KABARBURSA.COM – Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengajak generasi muda untuk menumbuhkan kebiasaan bijak dalam konsumsi pangan guna mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.
“Stop boros pangan harus menjadi budaya yang dimulai sejak dini. Peran milenial sangat penting dalam mendorong dan menumbuhkan kesadaran untuk menghentikan keborosan pangan guna mencegah sisa pangan,” ujar Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas Nyoto Suwignyo dalam pernyataannya di Jakarta, Senin.
Sosialisasi Gerakan Selamatkan Pangan (GSP) melalui kampanye Stop Boros Pangan dilakukan oleh Bapanas sebagai upaya pencegahan food waste serta perubahan perilaku masyarakat.
Bapanas menggencarkan sosialisasi stop boros pangan melalui tulisan, konten video kreasi, hingga inovasi pengolahan pangan berlebih menjadi varian menu baru, sebagai upaya menarik anak-anak muda untuk mendukung gerakan ini.
“Kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan adalah kunci utama dalam menyelesaikan masalah pangan dan gizi. Peran generasi muda sangat penting dalam upaya pencegahan sisa pangan,” tambah Nyoto.
Sebelumnya, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengajak seluruh masyarakat untuk tidak membuang makanan.
“Mari kita membiasakan diri untuk tidak membuang makanan yang ada di meja makan. Kosongkan piring dan habiskan makanan yang ada,” kata Arief.
Arief menyebutkan bahwa menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas), Sisa dan Susut Pangan (SSP) terbesar di Indonesia terjadi di sub-sektor tanaman pangan, terutama padi, diikuti oleh hortikultura (sayuran dan buah-buahan).
Dalam peringatan tiga tahun Bapanas, digelar Festival Pangan Nusantara di Plaza Timur Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta pada Minggu (28/7).
Kegiatan ini sekaligus menjadi kampanye stop boros pangan yang dirangkaikan dengan berbagai aktivitas, antara lain senam stop boros pangan, pembagian makanan dan buku melalui food truck, serta pembagian telur matang kepada masyarakat yang hadir.
Menarik Minat Generasi Muda
Sektor pertanian tidak lagi menarik minat generasi muda, termasuk generasi Z (Gen Z), sehingga banyak yang enggan menjadi petani.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, memberikan tanggapannya terhadap situasi ini.
Dia berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, jumlah petani milenial (usia 19-39 tahun) hanya sekitar 6,1 juta orang, yang merupakan 21,39 persen dari total petani keseluruhan sebanyak 28,19 juta orang.
Arief mengamati bahwa banyak milenial yang enggan menjadi petani karena melihat bahwa profesi ini tidak menghasilkan uang yang memadai. Bahkan, seringkali petani mengalami kerugian daripada keuntungan yang diharapkan.
“Dalam benak milenial dan Gen Z, mengapa harus menjadi petani? Mereka merasa tidak mendapatkan penghasilan yang cukup stabil. Mereka bekerja keras, menghabiskan waktu dan tenaga, namun hasilnya seringkali tidak memuaskan,” kata Arief saat berbicara dalam Seminar Nasional bertajuk ‘Strategi Mewujudkan Swasembada Pangan Menuju Indonesia Emas 2045’, yang diselenggarakan di Gedung DPR RI, Kompleks Perlamen, Jakarta Pusat, 25 Juni 2024.
Arief juga membandingkan pendapatan dari pekerjaan di sektor modern yang umumnya memiliki gaji minimum sekitar Rp4 juta per bulan. Menurutnya, menjadi petani dalam jangka waktu yang lama tidak menjamin seseorang akan memperoleh kekayaan yang signifikan.
“Di era ini, menjadi petani tidak lagi dianggap sebagai profesi yang memberikan keuntungan finansial yang besar. Bandingkan dengan pekerjaan di sektor modern, di mana penghasilan lebih menjanjikan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Arief menekankan, perlunya perubahan paradigma. Menurutnya, skema yang diterapkan dalam sektor pertanian saat ini belum mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan.
Dia memandang perlu adanya upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian, namun tetap menjaga agar harga produk-produk pertanian tidak terlalu tinggi agar dapat bersaing dengan produk luar negeri.
“Kita harus berani berubah. Skema yang ada sekarang belum mampu menciptakan lonjakan produktivitas yang diharapkan. Kita perlu terus mengembangkan inovasi, namun tetap menjaga agar harga produk-produk pertanian tetap terjangkau agar dapat bersaing di pasar global,” pungkas Arief.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi gula dalam negeri pada tahun 2021 mencapai 2,35 juta ton. Dengan rincian, 1,06 juta ton gula yang diproduksi pabrik BUMN dan 1,29 juta ton yang diproduksi pabrik swasta.
Sementara pada tahun 2022, kebutuhan gula mencapai sekitar 6,48 juta ton. Dengan rincian, 3,21 juta ton gula krital putih (GKP) dan 3,27 juta ton gula kristal rafinasi (GKR). Dan, di tahun 2024, konsumsi gula nasional diprediksi menyentuh angka 7,3 juta ton yang terdiri dari kebutuhan gula konsumsi 3,2 juta ton dan kebutuhan gula industri sebesar 4,1 juta ton.
Menyiasati kebutuhan gula dalam negeri, Kementerian Pertanian (Kementan) mencanangkan program percepatan swasembada gula yang dilakukan sejak tahun 2020 untuk tahun 2024.
Menapaki tahun 2024, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen menilai, swasembada akan berat dicapai lantaran pemerintah kurang fokus dalam menangani persoalan di sektor pertanian, khususnya pada komoditas tebu dalam negeri sebagai bahan pokok produksi gula.
“Tebu sendiri ini, dari dulu itu cara nanganinnya enggak fokus,” kata Soemitro saat dihubungi Kabar Bursa, Senin, 17 Juni 2024. (*)