KABARBURSA.COM – Grafik harga saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) mirip dengan saham penny stock di negara berkembang, mengalami lonjakan sebesar 1.200 persen diikuti oleh dua kali penurunan lebih dari 40 persen dalam waktu kurang dari sembilan bulan.
Namun, BREN adalah perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia. Ia merupakan produsen energi panas bumi senilai USD85 miliar yang dikendalikan oleh salah satu konglomerat terkaya di negara ini.
Fluktuasi liar saham BREN, yang paling ekstrem di antara perusahaan global bernilai USD50 miliar atau lebih berdasarkan volatilitas 30 hari, telah membingungkan analis profesional. Ini memicu perdagangan di kalangan investor ritel, dan menantang upaya regulator untuk menertibkan pasar yang semakin bergejolak.
Episode ini menjadi pengingat baru bagi pengelola investasi internasional tentang kurangnya transparansi yang terkadang ditemui ketika berinvestasi di pasar saham Indonesia yang bernilai US$735 miliar. Grup Barito belum banyak menjelaskan mengapa sahamnya berfluktuasi begitu drastis.
Sementara otoritas bursa saham enggan mengungkapkan secara spesifik alasan di balik masuknya saham BREN ke papan pemantauan khusus full call auction (FCA) pada akhir Mei, yang menurut kritikus justru memperburuk volatilitas saham.
“Pembatasan perdagangan yang dimaksudkan untuk melindungi investor ironisnya justru merusak kepercayaan investor secara luas,” kata Mohit Mirpuri, manajer investasi di SGMC Capital Pte yang berbasis di Singapura.
“Dalam waktu dekat, situasi ini kemungkinan akan jadi penghalang masuknya investor yang risk-averse (tidak menyukai risiko), terutama jika dianggap sebagai indikasi ketidakstabilan pasar yang lebih luas atau tantangan regulasi,” sambungnya.
Kontroversi ini bermula pada Juni lalu ketika bursa meluncurkan daftar saham dalam pemantauan khusus FCA. Aturan ini diharapkan menjadi solusi menyeluruh yang dirancang dengan hati-hati oleh regulator untuk mengembalikan kredibilitas pasar saham terbesar di Asia Tenggara tersebut, khususnya saham-saham yang sebelumnya dirundung oleh volatilitas tinggi dan likuiditas yang menyusut.
Berdasarkan aturan bursa, sebuah perusahaan dapat dimasukkan ke dalam papan pemantauan khusus FCA karena beberapa alasan, termasuk pertumbuhan pendapatan nol, likuiditas tipis, dan transaksi di bawah 51 rupiah per saham selama tiga bulan.
Pada bulan Maret, bursa menerapkan FCA pada semua perusahaan dalam daftar pantau mereka. Mekanisme ini mencocokkan pesanan beli dan jual, seperti yang biasa digunakan oleh bursa utama dunia selama pembukaan dan penutupan perdagangan. Namun tidak seperti di papan reguler, proses ini hanya dilaksanakan empat atau lima kali dalam satu hari perdagangan.
Awalnya, pembatasan tersebut disambut dengan tenang. Namun, keadaan berubah ketika Bursa Efek Indonesia memasukkan Barito Renewables ke dalam daftar tersebut akhir Mei lalu, tanpa memberikan alasan spesifik selain menyebutkan “kenaikan harga saham yang signifikan” selama lebih dari satu hari.
Respons pasar pun cepat. Dalam dua minggu berikutnya, saham perusahaan tersebut anjlok hampir setengahnya, memangkas sekitar Rp700 triliun dari nilai pasarnya dan menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun hampir 5 persen. FTSE Russell pun lantas menunda keputusannya untuk memasukkan saham tersebut ke dalam indeks berkapitalisasi besar mereka yang seyogyanya bisa mendatangkan aliran dana asing baru.
Penundaan ini juga membuat marah investor lokal, yang berpendapat bahwa hal itu mengganggu stabilitas pasar dan menurunkan imbal hasil saham yang mereka pegang. Sebagai bentuk protes, mereka mengirim puluhan karangan bunga dukacita ke kantor bursa, serta mendesak penghentian lelang FCA. Sebuah petisi di Change.org yang ditandatangani oleh 16.000 pengguna juga menyerukan pencabutan lelang tersebut.
Namun Bursa Efek Indonesia bertahan dengan kebijakannya, dengan alasan bahwa hal itu telah meningkatkan harga untuk beberapa penny stock dan meningkatkan likuiditas. Kepala Eksekutif Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi mengatakan regulator mengacu pada aturan serupa di negara lain.
Sejak saat itu, pemilik perusahaan yang merupakan miliarder, Prajogo Pangestu, membeli sekitar 48 juta saham lagi, yang akhirnya mampu mendongkrak harga sahamnya hingga 1.342 persen jika dihitung sejak bulan Oktober ketika IPO, yang saat itu merupakan pencatatan saham yang paling ditunggu-tunggu di Indonesia. Sekretaris perusahaan, Merly, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa peningkatan kepemilikan Prajogo mencerminkan kepercayaan dirinya terhadap prospek perusahaan.
Akhir bulan lalu, akibat tekanan publik yang begitu besar, OJK akhirnya mengeluarkan Barito Renewables dari daftar pantaunya tanpa penjelasan lebih lanjut. Direktur Bursa Efek Indonesia, Jeffrey Hendrik, hanya mengatakan bahwa pencabutan sejumlah saham tersebut dari FCA adalah berkat peningkatan likuiditas.
Barito Renewables hanya memiliki satu analyst rating. Perusahaan ini dimiliki oleh PT Barito Pacific, yang mayoritas kepemilikannya dipegang oleh Prajogo. Saham BREN diperdagangkan di kelipatan 637 kali prospek labanya dalam 12 bulan, lebih dari tiga kali lipat PE ratio Adani Green Energy Ltd. Awal tahun ini, bursa Indonesia sempat memeriksa apakah ada manipulasi saham di perusahaan lain milik Prajogo yang ketika itu melonjak lebih dari 6,000 persen sejak IPO.
Investor khawatir masuknya perusahaan ke dalam daftar pantau dapat memancing respon seketika yang negatif dari para pedagang saham. Ada empat perusahaan di bawah naungan MNC Group yang masuk ke dalam daftar pantau pada akhir Mei, termasuk PT MNC Asia Holding. Saham perusahaan tersebut anjlok 60 persen dalam dua minggu sejak masuk ke daftar pantau. Saham pengelola restoran PT Sari Kreasi Boga juga terjun bebas hampir 70 persen dalam waktu 3 minggu setelah masuk ke dalam daftar yang sama di bulan itu.
“Begitu saham memasuki (full call auction), rasanya seperti berada di penjara gelap, sehingga orang-orang panik jualan,” kata Hasan Zein Mahmud, mantan direktur bursa dan juga seorang investor di Sari Kreasi.
Analis mengatakan ketidakpastian ini akan mempercepat eksodus modal asing. Apalagi ditambah kekhawatiran makro ekonomi terkait kebijakan fiskal yang tidak pasti dan rupiah yang lemah yang telah memicu Morgan Stanley dan HSBC Holdings Plc untuk menurunkan peringkat saham Indonesia bulan lalu.
“Aturan FCA mungkin bermanfaat untuk saham penny stock yang kecil. Namun untuk saham-saham besar seperti Barito, hal ini justru menghalangi investor, terutama dana asing mengingat prosesnya yang kurang transparan dan tidak market-driven,” kata Sufianti, seorang analis. (*)