KABARBURSA.COM – Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko marves) menyoroti peluang Indonesia memimpin produsen hidrogen dan amonia di tingkat regional. Alasannya, Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dalam produksi hidrogen bersih yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi yang signifikan. Hidrogen dapat menjadi alat penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor dan mencapai net-zero pada 2050. Hidrogen dapat berfungsi sebagai bahan bakar rendah atau nol karbon untuk transportasi dan penggunaan akhir industri, bahan baku untuk bahan kimia industri, dan produk-produk penting.
Deputi Menteri Koordinator Bidang Kelautan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi, dalam acara Indonesial International Hydrogen Summit 2024 di Jakarta, Rabu, 19 Juni 2024, mengatakan, secara geografis Indonesia dekat dengan negara-negara yang memiliki permintaan tinggi akan hidrogen bersih. Contohnya saja Jepang, Korea Sleatan, dan Singapura, yang memiliki produksi hidrogen sebesar empat juta ton per tahun.
Indonesia sendiri memiliki cadangan gas terbesar kedua di Asia Pasifik dan potensi penyimpanan CO2 terbesar ketiga di kawasan tersebut untuk hidrogen biru. Sedangkan untuk hidrogen hijau, Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia dan potensi kapasitas tenaga surya lebih dari 200 GW.
“Hidrogen akan memainkan peran penting dalam sistem energi global, seiring dengan upaya berbagai negara untuk mendekarbonisasi dan membangun ekosistem hidrogen. Sumber daya gas alam yang melimpah, kapasitas penyimpanan CO2, dan potensi energi terbarukan, menempatkan Indonesia sebagai pemimpin regional dalam produksi hidrogen,” kata Jodi.
“Sektor hidrogen menghadirkan peluang baru bagi Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya energinya yang melimpah guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” lanjut dia.
Seiring dengan upaya negara-negara untuk mencapai target net zero emission, permintaan hidrogen global diperkirakan akan meningkat lebih dari empat kali lipat antara tahun 2020 dan 2050. Pada tahun 2023, ada 1.418 proyek hidrogen bersih yang diumumkan secara global, dengan nilai investasi mencapai US$ 570 miliar di seluruh rantai nilai hidrogen.
Amonia, yang digunakan dalam produksi pupuk, dapat diproduksi menggunakan hidrogen hijau dan biru, menjadikannya lebih bersih. Di Indonesia, amonia memiliki peran penting sebagai bahan utama dalam industri pupuk dengan nilai pasar mencapai US$ 4,5 miliar pada 2023. Amonia bersih juga dapat membantu mengatasi risiko ekspor pupuk senilai US$ 1 miliar dari Indonesia yang terancam oleh regulasi CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) yang diterapkan oleh negara-negara maju. Pasar pupuk yang besar dan berkembang di Indonesia juga dapat menjadi basis pelanggan yang mapan untuk hidrogen.
Pemerintah Indonesia telah mengembangkan rencana strategis untuk membangun sektor hidrogen domestik dengan langkah-langkah konkret, termasuk peningkatan efisiensi penggunaan hidrogen, pengembangan infrastruktur jaringan listrik dan skala mikro, serta regulasi yang jelas tentang perdagangan emisi, pajak karbon, dan insentif. Produksi hidrogen rendah karbon sesuai dengan kebijakan perdagangan internasional dan penggunaan bahan bakar rendah karbon untuk komoditas ekspor menjadi fokus utama.
Beberapa proyek hidrogen bersih yang sedang dikembangkan di Indonesia termasuk Batam Bintan Green Hydrogen Cluster dengan kapasitas rencana 25-100 ktpa yang akan beroperasi pada kuartal pertama 2027, Sumatra Clean Hydrogen Cluster dengan kapasitas rencana 25-100 ktpa yang akan beroperasi pada kuartal pertama 2027, Cilegon Clean Hydrogen Cluster dengan kapasitas rencana (TBC) yang akan beroperasi pada kuartal ketiga 2027, dan North Sulawesi Green Ammonia Cluster dengan kapasitas rencana 500 ktpa yang akan beroperasi pada kuartal pertama 2030. Selain itu, proyek Sumatra-Java Blue Ammonia dengan kapasitas rencana 730 ktpa (TBC) juga sedang dikembangkan.
“Kelima proyek hidrogen bersih ini, yang menggunakan sumber daya energi terbarukan dan kapasitas penyimpanan karbon Indonesia, bertujuan untuk memproduksi hidrogen hijau dan biru,” kata Jodi.
Di kesempatan yang sama, HDF Energy dan Daewoo Engineering & Construction Co Ltd menandatangani MoU tentang proyek Hypower Plant (H2 to Power) di Asia, yang bertujuan untuk mendekarbonisasi industri rafinasi dan petrokimia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi, menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhi harga hidrogen di Indonesia. Menurutnya, dua faktor utama adalah meningkatnya permintaan dan ketersediaan infrastruktur pendukung hidrogen.
“Dengan meningkatnya permintaan, harga hidrogen kemungkinan akan menjadi lebih terjangkau. Pada tahun 2030, diperkirakan harganya mungkin hanya setengah dari harga saat ini,” ujarnya.
Eniya menjelaskan bahwa saat ini, harga hidrogen abu-abu (grey hydrogen) sekitar USD3,5 per kilogram untuk keperluan industri seperti produksi pupuk. Namun, harga tersebut dapat melonjak hingga USD21 per kilogram jika digunakan dalam skala kecil, misalnya untuk keperluan laboratorium. Grey hydrogen menggunakan listrik yang dihasilkan dari gas alam, sehingga memiliki tingkat emisi yang tinggi.
Lebih lanjut, Eniya menegaskan bahwa hidrogen merupakan energi sekunder yang diproduksi dari bahan baku tertentu dan memerlukan konsumsi listrik dalam proses pembuatannya.(*)