Scroll untuk baca artikel

Rupiah Lemah Farmasi Tiarap, Perlukah Tarif Medis Nasional?

×

Rupiah Lemah Farmasi Tiarap, Perlukah Tarif Medis Nasional?

Sebarkan artikel ini
Kimia Farma
Industri farmasi ikut berteriak karena lemahnya Rupiah terhadap Dolar AS. Foto: Dok Kimia Farma

KABARBURSA.COM – Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti, menilai lemahnya nilai tukar Rupiah dapat berimbas pada berbagai sektor usaha, tak terkecuali industri farmasi.

Sebagaimana diketahui, nilai tukar Rupiah sempat menyentuh Rp16.400 per dolar Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu. Adapun kondisi tersebut menjadi yang terlemah sejak 2020 lalu.

Esther menilai, lemahnya Rupiah berimbas pada industri yang mengandalkan bahan baku impor, sebagaimana industri farmasi. Meningkatnya kebutuhan impor, kata dia, berdampak pada membengkaknya biaya produksi.

“Nilai tukar ini dapat berimbas ke industri yang melambat jika bahan baku industri berasal dari luar negeri, sehingga kebutuhan nilai  impor meningkat dan mempengaruhi biaya produksi industri tersebut,” kata Esther kepada KabarBursa, Sabtu, 29 Juni 2024.

Tingginya biaya produksi, kata Esther, turut mempengaruhi harga produk final. Hal itu berdampak pada turunnya daya saing produk Indonesia lantaran harga yang terlampau lebih mahal.

“Harga produk final pun akan meningkat dan daya saing produk Indonesia turun karena harga produk Indonesia jadi lebih mahal dibanding negara lain,” ungkapnya.

Pada titik tertentu, kata Esther, hal ini akan menggerus omset industri dan berpotensi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efisiensi. Di sisi lain, hal ini juga akan mempersempit ruang fiskal.

“Ini berdampak pada nilai impor naik, karena impor dibayar dengan USD,” tegasnya.

Kecuali, kata Esther, pemerintah berani mengambil langkah dedolarisasi atau mengganti dolar yang biasa digunakan untuk transaksi bilateral. Akan tetapi, dia meyakini pemerintah tidak akan sampai pada tahap tersebut lantaran ketergantungan terhadap dolar yang tinggi.

“Dari awal ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan USD tinggi,” tutupnya.

Inflasi Medis Merangkak Naik

Persoalan industri kesehatan tidak berhenti pada farmasi yang terdampak lemahnya rupiah terhadap dolar AS. Mengacu hasil Survey Global Medical Trends 2024 yang dirilis Willis Tower Waston, biaya medis secara global terus mengalami kenaikan, di tahun lalu sebesar 10,7 persen. Jauh meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 7,4 persen.

Sedangkan di tahun ini, biaya medis global diprediksi ada diangka 9,9 persen. Adapun penyebab melambungnya biaya medis terjadi akibat penggunaan artifisial buatan, persoalan overtreatment di fasilitas Kesehatan, penggunaan layanan telemedis, hingga buruknya layanan Kesehatan.

Sementara, Indonesia sendiri diiprediksi akan mengalami kenaikan inflasi medis hingga menyentuh angka 13 persen di tahun 2024. Adapun angka inflasi medis Indonesia diklaim lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia.

Meski begitu, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat kinerja baik industri asuransi di Indonesia dalam laporan kinerja pada kuartal pertama, yakni dengan pendapatan premi yang tumbuh sebesar 11,7 persen, di mana total pendapatan premi tumbuh tipis sebesar 0,9 persen.

Akan tetapi, AAJI juga mencatat adanya kenaikan klaim asuransi yang juga meningkat seiring dengan naiknya tingkat inflasi medis dalam negeri. Dalam catatan AAJI, klaim kesehatan pada kuartal pertama 2024 sebesar 29,4 persen, di mana rasio klaim asuransi kesehatan terhadap pendapatan premi untuk produk tersebut sudah mencapai 97 persen.

Fakta tersebut menjadi salah satu bukti merangkaknya tingkat inflasi medis di Indonesia. Tingginya inflasi medis juga berdampak pada kenaikan harga fasilitas kesehatan, biaya rumah sakit, serta belanja obat-obatan.

Indonesia Tak Punya Tarif Medis Nasional

Chief Customer and Marketing Officer Prudential Indonesia Karin Zulkarnanen, menyebut, Indonesia belum memiliki kebijakan yang menetapkan tarif penangan medis secara nasional. Hal ini dinilai melahirkan perbedaan biaya pengobatan dan perawatan yang sulit dikontrol.

Kondisi ini berisiko memicu kualitas layanan medis yang tidak merata dan semakin sulit terjangkau oleh masyarakat luas, terutama di tengah melambungnya inflasi medis yang berdampak pada melonjaknya biaya perawatan fasilitas kesehatan,” kata Karin dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 28 Juni 2024.

Di sisi lain, pemerintah juga telah menyediakan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi masyarakat serta mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.

Karin menuturkan, kedua kebijikan itu diterbitkan untuk meningkatkan transparansi, kualitas, dan efisiensi pelayanan serta mengurangi variasi dalam pelayanan klinis. Dengan harapan penyesuaian tarif dapat diberlakukan di sektor swasta, khususnya dari sisi industri asuransi jiwa dan kesehatan.

“Karena dengan adanya standarisasi tarif yang diberlakukan, hal tersebut diharapkan dapat menjaga keberlanjutan perlindungan kesehatan yang diberikan perusahaan asuransi melalui kendali mutu (clinical pathway) dengan pemberian pelayanan kesehatan yang efisien, efektif, dan berkualitas,” jelasnya.(ndi/*)