Scroll untuk baca artikel
Infacaft 2025 Kerjasama dengan KabarBursa.com
Market Hari Ini

DPMPTSP Jateng Bantah PHK Massal di Rembang

×

DPMPTSP Jateng Bantah PHK Massal di Rembang

Sebarkan artikel ini
Pekerja Tekstil11
Aksi unjuk rasa buruh tekstil atas Permendag 8 yang membuat PHK besar-besaran. Foto: KabarBursa/Yoga

KABARBURSA.COM – Bidang Pengawasan dan Pengendalian Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) dengan tegas membantah isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di dua perusahaan padat karya di Rembang. Isu tersebut dinyatakan tidak benar oleh pihak DPMPTSP Jateng.

Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian DPMPTSP Jateng, Primasto Ardi Martono, menyatakan bahwa PHK massal tidak dilakukan oleh kedua perusahaan tersebut, meskipun mereka menghadapi penurunan jumlah pesanan produk.

Hal ini disampaikannya setelah melakukan tinjauan langsung ke PT Parkland World Indonesia (PWI) di Kecamatan Rembang dan PT Handal Sukses Karya (HSK) di Kecamatan Pancur belum lama ini.

“Bahkan, kedua perusahaan tersebut tetap optimistis terhadap peningkatan jumlah pesanan di masa mendatang, sehingga tenaga kerja aman dari ancaman PHK massal,” ujar Primasto, Kamis, 4 Juli 2024.

Primasto juga mengapresiasi langkah perusahaan yang memilih untuk tidak melakukan PHK meskipun menghadapi penurunan pesanan.

“Kami mengapresiasi bahwa perusahaan ini tidak melakukan PHK, meskipun jumlah pesanan produk mengalami penurunan,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan bahwa meskipun sektor tekstil memang mengalami PHK, perusahaan di sektor alas kaki yang produknya sebagian besar diekspor tidak terlalu terpengaruh seperti sektor tekstil yang juga menjual produk di pasar lokal.

Senada dengan itu, Kepala Bidang Penanaman Modal DPMPTSP Kabupaten Rembang, Lilis Indrasari, menyatakan bahwa kondisi tenaga kerja di dua perusahaan tersebut masih aman dari PHK massal.

Menurutnya, kebijakan perusahaan yang berupaya mempertahankan pekerjanya meskipun permintaan produk menurun menjadi faktor utama keamanan tersebut.

“Memang ada penurunan pesanan, tetapi kebijakan perusahaan lebih memilih untuk tidak mengurangi karyawan. Secara keseluruhan, situasi masih kondusif,” tandas Lilis.

Dengan demikian, meskipun ada tantangan dari sisi penurunan pesanan produk, kedua perusahaan padat karya di Rembang tetap berkomitmen untuk menjaga stabilitas tenaga kerja mereka.

Keberlanjutan operasional dan optimisme terhadap peningkatan pesanan di masa depan menjadi kunci utama yang menjamin keamanan para pekerja dari ancaman PHK massal.

Banyak PHK jadi Faktor Deflasi

Banyaknya pengakhiran hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya deflasi naik pada Juni 2024.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan pada Juni 2024 terjadi deflasi sebesar 0,08 persen secara bulanan (month to month/MoM).  Data ini mengalami kenaikan sebesar 0,02 dibanding Mei 2024.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memprediksi deflasi pada Juni 2024 terjadi dikarenakan banyaknya PHK. Akibatnya, kondisi ini menurunkan sisi permintaan.

“Bisa jadi ini menunjukan gelombang PHK yang terjadi ini menurunkan sisi permintaan sehingga produsen juga tidak terlalu berani untuk menyesuaikan harga,” ujarnya kepada Kabar Bursa, Selasa 2 Juli 2024.

Meskipun faktanya nilai tukar rupiah dan suku bunga membuat biaya produksi menjadi naik, Bhima melihat produsen belum berani untuk menaikkan harga di tingkat retail.

Lebih lanjut Bihima menuturkan, pada deflasi Juni 2024 ini, inflasi intinya sangat kecil. Kata dia, inflasi inti year on year atau secara tahunan itu hanya 1,9 persen.

