Scroll untuk baca artikel
Market Hari Ini

Imbas Pemilu AS, Rupiah Kembali Masuk ke Zona Merah

×

Imbas Pemilu AS, Rupiah Kembali Masuk ke Zona Merah

Sebarkan artikel ini
Joe Biden
Joe Biden sebagai petahana melakukan debat pemilihan capres AS dengan Donald Trump sebagai lawannya. (Foto: Reuters)

KABARBURSA.COM – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpuruk pada perdagangan hari ini. Dinamika politik terkini di Negeri Paman Sam menjadi beban bagi rupiah dan mata uang Asia lainnya.

Pada Senin 22 Juli 2024, nilai tukar USD 1 setara dengan Rp 16.220 saat penutupan pasar spot. Mata uang Tanah Air melemah 0,18 persen dibandingkan posisi akhir pekan lalu.

Tidak hanya rupiah, sejumlah mata uang utama Asia pun ikut terperosok ke zona merah. Yuan China, dolar Taiwan, dan baht Thailand terdepresiasi masing-masing 0,11 persen, 0,11 persen, dan 0,31 persen.

Pasar dunia saat ini tengah mencermati perkembangan politik di AS. Joseph ‘Joe’ Biden mengumumkan pengunduran dirinya dari kontestasi pemilihan presiden (pilpres) AS. Biden akan tetap menjalankan tugasnya sebagai presiden, tetapi memutuskan untuk mendukung Wakil Presiden Kamala Harris sebagai calon presiden dari Partai Demokrat yang akan berhadapan dengan Donald Trump dalam pilpres November mendatang.

“Ketidakpastian meningkat saat ini. Kita tidak punya sejarah di mana ada kandidat yang maju tanpa prosedur yang semestinya. Jadi sekali lagi kita berada di situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Matt Maley, Chief Market Strategist di Miller Tabak + Co.

Perkembangan ini membuat investor memilih menempatkan dana di aset yang dipandang aman (safe haven). Salah satu yang jadi pilihan utama adalah emas.

Pada pukul WIB, harga emas dunia di pasar spot dibanderol USD2.401,18 per troy ons. Naik 0,26 persen dibandingkan akhir pekan lalu. Peningkatan permintaan di tengah ketidakpastian pasar membuat harga logam mulia tersebut bergerak ke utara.

“Emas pasti diuntungkan saat terjadi guncangan politik,” tegas Kyle Rodda, Analis Capital.com.

Pengunduran diri Biden dari pilpres AS dapat membawa konsekuensi berbeda bagi pasar keuangan. Apabila jalan Trump untuk kembali ke Gedung Putih makin mulus, ada kemungkinan AS akan menjalankan kebijakan fiskal longgar dengan defisit anggaran yang makin dalam.

Artinya, penerbitan surat utang pemerintah di AS akan bertambah. Akibatnya, harga akan turun dan imbal hasil (yield) meningkat.

Kenaikan yield akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Sebab, imbalan yang menarik di US Treasury Bonds akan mendorong aksi borong dolar. “Ke depan, sepertinya pasar akan meminta premi yang lebih besar,” ujar Fredrik Repton, Senior Portfolio Manager di Neuberger Berman.

Dinamika global, seperti kebijakan moneter Bank Sentral Amerika (The Fed), kondisi ekonomi Tiongkok, dan harga komoditas global, mempengaruhi nilai tukar rupiah secara signifikan dibandingkan faktor internal.

BI melakukan berbagai upaya intervensi moneter, penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan kenaikan BI rate untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Sulit untuk memprediksi secara pasti bagaimana kinerja rupiah di sisa tahun 2024. Hal ini karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dinamis.

Diperlukan upaya berkelanjutan dari pemerintah dan BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, termasuk dengan mengendalikan inflasi, mendorong ekspor, dan menarik investasi asing.

2024 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas moneter. Di satu sisi, rupiah mengalami tekanan dan terpuruk akibat berbagai faktor global, seperti kenaikan suku bunga The Fed, melambatnya ekonomi Tiongkok, dan perang di Ukraina. Di sisi lain, BI dihadapkan pada tugas untuk menjaga inflasi agar tetap dalam sasaran.

BI merespon situasi ini dengan menggunakan berbagai instrumen kebijakan moneter, BI telah menaikkan BI Rate secara bertahap sejak awal tahun 2024, dari 3,5 persen menjadi 5,5 persen per Juli 2024. Kenaikan suku bunga ini bertujuan untuk menarik investasi asing, memperkuat nilai tukar rupiah, dan mengendalikan inflasi.

BI juga melakukan Operasi Pasar Terbuka (OPTO) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. OPTO dilakukan dengan membeli dan menjual Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

BI melakukan intervensi di pasar spot dengan membeli dan menjual rupiah secara langsung untuk menstabilkan nilai tukar.

Selain instrumen kebijakan moneter di atas, BI juga melakukan berbagai kebijakan lainnya untuk menjaga inflasi, mengimbau kepada para pelaku usaha untuk menjaga harga barang dan jasa, memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan instansi terkait, meningkatkan komunikasi kepada masyarakat.

Upaya BI dalam menjaga inflasi mulai menunjukkan hasil. Inflasi yang sempat melonjak di awal tahun 2024 mulai menunjukkan tren penurunan. Pada bulan Juni 2024, inflasi tercatat sebesar 4,95 persen, lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan awal.

BI optimis bahwa inflasi akan terus terkendali dalam sasaran 2,3 persen-3,3 persen pada akhir tahun 2024. Membaiknya ekonomi global. Harga komoditas global yang mulai stabil. Upaya pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan.

Meskipun BI telah menunjukkan kinerja yang baik dalam menjaga stabilitas moneter, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi kedepannya beberapa diantaranya ketidakpastian ekonomi global yang masih tingi, harga pangan dan energi yang masih berfluktuasi, gangguan rantai pasokan global.

Fluktuasi Rupiah 2024

  • Triwulan I 2024: Rupiah mengalami depresiasi sebesar 2,89 persen year-to-date (ytd) per tanggal 28 Maret 2024. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lainnya.
  • Indikator Kinerja: Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa 40 indikator kinerja utama BI, termasuk tingkat inflasi inti, volatilitas nilai tukar rupiah, serta kecukupan cadangan devisa, tercapai dengan baik pada triwulan I 2024.
  • Target Rupiah: Dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah mengasumsikan nilai tukar di angka Rp15.000/USD. (*)