Scroll untuk baca artikel

Menkeu Ungkap Perang Dagang Ubah Kebijakan Industri Global

×

Menkeu Ungkap Perang Dagang Ubah Kebijakan Industri Global

Sebarkan artikel ini
Sri Mulyani Indrawati
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati (Foto: Kabar Bursa/ Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi global saat ini sangat dipengaruhi oleh eskalasi konflik antarnegara di berbagai belahan dunia. Tidak hanya perang antara Rusia dan Ukraina atau Israel dan Palestina, ia juga mengamati perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang terus memicu ketegangan.

“Entah karena siklus pemilu di masing-masing negara atau memang suasananya meningkat, ini menimbulkan ketidakpastian global yang sangat tinggi,” ungkapnya dalam konferensi pers APBN Kita edisi Juni, Jumat, 28 Juni 2024.

Ketidakpastian dari perang dagang tersebut berdampak pada perubahan kebijakan industri, perdagangan, dan investasi di berbagai negara. Banyak negara melakukan tindakan pre-emptive berupa restriksi untuk melindungi kepentingan nasionalnya.

Dalam paparannya, tercatat setidaknya enam negara yang menerapkan kebijakan industri global. AS dengan CHIPS Act dan Inflation Reduction Act (IRA), sementara China melarang ekspor mineral kritis. Eropa menerapkan Green Deal Industrial Plan dengan mekanisme penyesuaian perbatasan karbon (CBAM), India menerapkan insentif terkait produksi, dan Korea Selatan dengan K-CHIPS Act.

Berkaca pada kondisi restriksi perdagangan tersebut, Sri Mulyani melaporkan peningkatan jumlah sanksi dan restriksi dagang. “Dalam 5 tahun terakhir, hubungan antarnegara secara global berubah drastis dengan eskalasi ketegangan dan persaingan antar negara yang makin sengit,” tuturnya.

Berdasarkan data yang dipaparkan, pada 2019 hanya terdapat 982 langkah terkait sanksi dan restriksi dagang global. Namun, pada 2023 angka tersebut melonjak menjadi 3.000 langkah. Kondisi ini semakin memperburuk ketegangan dan melemahkan perdagangan serta investasi global.

“Peranan institusi global menjadi makin lemah karena setiap negara cenderung melakukan tindakan secara sepihak atau jika ada sengketa dilakukan perundingan bilateral,” lanjutnya.

Meski kondisi global menekan ekonomi Indonesia, Sri Mulyani mencatat bahwa kinerja ekonomi Tanah Air masih menunjukkan ketahanan. Neraca perdagangan Indonesia masih melanjutkan tren surplus selama 49 bulan terakhir. Pada periode Januari-Mei 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan nilai surplus USD13,06 miliar, meskipun lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai USD16,47 miliar.

Waspadai Ketegangan Global

Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI), Doddy Zulverdi, menyatakan bahwa tantangan inflasi yang semakin meningkat di tengah ketidakpastian global harus diantisipasi. “Untuk menghadapi hal ini, perlu memperkuat sinergi dan kolaborasi dalam pengendalian inflasi di daerah, terutama melalui program unggulan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID),” ujar Doddy pada Jumat, 28 Juni 2024.

Meskipun ketidakpastian global terus berlanjut, ia menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional tetap solid berkat peran aktif pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Ia juga menekankan pentingnya sinergi dan kolaborasi dalam menjaga daya saing dan kualitas produk UMKM di daerah.

“Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, terutama dari sisi konsumsi, perlu terus memperkuat upaya mewujudkan ekosistem transaksi digital di daerah,” tambahnya.

Menurut dia, salah satu cara yang dapat dilakukan di antaranya semakin memperbanyak titik-titik penerimaan pembayaran transaksi digital baik di ritel maupun keperluan retribusi di daerah.

Ia mengatakan kelancaran transaksi dalam perekonomian melalui peredaran uang rupiah yang baik senantiasa memerlukan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan.

“Untuk itu, kami mengajak untuk bersama-sama menerapkan sikap Cinta, Bangga, dan Paham Rupiah di seluruh penjuru daerah agar perekonomian berjalan lancar dan tumbuh merata,” katanya.

Indonesia Mampu Bertahan

Meskipun demikian, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu mampu bertahan (survive) meski terjadi geopolitik global. “Dalam sejarah konflik global yang terjadi sejak tahun 2019, kemudian masuk (pandemi) COVID-19, Indonesia selalu survive dalam pertumbuhan ekonominya,” kata Bahlil, Kamis, 27 Juni 2024.

Menurut Bahlil, fondasi ekonomi Indonesia tetap kuat meski di tengah situasi ketidakpastian ekonomi akibat gejolak geopolitik global.

Bahlil menyebutkan, dinamika global yang bisa mengancam perekonomian Indonesia seperti perang dagang Amerika dan China, pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID 19, perang antara Ukraina-Rusia, Palestina dan Israel, hingga pelemahan nilai tukar rupiah.

“Dan sekarang masih terjadi perang dagang antara China dan Amerika. Itu cukup memberikan dampak pada posisi ekonomi global yang tidak menentu. Ukurannya pun jelas harga minyak sekarang masih tinggi, nilai tukar rupiah kita sekarang udah mulai turun,” ujar Bahlil.

Bahlil mengungkapkan bahwa meski terjadi hal itu, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu survive karena didukung oleh adanya peran UMKM yang cukup berkontribusi terhadap perekonomian nasional.

“Kenapa survive? Ada tiga rumus postur pertumbuhan ekonomi kita itu didorong oleh konsumsi, investasi dan ekspor-impor. 53 persen itu konsumsi, 30 persen investasi, serta PDB kita 61 persen itu dari UMKM, dan UMKM ini punya kontribusi yang besar,” ungkap Bahlil.

Ia menyebutkan UMKM sendiri berkontribusi sebesar 61 persen terhadap total produk domestik bruto (PDB) dan menyerap sekira 97 persen tenaga kerja lokal.

“Itulah kemudian kenapa menjadi alasan di tengah gempuran global ekonomi yang tidak menentu, fondasi ekonomi kita kuat, dan kontribusi UMKM ini dari tenaga kerja yang ada 130 juta di Indonesia, 120 juta (diantaranya) itu UMKM,” kata Bahlil. (*)