Menurut dia, hal tersebut harus menjadi catatan bahwa inflasi inti yang rendah menunjukan bahwa masih adanya tekanan dari sisi permintaan sehingga masyarakat menahan diri untuk belanja hingga lebih banyak untuk berhemat.

“Khususnya di kelompok kelas menengah ini bisa jadi karena adanya fluktuasi nilai tukar rupiah jadi mereka mempersiapkan beberapa bulan ke depan punya dana cadangan dan dana tabungan yang lebih besar,” jelasnya.

Sebelumnya diberitakan, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkap jumlah karyawan di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Wakil Ketua Umum API, David Leonardi, mengatakan hingga Mei 2024, pihaknya mencatat setidaknya ada sekitar 10.800 karyawan terkena PHK.

“Hingga Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri TPT kurang lebih terdapat 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK,” ujar dia kepada Kabar Bursa, Rabu 19 Juni 2024.

David  membeberkan sepanjang kuartal I 2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66.67 persen. Akan tetapi, lanjut dia, di luar angka ini terdapat tenaga kerja kontrak yang tidak tercatat.

“Di luar angka tersebut ada juga tenaga kerja kontrak yang tidak tercatat sehingga angka PHK yang sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan yang tercatat,” katanya.

David menambahkan, pihaknya juga mencatat setidaknya ada 20 hingga 30 pabrik tekstil yang tutup hingga saat ini.

Di sisi lain, dia menyinggung Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Menurutnya, kebijakan ini berdampak buruk bagi produsen pakaian di Indonesia.

“Hal ini sangat berdampak buruk bagi produsen pakaian jadi Indonesia karena impor produk pakaian jadi Indonesia akan masuk ke pasar dalam negeri Indonesia dengan lebih mudah,” jelas dia.

Lebih jauh dia menyampaikan, impor pakaian jadi yang besar, akan meruntuhkan ketahanan industri hilir TPT Indonesia dan memberikan domino efek pada industri intermediate hingga industri hulu TPT dalam negeri.

Di sisi lain, David mengungkapkan berbagai faktor yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil.

Dia menjelaskan salah satu faktor utama yang memicu PHK besar-besaran adalah kondisi ekonomi global yang sedang tidak stabil akibat inflasi.

“Kondisi ini diperburuk dengan adanya ketegangan di Timur Tengah yang berdampak pada jalur pelayaran, sehingga meningkatkan ongkos perjalanan secara signifikan,” tutur David.

Dia mengungkapkan, perang antara Israel-Palestina membuat kapal-kapal harus memutar jalur sehingga meningkatkan biaya pengapalan hingga lima kali lipat. Situasi ini menyebabkan kelebihan pasokan, termasuk dari Tiongkok sebagai produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar di dunia, yang kemudian membanjiri pasar global, termasuk Indonesia.

BPS melaporkan bahwa deflasi telah terjadi selama dua bulan berturut-turut yaitu pada Mei dan Juni 2024. Deflasi secara bulanan atau month to month (mtm) pada Mei sebesar 0,03 persen, sedangkan Juni mencapai 0,08 persen.

IHK Umum Turun

Secara lebih rinci, berdasarkan tahunan, IHK umum turun menjadi 2,51 persen year-on-year (yoy) pada Juni 2024 dari 2,84 persen yoy pada Mei 2024. Inflasi tahun kalender (year-to-date/ytd) untuk semester pertama tahun 2024 tercatat 1,07 persen, lebih rendah dari inflasi ytd 1,37 persen yang tercatat pada semester pertama 2023.

Deflasi bulanan pada kelompok harga bergejolak cenderung tercatat deflasi 0,98 persen mom pada Juni 2024 dari deflasi 0,69 persen mom pada Mei 2024, didorong oleh deflasi pada sebagian besar komoditas makanan.

Komoditas pangan yang berkontribusi paling besar terhadap deflasi adalah bawang merah (0,09 persen), tomat (0,07 persen), dan daging ayam ras (0,05 persen). Deflasi yang terjadi pada banyak komoditas pangan disebabkan oleh normalisasi harga setelah musim panen.

Namun demikian, beberapa komoditas seperti cabai merah dan cabai rawit masih mencatatkan inflasi karena pola tanam dan masa tanam cabai yang relatif lebih panjang dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya serta meningkatnya permintaan menjelang perayaan Iduladha. (bay/*)