KABARBURSA.COM –Mengatasi masalah gizi anak di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif daripada sekadar menyediakan makan siang gratis. Meski program makan siang gratis memiliki niat baik, solusi ini tidak cukup untuk menjawab tantangan kompleks yang dihadapi anak-anak dalam mendapatkan nutrisi yang memadai.
Menurut pengamat ekonomi Salamudin Daeng, kualitas makanan dan gizi yang buruk, seperti masalah stunting, adalah potret nyata kondisi tersebut. Namun, Salamudin menegaskan program makan siang gratis tidak cukup untuk memperbaiki masalah ini secara mendasar.
“Bagaimana menghitung kadar gizi daging satu sendok teh yang mungkin ada di dalam sepotong risol,” ujarnya kepada Kabar Bursa, Rabu, 19 Juni 2024.
Masalah ini seharusnya menjadi perhatian serius negara, bukan hanya pemerintahan terpilih. Menurut Salamudin, memperbaiki gizi anak-anak Indonesia membutuhkan waktu panjang, tidak cukup hanya lima tahun, tetapi setidaknya 20-25 tahun.
“Perbaikan gizi harus dimulai dari manusia Indonesia dalam kandungan ibu mereka hingga usia produktif,” kata Salamudin. Generasi inilah, kata Salamudin, yang dapat menjadi bonus demografi yang sebenarnya.
Namun, program makan bergizi bagi pelajar tampaknya sulit terlaksana atau akan terhalangi. Hal ini disebabkan tidak adanya Undang-Undang (UU) yang memayungi program tersebut, berbeda dengan UU pendidikan yang memayungi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, dan UU kesehatan yang memayungi anggaran kesehatan sebesar 10% dari APBN. Anggaran makan bergizi untuk pelajar diperkirakan memerlukan minimal 15% dari APBN 2025.
Untuk memproses sebuah UU, apalagi yang diproyeksikan akan menyedot anggaran negara, sudah pasti akan sulit terealisasi. Salamudin menyebut bahwa APBN telah menjadi jatah kelompok elite kekuasaan yang tentu tidak ingin privilegenya terganggu. “Para pembuat kebijakan selalu berpikir formal, jika tidak ada landasan konstitusinya maka tidak ada kewajiban membuat UU,” jelasnya. Jika tidak ada UU-nya, maka DPR tidak memiliki kewajiban untuk membahas anggarannya dalam pembahasan APBN.
Mengatasi formalitas semacam ini, negara harus turun tangan. Menurut Salamudin, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara masih dapat berperan. MPR dapat mengatasi kekosongan pengaturan masalah paling dasar, yaitu kebutuhan makanan bergizi. “MPR memiliki satu hak yang tidak dimiliki lembaga lainnya yakni hak mengeluarkan Ketetapan MPR (Tap MPR),” ujarnya. Dengan cara ini, seluruh lembaga negara wajib melaksanakan Tap MPR tersebut.
Kedudukan Tap MPR berada di atas UU atau lebih tinggi dari UU. Tap MPR ini dapat menjadi landasan dan pedoman bagi presiden terpilih untuk mengajukan anggaran ke DPR agar selanjutnya disahkan menjadi UU APBN. Selain itu, Tap MPR juga menjadi pedoman bagi lembaga negara lain untuk turut serta dalam pencapaian program ini.
“Program makan bergizi gratis mendesak dilaksanakan sebagai strategi kunci bagi penyelamatan generasi dan keberlanjutan antar generasi,” tegas Salamudin.
Program ini tidak hanya penting untuk masa sekarang, tetapi juga mempersiapkan generasi unggul di masa mendatang bagi Indonesia emas 2045. Salamudin menekankan bahwa negara, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, harus turun tangan. “Negara yang merupakan pelaksana kedaulatan rakyat itu adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),” pungkasnya.
APBN 2025 dan Tantangan Kebijakan
Sebelumnya, pembahasan mengenai APBN 2025 menunjukkan tantangan besar dalam mengakomodasi berbagai program pemerintah. Kabar Bursa pernah memberitakan bahwa APBN Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat sempit untuk mengakomodasi program makan siang gratis bagi pelajar.
Bappenas mengusulkan agar defisit anggaran ditekan agar pemerintahan baru Prabowo-Gibran memiliki lebih banyak ruang fiskal untuk memasukkan program-program baru melalui mekanisme APBN Perubahan di masa mendatang.
Pada rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama tiga menteri koordinator (Menko) beberapa waktu lalu, Bappenas menekankan perlunya memberikan ruang bagi pemerintahan baru dalam menentukan prioritas anggarannya.
Meski program-program besar tetap diakomodir, detail implementasinya masih memerlukan penyesuaian lebih lanjut. Hal ini menggarisbawahi tantangan besar dalam mengalokasikan anggaran secara efektif tanpa mengorbankan proyek-proyek prioritas yang sudah ada, sekaligus memastikan program makan bergizi gratis dapat berjalan untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga hadir dalam rapat tersebut. Dia mengatakan pemerintah berkomitmen untuk menjaga kesehatan fiskal sambil tetap mendukung program-program prioritas.
“Kami berharap Bu Menkeu dan Komisi XI, kalau memang itu disepakati, defisit bisa lebih turun lagi 1,5-1,8 persen dari PDB supaya ada ruang fiskal bagi pemerintahan yang akan datang,” kata Menteri Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam rapat tersebut.
Solusi Anggaran
Salamudin meyakini terdapat banyak kemungkinan jika pemerintah bersedia melakukan berbagai terobosan. Terobosan tersebut antara lain meliputi refocusing anggaran, memangkas segala bentuk pemborosan, meningkatkan rasio penerimaan negara, dan melakukan penjadwalan ulang utang pemerintah.
Langkah-langkah lain yang dapat dilakukan termasuk pemberantasan korupsi secara lebih keras, mengatasi kebocoran sumber daya alam, menerapkan rezim devisa yang lebih terkontrol, dan langkah-langkah lain untuk mengamankan keuangan negara.
“Semua langkah ini adalah untuk memperbesar pendapatan negara dan mengefektifkan belanja negara,” kata Salamudin. (Alpin/*)