Scroll untuk baca artikel
Infacaft 2025 Kerjasama dengan KabarBursa.com
Market Hari Ini

Pengamat: Banyak BUMN yang Sudah Tidak Memenuhi Kriteria

×

Pengamat: Banyak BUMN yang Sudah Tidak Memenuhi Kriteria

Sebarkan artikel ini
MGL3042 11zon
Gedung Kementrian BUMN di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Pengamat BUMN Achmad Yunus, menyatakan bahwa beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kini tidak lagi relevan dengan kebutuhan dan kondisi zaman. Menurutnya, sejumlah BUMN yang dulunya dianggap penting, kini tidak lagi memenuhi kriteria sebagai perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Achmad menyoroti Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara hanya harus menguasai sektor-sektor penting bagi negara dan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, seiring waktu, beberapa BUMN seperti industri perhotelan dan pusat perbelanjaan tidak lagi memenuhi kriteria tersebut.

“Dulu, kita punya hotel dan mal karena investor di bidang itu belum ada. Namun sekarang, industri perhotelan dan pusat perbelanjaan tidak lagi penting bagi negara,” ujar Achmad kepada KabarBursa, Senin, 1 Juli 2024.

Menurut Achmad, banyak BUMN yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini sehingga bisa diprivatisasi. Ia mencontohkan PT Sarinah dan beberapa hotel milik negara yang pada awal kemerdekaan sangat dibutuhkan, namun kini tidak lagi esensial.

“Indikator relevansi itu dinamis. Dulu gas dari PGN dianggap tidak penting karena hanya sisa produksi minyak. Tapi sekarang, gas menjadi penting, begitu juga dengan Telekom di era digital,” jelasnya.

Achmad pun menekankan pentingnya negara memprioritaskan BUMN yang memang memiliki peran strategis dan relevan dengan perkembangan zaman, seperti PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) yang sangat penting di era digitalisasi.

“Telekom sekarang menjadi penting karena era digital. Semua wilayah Indonesia harus mendapatkan akses internet, jadi Telekom harus dikuasai oleh negara,” kata Achmad.

Ia juga menyoroti beberapa BUMN yang meskipun terus disuntik modal oleh negara, tetap tidak mampu bertahan dan hanya membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sejumlah perusahaan telah masuk kategori tersebut dan akan segera dibubarkan, yakni PT Indah Karya (Persero), PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Amarta Karya (Persero), PT Barata Indonesia (Persero), PT Varuna Tirta Prakasya (Persero), serta PT Semen Kupang.

Achmad mengusulkan agar BUMN yang tidak lagi relevan segera dirikuidasi. “Negara tidak perlu mempertahankan BUMN yang justru menggerogoti APBN. Lebih baik dirikuidasi saja,” katanya.

Selain Telkom, ada beberapa BUMN lain yang masih memiliki potensi strategis dan relevan dengan kebutuhan saat ini, seperti Pertamina dan Garuda Indonesia. Kedua perusahaan ini harus tetap dikuasai negara karena perannya yang strategis.

“Pertamina dan Garuda Indonesia harus dikuasai oleh negara. Garuda sebagai national flag carrier sangat penting bagi identitas dan kedaulatan negara,” jelas Achmad.

Namun, Achmad juga mengkritisi praktik politik di BUMN yang seringkali mengisi jabatan komisaris dengan orang-orang terafiliasi politik. Dua perusahaan BUMN tersebut sering menjadi sasaran campur tangan politik ini.

Menurutnya, hal ini mengganggu kinerja dan arah pengembangan BUMN yang seharusnya profesional dan terlepas dari kepentingan politik.

“Komisaris yang berwarna politik tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Ini sangat berpengaruh pada kinerja dan roadmap BUMN,” ujarnya.

Antara Aturan dan Realitas

Fenomena politisi menduduki  kursikomisaris di BUMN kerap menjadi sorotan. Di era Jokowi, beberapa nama politisi dan relawannya menempati posisi strategis di perusahaan plat merah ini.

