Scroll untuk baca artikel

Jelang Pelantikan Presiden Oktober, Watimpres jadi DPA

×

Jelang Pelantikan Presiden Oktober, Watimpres jadi DPA

Sebarkan artikel ini
Prabowo dan Jokowi
Prabowo dan Jokowi (Foto: AP)

KABARBURSA.COM – Presiden Joko Widodo, Senin 29 Juli 2024 didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara.

Menjelang pelantikan Prabowo sebagai presiden pada Oktober mendatang, isu penting berhembus mengenai perubahan status Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) serta penghapusan batasan jumlah anggotanya.

Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres, yang awalnya tidak termasuk dalam program legislasi nasional prioritas untuk periode 2020-2024, secara mengejutkan diproses dengan sangat cepat.

Pada Selasa 9 Juli 2024, Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk mengajukan rancangan undang-undang ini ke rapat paripurna, dengan sembilan fraksi menyetujui inisiatif tersebut.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, memandang langkah ini sebagai usaha bagi-bagi jatah jabatan kepada rekan koalisi presiden terpilih, Prabowo Subianto. Menurutnya, Wantimpres selama ini hanya memberikan nasihat yang seringkali tidak dilaksanakan, sehingga revisi ini tampak sebagai alat politik semata.

Politikus Partai Gerindra, Maruarar Sirait, menegaskan bahwa anggota DPA nantinya akan memberikan pertimbangan, masukan, dan saran kepada Presiden Prabowo Subianto. Ia juga mengungkapkan keyakinannya bahwa Presiden Joko Widodo akan bergabung dalam DPA, mengingat hubungan baik antara Jokowi dan Prabowo.

Meski tidak ada batasan jumlah anggota dalam revisi ini, Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislatif DPR, mengklaim bahwa perubahan nomenklatur dan syarat keanggotaan tetap bertujuan untuk memberikan pertimbangan yang efektif kepada presiden. Namun, kritik mengemuka bahwa revisi ini lebih merupakan upaya akomodasi politik ketimbang reformasi substansial.

Pada masa Orde Baru, Wantimpres dikenal sebagai DPA dengan kewajiban memberi nasihat kepada presiden. Namun, setelah penghapusan DPA pada tahun 2002 dan amandemen UUD 1945, lembaga ini dihidupkan kembali sebagai Wantimpres dengan pembatasan sembilan anggota.

Pakar hukum administrasi negara, Dian Puji Simatupang, menilai Wantimpres tidak efektif karena seringkali terdiri dari mantan pejabat yang cenderung taat kepada presiden. Ia mengusulkan agar revisi ini memperkuat peran lembaga tersebut dengan menambah tugas baru dan mengurangi jumlah anggotanya untuk meningkatkan kualitas saran yang diberikan.

Di sisi lain, Bivitri Susanti menilai revisi UU Wantimpres sebagai langkah untuk membagi kekuasaan kepada koalisi Prabowo. Ia berpendapat bahwa reformasi ini tidak mendesak dan hanya akan menambah beban anggaran negara tanpa memberikan manfaat yang signifikan.

Politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah, juga mengungkapkan kemungkinan bahwa DPA bisa diisi oleh mantan presiden, seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, atau Joko Widodo, sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa mereka.

Presiden Jokowi sendiri merespons bahwa perubahan ini merupakan inisiatif DPR, dan untuk keterangan lebih lanjut, masyarakat disarankan untuk bertanya langsung kepada DPR.

Perubahan ini memunculkan berbagai spekulasi dan pandangan, dari sekadar akomodasi politik hingga potensi transformasi kelembagaan, menanti bagaimana implementasinya akan mempengaruhi dinamika politik dan pemerintahan ke depan.

Dengan revisi Undang-Undang Wantimpres yang tengah bergulir, masyarakat dan pengamat politik kini menunggu dengan penuh perhatian terhadap implikasi dari perubahan ini.

Jika revisi disetujui, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) akan dihidupkan kembali dengan struktur yang lebih fleksibel, tanpa batasan jumlah anggota, dan akan berfungsi sebagai penasihat presiden.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa perubahan ini tampaknya lebih berorientasi pada pembagian kekuasaan di antara rekan-rekan koalisi presiden terpilih. “Ini jelas tampak seperti upaya bagi-bagi jatah kekuasaan,” ujarnya.

Bivitri menganggap revisi ini tidak lebih dari bentuk penghargaan politik, yang pada akhirnya tidak akan meningkatkan kualitas nasihat yang diterima presiden.

Maruarar Sirait, politikus Partai Gerindra, memberikan pandangannya bahwa DPA di bawah kepemimpinan Prabowo akan berfungsi lebih dari sekadar lembaga penasihat. Ia percaya bahwa anggota DPA akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam bentuk pertimbangan strategis dan masukan yang konstruktif untuk kebijakan pemerintahan.

Meskipun ada keyakinan bahwa revisi ini akan meningkatkan efektivitas lembaga, ada juga kekhawatiran mengenai potensi pengulangan pola lama.

Dian Puji Simatupang menyarankan agar DPR tidak hanya mengubah nomenklatur dan jumlah anggota, tetapi juga memperkuat peran dan fungsi DPA dengan memberikan tanggung jawab tambahan, seperti menangani pengaduan administratif dari warga.

Sementara itu, Luluk Nur Hamidah dari PKB melihat kemungkinan DPA menjadi platform bagi mantan presiden untuk terus berkontribusi secara konstruktif setelah masa jabatan mereka berakhir.

Ia mengusulkan agar anggota DPA terdiri dari tokoh-tokoh yang telah terbukti berintegritas dan memiliki pengalaman mendalam dalam pemerintahan, untuk memastikan bahwa lembaga ini dapat menjalankan perannya dengan efektif.

Revisi ini juga akan mempengaruhi bagaimana presiden baru, Prabowo Subianto, membentuk tim penasihatnya. Keputusan mengenai siapa yang akan dilibatkan dalam DPA dan bagaimana mereka akan menjalankan tugas mereka akan sangat menentukan efektivitas lembaga ini ke depan.

Apakah DPA akan menjadi lembaga yang benar-benar berfungsi untuk memberikan pertimbangan yang berharga, ataukah akan menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan, masih harus dilihat.

Presiden Jokowi, melalui tanggapannya, menunjukkan bahwa revisi ini adalah inisiatif DPR, dan ia menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga legislatif untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai perubahan ini.

Sementara itu, masyarakat dan pengamat akan terus memantau bagaimana revisi ini akan berdampak pada dinamika politik dan pemerintahan di masa depan.

Dengan segala pro dan kontra yang mengemuka, jelas bahwa perubahan ini bukan sekadar soal nomenklatur. Ia mencerminkan dinamika politik yang kompleks dan bagaimana kekuasaan serta posisi-posisi penting di dalam pemerintahan diatur dan dikelola.

Saat kita menunggu pelantikan Prabowo Subianto, semua mata tertuju pada bagaimana lembaga ini akan berfungsi dan apa kontribusinya terhadap pemerintahan yang akan datang. (*)