Scroll untuk baca artikel

Ketika Muhammadiyah dan NU Disatukan oleh Tambang

×

Ketika Muhammadiyah dan NU Disatukan oleh Tambang

Sebarkan artikel ini
numuhammaiyan 1
Spanduk sindir NU dan Muhammadiyah (Foto: Antara)

KABARBURSA.COM – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah resmi menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) setelah melakukan kajian intensif bersama berbagai pihak selama lebih dari dua bulan.

Tim pengelolaan tambang Muhammadiyah dibentuk dengan Ketua PP Muhammadiyah bidang Bisnis dan Ekonomi sekaligus Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy sebagai ketua.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa hasil rapat pleno Muhammadiyah pada 13 Juli 2024 di Jakarta memutuskan bahwa Muhammadiyah siap mengelola usaha pertambangan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024.

“Muhammadiyah berkomitmen memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi, termasuk pengelolaan tambang sesuai ajaran Islam, konstitusi, dan tata kelola yang profesional. Kami amanah, penuh tanggung jawab, dan berorientasi pada kesejahteraan sosial, menjaga kelestarian alam secara seimbang, melibatkan sumber daya manusia yang andal dan berintegritas tinggi,” ungkap Abdul dalam konferensi pers yang ditayangkan secara daring, Minggu 28 Juli 2024.

Selain Muhadjir sebagai ketua, tim pengelolaan tambang Muhammadiyah juga memiliki M. Sayuti sebagai sekretaris. Anggota tim terdiri dari Anwar Abbas, Hilman Latief, Agung Danarto, Ahmad Dahlan, Bambang Setiaji, Arief Budimanta, Nurul M. Yamin, dan M. Azrul Tanjung.

Abdul menjelaskan bahwa Muhammadiyah baru menerima izin pertambangan karena membutuhkan waktu untuk melakukan kajian mendalam terkait kelebihan dan kekurangan keputusan tersebut. Kajian ini mencakup kritik dan pandangan dari berbagai pihak, termasuk akademisi, pengelola tambang, ahli lingkungan, majelis, serta lembaga di lingkungan Muhammadiyah.

“Kami tidak bimbang soal tambang, namun membahasnya secara seksama dan mendapatkan masukan dari berbagai unsur,” katanya.

Salah satu poin keputusan Majelis Konsolidasi Nasional menyebutkan bahwa pengelolaan tambang dilakukan dalam batas waktu tertentu dengan pemantauan atas manfaat dan kerusakan bagi masyarakat. Jika pengelolaan tambang lebih banyak menimbulkan kerusakan, Muhammadiyah secara bertanggung jawab akan mengembalikan izin usaha pertambangan kepada pemerintah.

Izin bagi ormas keagamaan untuk mengelola IUP tertuang dalam PP Nomor 25 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Perubahan aturan ini termaktub dalam Pasal 83A ayat (1), yang menyatakan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat ditawarkan secara prioritas kepada ormas keagamaan.

“Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan,” tulis beleid tersebut.

WIUPK yang dimaksud merupakan wilayah bekas izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang telah dicabut. IUPK dan/atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada badan usaha tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan Menteri. Ormas juga harus memiliki kepemilikan saham mayoritas dalam mengelola WIUPK tersebut dan tidak boleh bekerja sama dengan pemegang konsesi sebelumnya.

Dipisahkan Qunut Disatukan Tambang

Forum aktivis Cik Di Tiro mengadakan aksi simbolik di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (Unisa), Gamping, Sleman, yang menjadi lokasi rapat pleno PP Muhammadiyah, Sabtu 27 Juli 2024 siang. Di Convention Hall Masjid Walidah, sebelah utara kampus, PP Muhammadiyah bersama pengurus wilayah se-Indonesia akan membahas penawaran pemerintah terkait izin tambang melalui rapat pleno.

