulang punggung pergerakan mayoritas penduduk.
Transportasi Publik Prioritas
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menyatakan pemerintah perlu menguatkan kebijakan dengan menetapkan transportasi publik sebagai prioritas wajib dan dasar pelayanan masyarakat.
Djoko menuturkan, hal tersebut bertujuan membangun ekosistem transportasi publik, khususnya yang berbasis listrik atau baterai. Oleh karenanya, ia menilai perlu ada revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam revisi itu, perhubungan harus masuk kebutuhan dasar.
“Revisi perlu menyertakan penguatan peraturan daerah angkutan umum, yaitu lima persen untuk angkutan umum. Selain itu, Kementerian Dalam Negeri perlu memasukkan pedoman untuk mencari pembiayaan angkutan massal,” kata dia kepada Kabar Bursa.
Djoko menyebut, seiring dengan penguatan kebijakan dasar pelayanan masyarakat, mau tak mau pemerintah daerah akan memprioritaskan pengadaan kendaraan hingga rute.
Menurut dia, sarana dan prasarana yang terbangun tersebut, membuat masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi massal.
“Dalam membangun ekosistem itu pula, pemerintah memang perlu melakukan kolaborasi lintas sektor, seperti dengan perbankan dan pengembang perumahan, khususnya di wilayah Bodetabek,” ujar Djoko.
“Meski begitu, tetap transportasi publik harus disubsidi oleh pemerintah karena ini bagian dari kewajiban pemerintah,” tambah dia.
Selain lintas sektor, lanjut Djoko, agar terwujud ekosistem bertransportasi massal perlu ada juga kolaborasi dari tingkat Kementerian kondisi transportasi publik masih buruk karena di level kementerian tidak sejalan akibat kepentingan atau ego sektoral.
Tingginya Kendaraan Pribadi
Menurut Djoko, terciptanya sistem transportasi perkotaan berbasis angkutan umum massal yang terintegrasi menjadi satu strategi utama meretas tantangan transportasi di Jabodetabek saat ini, yaitu tingginya penggunaan kendaraan pribadi, baik motor maupun mobil.
“Integrasi layanan transportasi yang efektif, efisien, aman dan nyaman, serta terjangkau oleh masyarakat diharapkan mempu membuat pergerakan orang yang menggunakan angkutan umum massal di Jabodetabek mencapai 60 persen di akhir 2029 sesuai target Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ),” jelasnya.
Untuk mewujudkannya, jelas dia, diperlukan fasilitas angkutan umum ke semua hunian di wilayah Jabodetabek yang berjumlah 2.010 kawasan perumahan. Harus diupayakan untuk menyediakan layanan berdasarkan tingkat keterjangkauan masyarakat yang dilihat dari harga tempat tinggal.
Adapun sasaran dalam jangka pendek Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) adalah perumahan kelas menengah ke atas yang jumlahnya 158 kawasan (harga per unit rumah di atas Rp2 miliar).
Layanan angkutan umum JRC (Jabodetabek Residence Connexion) baru ada di 23 perumahan kelas atas (19,7 persen).
Di sisi lain seorang warga Cilebut, Kabupaten Bogor, Imron Octave mengatakan kuantitas angkot di wilayah rumahnya sebenarnya sudah memadai.
Namun Imron menyoroti perihal pelayanannya. Dia mengaku sering kali menunggu angkot dengan waktu yang lama, terutama ketika dia akan berangkat kerja di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat.