KABARBURSA.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melanjutkan penyelidikan terhadap sejumlah pejabat Pertamina dalam kasus dugaan korupsi terkait pemberian hadiah atau janji dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Services (PES) Pte. Ltd., anak perusahaan PT Pertamina (Persero).
Jubir KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengungkapkan bahwa pemeriksaan berlangsung di Gedung KPK Merah Putih pada Rabu 7 Agustus 2024
Para saksi yang dipanggil mencakup Lina Rosmauli Sinaga, Manager Integrated Supply Planning PT Pertamina; Luhur Budi Djatmiko, mantan Direktur Umum PTMN PT Pertamina; Mei Sugiharso, VP Legal Counsel Downstream PTMN PT Pertamina; dan Mindaryoko, BOD Support Manager PT Pertamina.
Kasus ini merupakan isu lama yang belum tuntas dalam upaya pemberantasan mafia migas oleh KPK. Sebelumnya, KPK telah menetapkan Bambang Irianto, mantan Direktur Petral, sebagai tersangka penerima suap senilai USD2,9 juta pada 10 September 2019. Bambang juga diduga menerima sejumlah uang dari perusahaan Kernel Oil antara tahun 2010-2013.
Pada tanggal 13 Mei 2015, di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK), PETRAL dibubarkan secara resmi. Namun, nama PETRAL kembali mencuat ke permukaan setelah KPK mengumumkan penangkapan Bambang Irianto sebagai tersangka suap dalam kasus dugaan mafia migas pada 11 September 2019.
KPK kini kembali aktif menyelidiki kasus yang belum sepenuhnya terpecahkan ini. Dalam prosesnya, sejumlah saksi telah dipanggil untuk memberikan keterangan. Tessa menjelaskan bahwa keterlambatan dalam pengusutan kasus ini disebabkan oleh kebutuhan informasi dan data yang harus diperoleh dari luar negeri.
“Beberapa informasi dan data yang dibutuhkan berada di wilayah yuridiksi negara lain,” ujar Tessa.
Pekan ini, KPK melanjutkan pemanggilan saksi untuk mengusut kasus ini lebih lanjut. Saksi yang diperiksa mencakup mantan dewan komisaris PES dan mantan Direktur Keuangan PTMN PT Pertamina, Ferederick ST Siahaan; mantan dewan direksi PTMN PT Pertamina, Ginanjar Sofyan; Senior Analyst Downstream PT Pertamina, Imam Mul Akhyar; Account Receivables Manager PT Pertamina, Iswina Dwi Yunanto; Cost Management Manager
Kronologi Korupsi Pertamina Petral
Pada tahun 1969, Pertamina, bersama dengan kelompok kepentingan Amerika Serikat, mendirikan Perta Group untuk memasarkan minyak mentah serta produk minyak Pertamina di pasar Amerika Serikat. Perta Group memulai aktivitas perdagangan minyak pada tahun 1972 dan terdiri dari dua entitas utama: Perta Oil Marketing Corporation Limited yang berbasis di Bahama dan Perta Oil Marketing Corporation yang beroperasi di California, Amerika Serikat.
Pada tahun 1978, terjadi reorganisasi signifikan, di mana perusahaan yang berbasis di Bahama digantikan oleh Perta Oil Marketing Limited yang berbasis di Hong Kong. Pada September 1998, Pertamina mengambil alih seluruh saham Perta Group dan, pada Maret 2001, mengganti namanya menjadi Pertamina Energy Trading Limited (PETRAL). PETRAL berfungsi sebagai armada perdagangan dan pemasaran internasional Pertamina.
PETRAL mendirikan anak perusahaan di Singapura bernama Pertamina Energy Services Pte Limited (PES) pada tahun 1992. PES bertanggung jawab atas perdagangan minyak mentah, produk minyak, dan petrokimia. Pada masa itu, Indonesia merupakan pengekspor neto minyak bumi dan anggota OPEC, sehingga Perta Group berperan penting dalam pemasaran minyak bumi Indonesia.
Namun, seiring dengan perubahan status Indonesia menjadi net importir minyak, PETRAL, yang kemudian hanya dikenal sebagai PETRAL dengan PES sebagai anak perusahaannya, berperan sebagai agen pengadaan minyak dan bahan bakar. Dengan kebutuhan BBM yang terus meningkat, PES menjadi pemain utama dalam penjualan dan pembelian minyak mentah serta BBM.
Permasalahan serius muncul sejak 2014, sejalan dengan janji kampanye Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki sektor tata kelola migas. Presiden menunjuk Sudirman Said sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang kemudian membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin oleh Faisal Basri dan terdiri dari 12 pakar lainnya. Tim ini menyelidiki praktik impor BBM di PETRAL dan PES selama enam bulan.
Temuan tim mengungkapkan adanya penawaran yang tidak lazim, proses yang rumit, dan keterlibatan pihak ketiga sebagai agen. Mereka juga mencatat indikasi kebocoran informasi terkait spesifikasi produk dan owner estimate sebelum tender. Temuan ini menunjukkan adanya kekuatan tersembunyi dalam proses tender oleh PETRAL.
Rekomendasi tim mencakup:
- Pemindahan Proses Tender: Tender penjualan dan pengadaan impor minyak mentah dan BBM harus dilakukan oleh Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina, bukan oleh PES.
- Perubahan Manajemen: Segera mengganti manajemen PETRAL dan ISC, dari tingkat pimpinan tertinggi hingga manajer.
- Audit Forensik: Melakukan audit forensik oleh institusi audit yang kompeten di Indonesia dengan cakupan kerja hingga Singapura dan negara terkait lainnya. Hasil audit diharapkan dapat mengungkap potensi tindak pidana dan praktik mafia migas.
Tindak lanjut dari temuan ini termasuk pembekuan operasi PETRAL pada pertengahan Mei 2015, sesuai instruksi Presiden Jokowi. Menteri Sudirman Said dan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengikuti langkah tersebut.
Audit forensik dilakukan oleh Kordha Mentha, mengungkap bahwa jaringan mafia migas menguasai kontrak suplai minyak senilai USD18 miliar atau sekitar Rp 250 triliun selama tiga tahun. Pertamina mengeluarkan biaya hingga USD1 juta untuk audit ini.
KPK diharapkan dapat mengusut dan menyeret pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini, menandai langkah penting dalam upaya membersihkan industri migas Indonesia dari praktik korupsi. (*)