Dalam aksi ini, massa aktivis membawa dua spanduk dan sejumlah poster. Salah satu spanduk mengandung sindiran untuk PP Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), bertuliskan “Dipisahkan Qunut, Disatukan Tambang”.

Doa qunut memang menjadi salah satu perbedaan antara Muhammadiyah dan NU dalam melaksanakan ibadah salat Subuh. Warga NU melantunkan doa qunut, sementara Muhammadiyah tidak melakukannya.

Sementara PBNU telah lebih dulu menerima izin pengelolaan tambang, PP Muhammadiyah akan mengumumkannya secara resmi lewat pleno 27-28 Juli di Convention Hall Masjid Walidah Unisa.

Inisiator Forum Cik Di Tiro, Masduki, menjelaskan bahwa aksi simbolik ini mendesak agar PP Muhammadiyah menolak tawaran pengelolaan tambang dari pemerintah. “Kita mengingatkan Muhammadiyah untuk menjaga kewarasan, akal sehat bahwa ormas itu tugasnya menjadi masyarakat sipil, organisasi yang mengontrol negara, pemerintah dan berpihak pada kepentingan warga negara,” katanya usai aksi.

Dalam kasus tambang ini, ia melihat ancaman yang nyata. “Pertama, tambang itu merusak. Kedua, tambang itu merusak. Ketiga, tambang itu merusak,” tegasnya.

Masduki menerangkan bahwa urusan tambang ini nantinya akan merusak tata kelola ormas itu sendiri. “Coba kita lihat, Nahdlatul Ulama, sudah rusak itu,” sambungnya. Menurutnya, pertambangan telah merusak hak-hak sipil warga negara dan sudah banyak korban terpapar bisnis ekstraksi ini.

Ketiga, tambang merusak kekuatan alternatif seperti Muhammadiyah-NU sebagai masyarakat sipil dalam sistem demokrasi. “Jadi, tidak ada manfaatnya, lebih banyak mudaratnya,” tegasnya.

Forum Cik Di Tiro akan menyerahkan pernyataan lengkap ke panitia soal desakan penolakan pengelolaan tambang, dengan harapan pernyataan ini menjadi masukan bagi PP Muhammadiyah. Sebagai simbol protes, salah seorang peserta bahkan membakar Kartu Tanda Anggota (KTA) Muhammadiyah, menyatakan ketidaknyamanan bahwa beberapa hari ini Muhammadiyah cenderung menerima konsesi tambang.

Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Azrul Tanjung, sebelumnya menyebut organisasinya sepakat menerima tawaran pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengelola tambang. Keputusan itu diambil setelah rapat pleno pertengahan bulan ini. Azrul mengatakan, pihaknya telah melakukan kajian mendalam sebelum menerima izin tambang. “Merujuk pada kajian itu, Muhammadiyah siap mengelola tambang,” ujarnya.

Azrul menjelaskan bahwa Muhammadiyah berdiskusi dengan para pakar sebelum mengambil keputusan tersebut. Mereka mempertimbangkan aspek-aspek ekonomi, bisnis, sosial, budaya, hukum, HAM, dan lingkungan selama tiga bulan terakhir ini. Kesimpulannya, Muhammadiyah menerima tambang karena Indonesia masih belum bisa melakukan transisi energi. “Jika manusia melepaskan ketergantungan terhadap batu bara, maka dunia akan gelap gulita,” ucapnya.

Azrul memastikan Muhammadiyah akan menambang dengan memperhatikan dampak lingkungan, mengusung program tambang hijau.

Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengatakan organisasinya akan menyampaikan sikap resmi terkait izin tambang usai pelaksanaan konsolidasi nasional Muhammadiyah pada 27-28 Juli mendatang. “Keputusan resmi pengelolaan tambang oleh PP Muhammadiyah akan disampaikan setelah Konsolidasi Nasional yang Insya Allah dilaksanakan 27-28 Juli di Universitas Aisyiyah Yogyakarta,” ujarnya. (*)