KABARBURSA.COM – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan keprihatinannya terhadap ketidakkonsistenan kebijakan yang menghambat perkembangan industri kesehatan dalam negeri, terutama terkait dengan kebijakan bea masuk untuk alat kesehatan.
Salah satu contoh yang dia berikan adalah terkait impor alat USG di Indonesia, di mana ada perbedaan signifikan dalam penerapan bea masuk antara impor alat USG yang sudah jadi dan impor bahan baku untuk produksi alat USG di dalam negeri.
“Alat USG yang diimpor langsung dikenakan bea masuk yang relatif rendah atau bahkan nol persen, sementara impor bahan baku yang diperlukan untuk produksi alat USG di dalam negeri dikenakan bea masuk sebesar 15 persen,” ungkap Budi Gunadi, Selasa, 2 Juli 2024.
Budi Gunadi menilai bahwa hal ini mencerminkan ketidakselarasan dalam kebijakan yang menghendaki pengembangan industri lokal dengan tidak memberikan dukungan insentif yang sesuai.
Menurut Budi Gunadi, kebijakan yang inkonsisten seperti ini tidak hanya menghambat investasi dalam pengembangan industri kesehatan di dalam negeri, tetapi juga tidak sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meningkatkan tata kelola industri kesehatan agar lebih efisien dan dapat meningkatkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut, Budi Gunadi menekankan pentingnya agar sistem kebijakan di Indonesia dapat menyokong visi jangka panjang untuk membangun industri kesehatan yang kuat dan tangguh, khususnya dalam menghadapi tantangan pandemi global yang dapat mengancam kesehatan publik.
“Upaya ini tidak hanya akan meningkatkan kemampuan negara untuk memproduksi alat kesehatan secara mandiri, tetapi juga dapat membantu mengurangi ketergantungan pada impor barang kesehatan yang dapat terganggu oleh fluktuasi pasar internasional atau krisis global,” ujarnya.
Dengan demikian, Budi Gunadi Sadikin mengajukan perlunya koordinasi yang lebih baik antara berbagai kebijakan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi industri kesehatan dalam negeri agar dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, sesuai dengan visi dan misi pembangunan nasional di bidang kesehatan.
Kemenkes Kaji Penerapan KRIS
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah mengkaji penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Evaluasi meliputi tiga aspek yaitu ekuitas, kualitas, dan tarif, sesuai masukan dari DPR.
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menjelaskan bahwa dari 253.124 tempat tidur di rumah sakit BPJS Kesehatan, penerapan KRIS berpotensi mengurangi 23.227 tempat tidur atau 9,1 persen dari total. Namun, hal ini tidak serta merta mengurangi akses masyarakat ke rumah sakit karena tidak semua rumah sakit memiliki rasio hunian tempat tidur yang sama.
“Secara keseluruhan, rasio hunian tempat tidur rumah sakit sekitar 50-60 persen. Dengan mengurangi tempat tidur, mungkin rasio hunian akan meningkat. Saat ini, rasio tersebut identik dengan 1,3 berbanding 1.000 penduduk,” ujar Dante dalam rapat dengar pendapat mengenai BPJS Kesehatan, Kamis, 6 Juni 2024.
Rasio ini sejalan dengan mandat WHO yang menyatakan bahwa rasio tempat tidur adalah 1 berbanding 1.000 penduduk.
Kemenkes juga akan mengevaluasi kualitas kebijakan KRIS. Idealnya, program ini meningkatkan kualitas layanan dari 8-10 orang per kamar menjadi 4 orang per kamar. Namun, kualitas ini perlu dievaluasi dan diseragamkan agar semua rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, memenuhi kriteria KRIS.
Selain itu, tarif kebijakan KRIS sedang direvisi dan belum final. Pengurangan tempat tidur tidak akan merugikan rumah sakit. Saat ini, tarif iuran KRIS dikaji oleh Kementerian Keuangan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, BPJS Kesehatan, dan Kemenkes untuk menetapkan iuran yang tepat dan tidak memberatkan masyarakat.
“Evaluasi ini dan masukan dari anggota dewan akan kami jadikan pertimbangan apakah program KRIS disetujui, diteruskan, dievaluasi, atau ditunda,” jelas Dante.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan Perpres Nomor 59 Tahun 2024 yang menghapus kelas layanan 1, 2, 3 BPJS Kesehatan. Aturan ini mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan kelas rawat inap standar (KRIS) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan.
Polemik mengenai penerapan Sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) menggantikan kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan telah menimbulkan berbagai kekhawatiran dan perdebatan di kalangan masyarakat dan pemerintah. Penerapan KRIS masih dalam tahap uji coba dan evaluasi.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) demi memastikan publik tetap mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
“KRIS mendapat banyak sorotan karena diduga akan mengurangi akses masyarakat terhadap layanan kesehatan,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Dalam rapat DPR RI bersama Kemenkes, DJSN, dan BPJS Kesehatan, Edy menegaskan bahwa niat baik untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan melalui KRIS perlu diapresiasi, namun pelibatan masyarakat dalam penerapannya sangat penting.
“Mereka yang membayar iuran sekaligus menikmati fasilitasnya,” tambah Edy.
Dia juga menyoroti bahwa pemerintah belum menetapkan iuran karena masih menghitung aktuaria. Kabar beredar menyebut akan ada iuran tunggal, yang perlu segera dijawab pemerintah untuk memberikan kepastian.
“Jika iuran benar satu harga, ini bisa mengaburkan prinsip gotong royong di JKN dan menurunkan pendapatan iuran JKN,” jelasnya.
Edy menambahkan, jika iuran harus naik, harus ada sosialisasi kepada masyarakat, dan jangan dilakukan mendadak.
“Sampai Juni 2025 masih ada waktu untuk survei atau FGD dengan masyarakat mengenai layanan kesehatan yang diinginkan dan kemampuan membayar iuran,” ungkapnya.
Dengan informasi ini, pemerintah dapat memperbaiki desain rawat inap standar yang seimbang antara akses dan pembiayaan.
Edy juga menyoroti Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 yang mengharuskan RS swasta menyediakan minimal 40 persen tempat tidur untuk KRIS, sementara RS pemerintah minimal 60 persen. Meskipun ini minimal, banyak RS swasta kesulitan menyesuaikan ruang perawatan dengan syarat KRIS.
“Saya khawatir ini bisa menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan,” katanya.
Dia mengaku sering mendengar keluhan dari RS, terutama RS swasta milik organisasi keagamaan, yang kesulitan mencari dana untuk memenuhi syarat KRIS.
“RS pemerintah didukung APBD, RS swasta mungkin ada investasi, tapi RS swasta keagamaan yang bergantung pada iuran masyarakat kebingungan mencari dana,” ucap Edy.
Dia juga khawatir jika KRIS diterapkan dan ada RS yang belum memenuhi standar, maka RS tersebut akan diputus kerjasamanya dengan BPJS Kesehatan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.
Selain itu, Edy menyoroti ketidaksesuaian antara laporan Kemenkes dengan data di lapangan. Kemenkes menyebut banyak rumah sakit sudah siap mengganti kelas rawat inap menjadi KRIS, namun data di lapangan berbeda.
“Saya minta pemerintah mematangkan lagi konsep kelas rawat inap ini,” tutupnya. (*)