Scroll untuk baca artikel

Bankir: Hanya RI yang Perpanjang Restrukturisasi Kredit

×

Bankir: Hanya RI yang Perpanjang Restrukturisasi Kredit

Sebarkan artikel ini
MGL0842 11zon scaled
Nasabah menarik tunai di salah satu ATM. (foto: abbas sandji)

KABARBURSA.COM – CEO Citibank Indonesia, Batara Sianturi, mengungkapkan bahwa tidak ada negara lain yang melanjutkan kebijakan restrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak pandemi Covid-19. Pernyataan ini disampaikan menanggapi usulan pemerintah untuk memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit yang seharusnya berakhir pada Maret 2024, menjadi 2025.

Batara menjelaskan, Citibank memahami latar belakang usulan perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit yang terdampak Covid-19, yaitu peningkatan rasio Non-Performing Loan (NPL) di sektor Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM). “Namun, jika kita melihat ke luar, sepertinya belum ada negara lain yang memperpanjang kebijakan relaksasi kredit, mengingat kondisi dan situasi secara keseluruhan sudah kembali ke pra-pandemi,” ujar Batara dikutip Sabtu 29 Juni 2024.

Secara umum, Batara menyebutkan bahwa NPL gross perbankan masih di bawah 3 persen atau masih dalam ambang batas 5 persen, kondisi yang cukup terkendali dengan didukung kecukupan cadangan (CKPN) yang memadai. Ia menekankan pentingnya sinergi dari berbagai pihak untuk mengantisipasi potensi bahaya yang mungkin timbul, serta memperhatikan status kredit agar setiap pihak dapat segera menyusun dan menerapkan action plan yang diperlukan.

“Penting juga untuk memperhatikan credit status sehingga setiap pihak dapat segera menyusun dan menerapkan action plan yang diperlukan,” kata Batara.

Ia menegaskan keyakinannya bahwa sektor perbankan akan terus berkinerja baik, tercermin dari rasio NPL di industri yang relatif rendah, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi RI yang relatif kuat. “Kami akan terus mendukung upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas sektor jasa keuangan,” tutup Batara.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan telah melakukan analisis dan survei komprehensif mengenai kesiapan bank dan industri yang terdampak Covid-19.

Hal ini menjadi pertimbangan utama dalam menghentikan kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 pada Maret 2024 lalu. “Kami sudah melakukan analisis dan survei secara komprehensif mengenai kesiapan bank dan industri yang terkena dampak Covid-19, khususnya UMKM, industri wilayah pelosok, dan daerah Bali,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, dikutip Sabtu 29 Juni 2024.

Pemerintah mengusulkan kebijakan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19, yang seharusnya berakhir pada Maret 2024, diperpanjang hingga 2025.

Usulan ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, setelah menghadiri rapat kabinet paripurna di Istana Negara, Senin 24 Juni 2024. “Arahan Bapak Presiden adalah bahwa kredit restrukturisasi akibat Covid-19 yang seharusnya jatuh tempo pada Maret 2024 diusulkan untuk mundur hingga 2025 melalui OJK, KSSK, dan Gubernur BI,” kata Airlangga dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube Sekretariat Kabinet.

Airlangga menjelaskan, perpanjangan kebijakan tersebut dapat mengurangi pencadangan dana yang dilakukan perbankan atas kerugian Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Restrukturisasi utang mundur dapat membawa implikasi signifikan bagi sektor perbankan. Proses ini melibatkan perusahaan atau individu yang mendekati kreditornya untuk merundingkan pembayaran kembali utang yang telah jatuh tempo atau bermasalah.

Restrukturisasi utang adalah strategi esensial yang diambil perusahaan untuk menyelesaikan potensi sengketa atau sengketa aktual terkait utang, baik yang tengah berjalan di pengadilan maupun di luar pengadilan.

Langkah ini mencakup kerjasama antara dua pihak, debitor (perusahaan yang berutang) dan kreditor (pihak pemberi pinjaman), dalam merancang strategi penyehatan yang terstruktur.

Proses restrukturisasi utang bukanlah hal yang sederhana. Implikasinya mencakup penyusunan ulang kontrak, penyesuaian terhadap perjanjian pembiayaan, serta strategi negosiasi yang kompleks.

Tidak jarang, pelaksanaan restrukturisasi utang menghadapi hambatan dalam mencapai kesepakatan dan mengatasi permasalahan utang macet yang dihadapi. Hal ini menjadikan proses restrukturisasi sebagai tantangan tersendiri yang memerlukan ketelitian dan kerjasama erat antara debitor dan kreditor.

Pada April 2024, kredit perbankan menunjukkan penguatan, tumbuh dari 12,40 persen year-on-year (yoy) menjadi 13,09 persen yoy. Namun, di sisi lain, pertumbuhan kredit untuk sektor UMKM mengalami pelambatan, turun dari 8,12 persen yoy menjadi 7,30 persen yoy.

Agar diketahui, Tingkat kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) di industri perbankan juga mengalami peningkatan, naik dari 2,25 persen pada Maret 2024 menjadi 2,33 persen di April 2024. Kenaikan ini terutama terasa pada sektor UMKM, yang mencatat lonjakan NPL dari 3,98 persen menjadi 4,26 persen setelah program restrukturisasi berakhir pada akhir Maret 2024.

Pertumbuhan kredit yang tidak merata ini mencerminkan tantangan yang dihadapi UMKM dalam menjaga stabilitas keuangan pasca-pandemi, sementara industri perbankan berusaha menavigasi lanskap ekonomi yang dinamis.

Restrukturisasi utang mundur bisa memicu penurunan kualitas aset perbankan. Jika pembayaran utang tidak terpenuhi sesuai jadwal awal, bank mungkin harus mengklasifikasikan utang tersebut sebagai kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Hal ini tentunya dapat berdampak negatif pada tingkat profitabilitas bank, menggerus keuntungan dan memperburuk kondisi keuangan lembaga keuangan tersebut. (*)