Scroll untuk baca artikel
Infacaft 2025 Kerjasama dengan KabarBursa.com
Market Hari Ini

The Fed Diproyeksi Bakal Naikan Suku Bunga 5,5 Persen

×

The Fed Diproyeksi Bakal Naikan Suku Bunga 5,5 Persen

Sebarkan artikel ini
Mata Uang Asing
UTANG - Pemerintah Herman secara resmi menghapus utang Pemerintah Indonesia sebesar EUR75 juta atau sekitar Rp1,27 triliun. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)

KABARBURSA.COM – Di tengah kondisi ekonomi global yang penuh tantangan, Federal Reserve Amerika Serikat (The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga pada level 5,5 persen dalam upaya merespons tingginya tingkat inflasi yang masih melebihi ekspektasi.

Equities Specialist DBS Group Research Maynard Arif memproyeksikan The Fed akan kembali memangkas suku bunga sebesar 50bps pada semester dua 2024, membawa Federal Funds Rate (FFR) menjadi 5,0 persen pada akhir tahun. 

Insight tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk “Optimizing the Currency Volatility: Exploring Economic Projections and FX Investments with DBS Treasures Private Client”. 

“Dengan komitmen “Fortify Your Mark to Last for Generations”, memperkuat jejak kekal hingga generasi mendatang dengan menghubungkan nasabah kepada pakar finansial dari dalam dan luar negeri,” kata Maynard, di Jakarta, Jumat, 5 Juli 2024.

Terence Wu, FX Strategist dari Global Financial Markets DBS Bank, menyoroti tekanan yang dialami oleh selisih imbal hasil antara AS dan Jepang. Meskipun demikian, Wu memproyeksikan bahwa tekanan ini dapat berubah ketika The Fed mulai menurunkan suku bunganya.

“Tekanan terhadap USD-JPY diprediksi akan berubah ketika The Fed mulai menurunkan suku bunganya. Sedangkan untuk Indonesia, rupiah diharapkan dapat membaik seiring berkurangnya tekanan terhadap USD-JPY dan USD-CNH,” imbuhnya.

Perlu diketahui, Kepercayaan terhadap nilai tukar rupiah terus menjadi sorotan dalam pandangan ekonomi global saat ini, di mana pelemahan yang signifikan terjadi akibat dari penguatan mata uang dolar AS. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan banyak pihak, termasuk Presiden Joko Widodo.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah, menyoroti bahwa dolar AS telah menjadi “safe haven” utama dalam kondisi ketidakpastian global, yang menyebabkan permintaan terhadapnya meningkat secara signifikan.

“Karena dolar itu kan menjadi salah satu safe haven, safe haven itu kan ada dolar, ada emas makanya harga emas naik, harga dolar naik, ya karena dolar menguat semua mata uang di dunia ini mengalami pelemahan terhadap dolar,” kata Piter kepada Kabar Bursa, di Jakarta, Kamis 4 Juli 2024.

Menurut Piter, perbedaan tingkat pelemahan mata uang tergantung pada kondisi fundamental ekonomi masing-masing negara. Meskipun rupiah mengalami penurunan, evaluasi komprehensif menunjukkan bahwa kondisi saat ini belum seburuk masa krisis finansial sebelumnya seperti pada tahun 1997, 1998, atau 2008.

“Nah rupiah melemah itu artinya kepercayaan terhadap rupiah itu turun, ketika orang-orang itu sudah enggak percaya lagi, mulai berspekulasi terhadap dolar, nah itulah pelemahan rupiah akan jauh lebih dalam lagi,” jelasnya

Namun sebagian besar dari pelemahan saat ini lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu penguatan dolar AS, daripada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah.

“Kondisi sekarang ini belum diikuti dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Ini masih boleh dikatakan mayoritas lebih banyak disebabkan oleh penguatan dolar bukan disebabkan oleh hilangnya kepercayaan terhadap rupiah,” ujar Piter.

Piter juga menekankan pentingnya menjaga stabilitas mata uang dan kepercayaan masyarakat untuk mencegah penurunan nilai tukar yang lebih dalam. 

Meskipun nilai tukar rupiah saat ini berada di kisaran yang tinggi, upaya penguatan ekonomi domestik dan pengelolaan kebijakan moneter yang tepat dapat membantu mengurangi dampak negatif dari fluktuasi nilai tukar.

“Kapan orang itu sudah kehilangan kepercayaan terhadap rupiah  adalah ketika orang yang enggak ada urusan dengan dolar, enggak ada kepentingan dengan dolar tapi sudah mulai ikut-ikutan beli dolar,” imbuhnya.

Suku Bunga Ditahan

Awal Mei 2024 lalu, Bank sentral Amerika Serikat (AS), yang dikenal sebagai The Federal Reserve (The Fed), memutuskan untuk tidak mengubah suku bunga acuannya yang tetap stabil di level 5,25-5,50 persen untuk keenam kalinya berturut-turut pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.

The Fed menyatakan bahwa tidak akan ada kenaikan suku bunga dalam tahun ini, sambil menunggu lebih banyak data untuk memastikan penurunan inflasi yang signifikan sebelum mempertimbangkan pemangkasan suku bunga acuan.

Selama rapat Federal Open Market Committee (FOMC), The Fed telah meningkatkan suku bunga sebanyak 525 basis poin sejak Maret 2022 hingga Juli 2023. Mereka kemudian memutuskan untuk menahan suku bunga pada level 5,25-5,50 persen pada bulan-bulan terakhir.

“Inflasi telah melambat dalam satu tahun terakhir tetapi tetap tinggi. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, tidak ada kemajuan yang signifikan dalam menurunkan inflasi menuju target 2 persen,” demikian pernyataan resmi The Fed.

Inflasi AS naik menjadi 3,5 persen (year on year/yoy) pada Maret 2024 dari 3,2 persen (yoy) pada Februari 2024. Faktor-faktor seperti kekuatan ekonomi yang masih solid dan pemilihan umum yang akan datang pada November memperumit upaya penurunan inflasi.

Meskipun belum memberikan isyarat pemangkasan, The Fed secara tegas menyatakan kemungkinan kenaikan suku bunga di masa mendatang.

Jerome Powell, Ketua The Fed, menegaskan bahwa kebijakan untuk tidak mengerek suku bunga tahun ini sudah sangat jelas. “Saya rasa tidak mungkin ada kenaikan suku bunga dalam kebijakan mendatang,” ujarnya.

Selain kebijakan suku bunga, dalam rapat FOMC, The Fed juga mengumumkan bahwa mereka akan memperlambat proses pengurangan quantitative easing (QE) mulai 1 Juni 2024. QE telah membantu meredakan likuiditas dengan membeli obligasi senilai USD 120 miliar per bulan sejak pandemi Covid-19 pada Maret 2020.

Saat ini, neraca The Fed telah berkurang dari sekitar USD 9 triliun pada Juni 2022 menjadi USD 7,4 triliun, menunjukkan upaya mereka dalam mengelola likuiditas pasar.

Dengan mengurangi pembelian aset, The Fed berkontribusi pada kondisi “higher for longer”, di mana bunga yang tinggi mungkin diperlukan untuk menarik minat pembeli dalam pasar obligasi. (Dian/*)