KABARBURSA.COM – Negara mengakui mengalami kerugian mencapai lebih dari Rp200 triliun. Penyebabnya adalah perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang membandel. Mereka tidak melakukan rehabilitasi pasca tambang dan membiarkan sisa-sisa pekerjaan begitu saja. Kondisi ini tidak hanya merugikan negara, namun membahayakan warga sekitar.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti masalah serius yang melibatkan ratusan perusahaan yang belum memenuhi kewajiban pemulihan, rehabilitasi, dan reklamasi lingkungan pasca tambang. Temuan ini terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) serta instansi terkait lainnya. Akibatnya, negara berpotensi mengalami kerugian hingga ratusan triliunan rupiah.
Dalam laporan tersebut, BPK menyoroti tiga poin utama. Pertama, banyak pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang belum memulihkan fungsi lingkungan hidup pada areal yang telah habis masa berlakunya atau dicabut. Ada sekitar 179.455 hektare area yang belum mendapatkan pemulihan. Selain itu, hanya sebagian kecil dari total jumlah pemegang izin yang telah menempatkan jaminan reklamasi dan pasca tambang, dengan nilai yang jauh lebih rendah dari potensi nilai kerugian lingkungan yang teridentifikasi.
Kedua, masih ada bekas area pertambangan tanpa IUP yang belum mendapatkan pemulihan fungsi lingkungan hidup, mencakup sekitar 253.242,66 hektare. Akibat praktik ini, terdapat potensi nilai kerugian lingkungan senilai Rp119,4 triliun. Kerugian ini meliputi biaya pemulihan, penggantian biaya penyelesaian sengketa, dan kerugian ekosistem.
Ketiga, beberapa pemegang izin usaha yang akan habis masa dalam dua tahun juga belum melakukan reklamasi. Diperkirakan ada sekitar 133.901,70 hektare yang belum direklamasi, dengan potensi kerugian mencapai Rp61,9 triliun. Ini termasuk biaya pemulihan, biaya penyelesaian sengketa, dan kerugian ekosistem.
BPK merekomendasikan langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini:
- Kementerian LHK, Kementerian ESDM, dan Pemerintah Daerah diminta untuk melakukan koordinasi guna menyusun kebijakan pengendalian lingkungan yang komprehensif.
- Selanjutnya, koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM diperlukan terkait kebijakan pengelolaan dan penggunaan dana jaminan reklamasi, tutup tambang, dan biaya pemulihan yang dibayarkan oleh pihak ketiga.
- Terakhir, BPK menyarankan upaya lebih lanjut dalam pemulihan kerusakan lingkungan oleh Kementerian ESDM dan aparat penegak hukum terkait.
Keseluruhan, temuan BPK menyoroti urgensi tindakan yang cepat dan efektif untuk memastikan pemulihan lingkungan pasca tambang yang tepat dan transparan. Ini menggarisbawahi pentingnya kerjasama lintas sektor dan pengawasan yang ketat guna menghindari kerugian lingkungan yang lebih lanjut dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam.
KADIN Soroti ‘Hadiah Tambang’ untuk Ormas Keagamaan
Kebijakan pemerintah yang memungkinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang telah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, banyak pihak yang merasa kebijakan ini rentan terhadap tantangan hukum dari berbagai elemen masyarakat.
Arya Rizqi Darsono, Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Minerba, menyatakan bahwa meskipun tujuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui izin tambang untuk Ormas Keagamaan adalah baik, namun harus tetap mematuhi Undang-Undang yang berlaku. Menurutnya, Peraturan Pemerintah tersebut perlu diperhatikan secara cermat, dan lebih baik jika izin diberikan kepada badan usaha yang didirikan oleh Ormas, yang harus tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas.
Arya juga menyoroti perlunya penyempurnaan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, terutama pada Pasal 75 yang memberikan prioritas kepada BUMN dan BUMD dalam mendapatkan IUPK. Dia berpendapat bahwa jika BUMN dan BUMD tidak berminat, baru kemudian tawaran tersebut dapat dilelang kepada pihak swasta.
Namun, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), melalui koordinasinya dengan Melky Nahar, menilai bahwa Peraturan Pemerintah ini mencerminkan arogansi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Melky, proses pembuatan kebijakan tersebut tidak melibatkan partisipasi publik dan sarat dengan indikasi korupsi politik.
JATAM menuntut Ormas Keagamaan untuk menolak tawaran pemberian konsesi tambang dari pemerintah, dan menilai bahwa kebijakan ini tidak sesuai dengan semangat reformasi di Indonesia.
Pemerintah, diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, memberikan penjelasan bahwa jika Ormas Keagamaan menolak untuk mengelola lahan tambang yang diberikan, maka lahan tersebut akan dikembalikan ke negara dan dilelang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hingga saat ini, pemerintah telah memberikan izin pengelolaan tambang kepada enam Ormas Keagamaan.
Meskipun demikian, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh badan usaha ormas jika ingin mengelola lahan tambang, seperti melakukan feasibility study (FS) dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku.
Kontroversi mengenai kebijakan ini menyoroti pentingnya penyempurnaan regulasi dan partisipasi publik yang lebih luas agar kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memastikan keberlanjutan lingkungan hidup.(*)