KABARBURSA.COM – Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menilai, pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) seringkali terjadi akibat minimnya proteksi dari pemerintah.
Ketua Umum Konfederasi KASBI, Sunarno menegaskan, minimnya proteksi terlihat dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang kebijakan impor. Menurutnya, regulasi itu memberi cela banjirnya produk tekstil impor yang mendominasi pasar domestik.
Sunarno menuturkan, Permendag 8/2024 memberi pembebasan Angka Pengenal Importir Umum (APIU) untuk memasukkan produk-produk tekstil impor, dipermudah lagi tanpa pemberlakuan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai salah satu syarat impor.
“Munculnya PHK besar-besaran tersebut juga karena minimnya proteksi pemerintah atas masuknya produk-produk impor TPT,” kata Sunarno dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis, 27 Juni 2024.
Di sisi lain, Sunarno menilai PHK buruh juga kerap kali menjadi akal-akalan para pengusaha dengan tujuan mendapat keringanan pajak, insentif negara, kewajiban status pekerja tetap menjadi kontrak, outsourcing, harian lepas, borongan, hingga mekanisme permagangan.
“Apalagi saat ini telah diberlakukan UU Omnibus Law Cipta Kerja maupun PP turunanya,” tegasnya.
Kendati begitu, Sunarno menyebut gelombang PHK di industri TPT kerap kali muncul setiap tahun. Bahkan, menjelang kenaikan upah hingga menjelang hari raya lebaran pun bayangan PHK tetap menghantui para buruh.
Padahal, kata Sunarno, produk tekstil masih menjadi bagian dari kebutuhan pokok masyarakat, di samping naiknya tensi geopolitik dunia. Akan tetapi, dia menegaskan PHK buruh mestinya bisa diantisipasi jika pemerintah bisa segera memberikan solusi.
“Manakala pemerintah hadir untuk menjawab dan memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan hubungan industrial. Karena PHK adalah bentuk pemiskinan rakyat oleh negara,” pungkasnya.
Anomali Tumbuh Ekspansif
Merujuk data survei Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada dua bulan terakhir, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masuk ke dalam 23 subsektor dengan kinerja ekspansif. Pada kuartal I tahun 2024, industri TPT menunjukkan perbaikan kinerja di mana produk domestik bruto (PDB) mengalami pertumbuhan sebesar 2,64 persen yoy.
Demikian juga secara Q to Q mengalami peningkatan 5,92 persen dibandingkan kuartal 4/2023 yang mengalami kontraksi -1,15 persen. Performa positif industri TPT juga tercermin dari capaian nilai ekspornya pada triwulan I-2024 yang mengalami peningkatan sebesar 0,19 persen atau senilai USD2,95 miliar
Kendati begitu, kinerja yang diprediksi ekspansif dinilai tak sejalan dengan nasib nasib yang menimpa sektor TPT sejak awal tahun 2024. Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), terdapat 6 perusahaan TPT yang terpaksa gulung tikar dan 4 perusahaan tekstil yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) efesiensi.
Menjadi persoalan kemudian, PHK menuntut perusahaan memenuhi kewajiban mereka untuk memberikan pesangon kepada para pekerja. Sepanjang tahun 2024, KSPN mencatat sekitar 13.800 pekerja yang terkena PHK.
“Untuk periode Januari sampai dengan awal Juni (2024), kami baru ekspose 6 perusahaan tutup dan lebih dari 4 perusahaan tekstil lakukan PHK efisiensi dengan total jumlah PHK 13.800-an pekerja,” kata Presiden KSPN, Ristadi, saat dibuhungi Kabar Bursa, Kamis, 13 Juni 2024.
Berdasarkan catatannya, Ristadi menyebut hanya dua perusahaan yang telah memenuhi kewajibannya kepada para pekerja yang terimbas PHK, yakni PT SAI Aparel dan PT Sritex Grup. Meski begitu, kata dia, terdapat 80 persen pekerja di sektor TPT yang belum memiliki kejelasan nasib pesangonnya.
“80 persen belum jelas hak-hak pesangonnya, (pesangon kerja) yang selesai baru sekitar 22 persenan,” ungkap Ristadi.
KSPN, kata Ristadi, mencatat adanya penurunan jumlah omset perusahaan-perusahaan di sektor TPT, khususnya pada perusahaan yang berorientasi pada produk-produk lokal atau local oriented.
Di pasar domestik, kata Ristadi, produk lokal kalah saing dengan barang-barang tekstil impor yang kian menjamur. Barangkali, lanjut dia, pemerintah luput mencatat perusahaan dengan local oriented dalam catatan pertumbuhan sektor TPT.
“Suatu ironi, kita sangat mampu memproduksi sendiri barang TPT tapi tidak bisa berdaulat disektor ini, karena importasi barang-barang TPT dengan harga lebih murah semakin meluas sehingga mengikis market pabrik produsen TPT dalam negeri,” ungkapnya.
Banjir Impor
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman menyebut, banjir impor dalam 2 tahun terakhir sangat keterlaluan hingga 60 persen anggotanya yang merupakan industri kecil menengah sudah tidak lagi beroperasi, sedangkan sisanya hanya jalan dibawah 50 persen.
“Pasar dalam negeri kita baik offline maupun online disikat semua oleh produk impor yang harganya tidak masuk akal” ungkap Nandi. Beberapa waktu lalu.
Ia meyakini, barang impor tersebut masuk dengan cara illegal mengingat harganya yang dipatok terlampau murah, bahkan dijual dibawah harga bahan bakunya. “Kalau impor garmen resmi kan ada PPN, bea masuk plus bea safeguard-nya, jadi tidak mungkin per potongnya dijual di bawah harga Rp. 50.000,-“ jelasnya.
Dengan harga yang sangat murah ini, lata Nandi, para pengusaha IKM maupun perusahaan besar tidak akan bertahan menghadapi persaingan dengan produk-produk impor. Untuk itu, dia mengaku tidak heran banyak perusahaan kecil maupun besar malaukan PHK dan penutupan pabrik.
Lebih jauh, Nandi juga berharap para pengusaha IKM tekstil mendapat ruang yang lebih besar di pasar domestik. Sebab, kata dia, daya beli di Indonesia masih besar ditambah inflasi yang masih relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya.
“Saya yakin kalau pasar domestiknya dijaga, setidaknya 70 persen pasarnya dikuasai pasar lokal, maka IKM Indonesia akan maju,” tutupnya.