Pada awal periode pemerintahan pertamanya, beberapa politisi dan mantan relawan Jokowi masuk dalam jajaran BUMN. Laman Sekretariat Negara mencatat nama-nama seperti Refly Harun di Jasa Marga dan Diaz Hendroprijono di PT Telkomsel.

Selain itu, penunjukan Abdi Negara Nurdin, gitaris grup musik Slank, sebagai komisaris PT Telkom Indonesia pada Mei 2021 juga menarik perhatian publik. Penunjukan Abdi dinilai erat kaitannya dengan peran Slank sebagai sukarelawan pendukung Jokowi dalam dua pemilu, yaitu tahun 2014 dan 2019.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN mensyaratkan komisaris BUMN harus nonpartisan. Salah satu persyaratan materiil untuk menjadi komisaris di perusahaan milik negara tersebut adalah bukan pengurus partai politik dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif.

Undang-undang ini menjelaskan bahwa calon anggota legislatif atau anggota legislatif terdiri dari calon/anggota DPR, DPD, DPRD tingkat I, dan DPRD tingkat II; bukan calon kepala/wakil kepala daerah dan/atau kepala/wakil kepala daerah.

Berdasarkan salah satu persyaratan materiil tersebut, politisi yang diangkat sebagai komisaris di BUMN wajib meninggalkan aktivitas mereka dalam partai politik. Salah satu contohnya adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) pada November 2019. Ahok saat itu harus mengundurkan diri dari PDI-P meskipun setelahnya kembali aktif dalam kegiatan partai.

Singkirkan dari Kursi Komisaris

Pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, menekankan pentingnya perbaikan tata kelola BUMN agar tidak hanya berhenti pada pembubaran perusahaan. Salah satu poin krusialnya adalah soal pemilihan komisaris.

Herry mengkritik praktik penunjukan pejabat publik sebagai komisaris BUMN, yang berpotensi memicu konflik kepentingan dan persaingan tidak sehat dengan swasta. Ia melihat, peran ganda ini dapat memengaruhi objektivitas pejabat dalam menjalankan tugasnya sebagai operator.

Dia mengusulkan agar tradisi pemberian jabatan komisaris BUMN sebagai hadiah atau tempat penampungan politikus dihapuskan. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah mencabut kewenangan Kementerian BUMN dalam menunjuk komisaris.

Herry juga menyoroti banyak birokrat, bahkan hingga Eselon II di kementerian, menjadi komisaris di BUMN. Dia menyebut hal ini mencerminkan contoh buruk dalam tata kelola perusahaan negara.

“Jangan juga jadikan BUMN tempat para birokrat mencari tambahan penghasilan dengan menjadi komisaris,” ujar Herry kepada  KabarBursa, Jumat, 28 Juni 2024.

Langkah kedua yang diusulkan Herry adalah mencabut kewenangan kementerian teknis dalam mengelola BUMN. Saat ini, berbagai kementerian seperti Kementerian Keuangan memiliki BUMN sendiri. Kontrol yang terpisah-pisah ini dianggap kurang efisien.

Herry mengatakan kewenangan Kementerian BUMN dalam menunjuk komisaris seharusnya dicabut. Kementerian BUMN cukup menjadi regulator dan pengawas, sementara penunjukan pengurus BUMN dilakukan oleh lembaga independen di bawah presiden yang diisi oleh orang dari beragam latar belakang. Hal ini diharapkan membuat proses penunjukan lebih objektif.

“Kalau perlu, presiden jadi Chairman BUMN seperti yang terjadi pada Khazanah, dengan Anwar Ibrahim sebagai Chairman di situ,” jelas Herry.

Khazanah Nasional merupakan perusahaan investasi milik pemerintah Malaysia yang berada di bawah kepemimpinan perdana menteri. Khazanah bertujuan untuk mengelola aset strategis negara dan memacu pertumbuhan ekonomi melalui investasi di berbagai sektor.(pin/*)