KABARBURSA.COM – Pemerintah mulai meluncurkan isu tentang pajak karbon terhadap pembelian bahan bakar minyak atau BBM berbasis fosil untuk sektor transportasi. Disampaikan Deputi III Bidang Pengembangan Usaha dan BUMN Riset dan Inovasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ellen Setiadi, mengaku telah melakukan pembahasan awal.
Adapun peta jalan pajak karbon ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu:
- Pemerintah mengusulkan penerapan pajak karbon bagi subsektor pembangkit listrik untuk mendukung dan menyesuaikan dengan peta jalan perdagangan karbon yang sudah ada atau eksisting.
- Pengenaan pajak karbon terhadap pembelian bahan bakar fosil untuk sektor transportasi.
Dalam agenda Perdagangan dan Bursa Karbon Indonesia, Selasa, 24 Juli 2024, penerapan pajak karbon terhadap dua sektor ini diharapkan dapat mencakup sekitar 71 persen jumlah emisi dari sektor energi, yaitu 48 persen dari pembangkit listrik dan 23 persen dari transportasi, yang setara dengan sekitar 39 persen dari total emisi Indonesia atau 47 persen dari emisi Indonesia selain forest and other land use (FOLU).
Ellen menekankan pentingnya dukungan finansial untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mencapai target kontribusi nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca.
“Pelaksanaan NEK dilakukan melalui mekanisme perdagangan karbon, pembiayaan berbasis kinerja, dan pungutan atas karbon,” ujarnya.
Sebagai bagian dari skema perdagangan karbon, pemerintah meluncurkan sistem perdagangan emisi atau emission trading system di sektor pembangkit listrik pada 22 Februari 2023. Hingga Desember 2023, transaksi perdagangan karbon mencapai 2,4 juta ton CO2 ekuivalen atau senilai Rp24 miliar.
Selain itu, pemerintah meluncurkan bursa karbon IDX Karbon pada September 2023. Dari Januari hingga 30 Juni 2024, nilai perdagangan karbon tercatat sebesar Rp5,9 miliar dengan volume perdagangan 114,5 ribu ton CO2 ekuivalen. Total sejak peluncuran hingga akhir Juni 2024, mencapai Rp36,7 miliar dengan volume 608 ribu ton CO2 ekuivalen.
Untuk skema pembayaran berbasis kinerja, Indonesia akan menerima dana dari berbagai program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Kalimantan Timur akan menerima USD110 juta untuk reduksi emisi sebesar 20 juta ton CO2 ekuivalen dari Forest Carbon Partnership Facility atau Carbon Fund. Jambi akan menerima USD70 juta untuk reduksi emisi sebesar 14 juta ton CO2 ekuivalen dari Bio Carbon Fund.
Green Climate Fund akan membayar sebesar USD103,8 juta untuk reduksi emisi sebesar 20,3 juta ton CO2 ekuivalen. Terakhir, kontribusi berbasis hasil dari Norwegia akan memberikan sebesar USD156 juta untuk reduksi emisi sebesar 31,2 juta ton CO2 ekuivalen.
Tingginya Transaksi Indeks Bursa Karbon
Deputi III Bidang Pengembangan Usaha dan BUMN Riset dan Inovasi Kemenko Perekonomian Elen Setiadi melaporkan, nilai transaksi bursa karbon di Indonesia telah mencapai Rp36,7 miliar sejak awal peluncurannya pada 26 September 2023 lalu sampai dengan 30 Juni 2024.
Volume transaksi perdagangan di bursa karbon juga tercatat sebanyak 608 ribu ton CO2 ekuivalen.
“Sejak peluncuran sampai akhir Juni 2024 nilainya telah mencapai Rp36,7 miliar dengan volumenya mencapai 608 ribu ton CO2 ekuivalen. Perdagangan karbon ini diharapkan menjadi instrumen vital dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai target dekarbonisasi,” kata Elen saat menyampaikan sambutan dalam webinar bertajuk Perdagangan dan Bursa Karbon di Indonesia 2024 di Jakarta, Selasa, 23 Juli 2024.
Adapun selama semester I-2024, Pemerintah mencatat nilai transaksi karbon mencapai Rp5,9 miliar dengan volume transaksi 114,5 ribu ton CO2 ekuivalen.
Elen menyampaikan, perdagangan karbon ini diharapkan menjadi instrumen vital dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai target emisi nol karbon (NZE) yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk 2060.
Global Risk Report 2024 dari World Economic Forum telah memberikan peringatan bahwa lima dari sepuluh risiko terbesar yang dihadapi dunia dalam satu dekade mendatang berkaitan erat dengan perubahan iklim.
Untuk memangkas GRK dan menuju emisi nol karbon, sebanyak 196 negara telah sepakat mengadopsi Paris Agreement pada 2015.
Komitmen ini bertujuan untuk menjaga agar kenaikan suhu tidak melampaui batas 1,5 derajat celcius dan mengurangi emisi global sebesar 45 persen pada 2030.
Sampai dengan April 2024, suhu rata-rata permukaan bumi sudah mencapai 1,28 derajat celcius di atas suhu era pra-industri.
Berdasarkan tren ini, lembaga riset Copernicus Climate Change Service juga memperkirakan kenaikan suhu bumi akan mencapai 1,5 derajat pada Mei 2033. Menurut Elen, hal ini perlu untuk menjadi perhatian bersama.
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional.(*)