Scroll untuk baca artikel
Market Hari Ini

Hingga Juni 2024, BSI Griya Gelontorkan Rp54,43 Triliun untuk Pembiayaan Rumah Rakyat

×

Hingga Juni 2024, BSI Griya Gelontorkan Rp54,43 Triliun untuk Pembiayaan Rumah Rakyat

Sebarkan artikel ini
ilustrasi perumahan pekerja jpg
Ilustrasi perumahan pekerja. Foto: Nawacita

KABARBURSA.COM – PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) melalui BSI Griya melaporkan peningkatan pembiayaan perumahan sepanjang 2024. Terjadi peningkatan pembelian rumah baru.

Direktur Sales and Distribution BSI Anton Sukarna mengatakan, hingga Juni 2024, pembiayaan BSI Griya mencapai Rp54,34 triliun, dengan kualitas pembiayaan yang lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dia menyebut, BSI Griya menjadi produk pembiayaan paling diminati, khususnya untuk pembelian rumah baru. Rumah dengan harga di kisaran Rp500 juta sampai dengan Rp2 miliar menjadi pilihan favorit karena sesuai dengan rata-rata pendapatan karyawan.

Selain pembelian rumah baru, lanjut Anton memaparkan, kebutuhan untuk renovasi rumah, pembelian rumah bekas, dan take over rumah juga banyak diminati masyarakat.

“Kebutuhan ini mendorong BSI untuk memberikan berbagai alternatif solusi pembiayaan syariah bagi masyarakat dengan jangka waktu yang relatif panjang dan angsuran tetap, sehingga bagi anak-anak muda yang baru mau memiliki investasi rumah bisa memilih pembiayaan syariah,” kata Anton, Senin 26 Agustus 2024.

Berdasarkan data tersebut, Anton menyatakan BSI optimistis tren pembelian rumah akan terus mengalami peningkatan. Hal ini sejalan dengan stimulus yang diberikan pemerintah yaitu kebijakan program insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) melalui program Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 007 Tahun 2024, sehingga masyarakat bisa memiliki rumah baru tanpa harus membayar PPN.

PPN DTP itu dapat dimanfaatkan untuk setiap pribadi atas perolehan satu rumah tapak atau satu rumah susun.

Orang pribadi yang telah memanfaatkan insentif PPN DTP sebelum berlakunya PMK Nomor 120 Tahun 2023 dapat kembali memanfaatkan insentif PPN DTP itu.

Selain faktor kebijakan, menurut Anton, peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya memiliki hunian yang layak dan sesuai dengan prinsip syariah sebagai faktor kunci dalam pertumbuhan tersebut. Karena itu, Anton menyatakan keyakinannya bahwa tren pembelian rumah akan terus meningkat.

Hingga Juni 2024, tercatat lebih dari 200.000 nasabah yang telah memanfaatkan fasilitas BSI Griya.

“Permintaan terhadap pembiayaan syariah terus meningkat, terutama di segmen perumahan,” terang dia.

Selain itu, BSI juga berpartisipasi dalam program pemerintah dan memperhatikan kebutuhan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk memiliki hunian melalui BSI Griya Subsidi.

“Kami berkomitmen untuk terus menyediakan pembiayaan yang tidak hanya kompetitif dari sisi harga, tetapi juga memberikan keberlanjutan bagi nasabah,” pungkasnya.

Angka Blacklog Masih Tinggi

Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto, menyatakan terjadi ketidakselarasan antara pelaksanaan program pemberian Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan jumlah masyarakat yang belum memiliki rumah (blacklog).

Kondisi ini dipersulit karena tidak adanya data yang valid tentang berapa penduduk Indonesia yang belum memiliki rumah.

“Kalau bicarakan PR (pekerjaan rumah) terbesar kita adalah, kita enggak punya data yang pasti, berapa rumah yang tidak layak huni, dan siapa atau kelompok mana yang berhak memperoleh ini (FLPP),” kata Iwan di acara Proptech Convention and Expo di Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2024.

Meski ada indikasi yang menyebutkan ada indikasi penurunan backlog dari sekitar 12,7 juta pada tahun 2021 menjadi 9,9 juta, namun data riil mengenai kondisi masyarakat yang termasuk dalam backlog hingga kini belum diperoleh secara detail seperti nama dan alamatnya.

“Kita belum mendapatkan data riil sampai by name, by adress kondisi masyarakat yang memang bagian dari backlog itu,” ujar dia.

Diakuinya, meski program FLPP ini telah diluncurkan, fakta di lapangan ternyata tidak semua bantuan tepat sasaran.

Sebagai informasi, di tahun 2024, kuota bantuan FLPP sekitar 150.000 unit rumah, dan sudah tersalurkan.

Kata Iwan, saat ini Kementerian PUPR masih menunggu kebijakan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar dana tambahan dapat dikucurkan kembali pada bulan Desember 2024 mendatang.

“Tapi sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah agar bantuan investasi itu harus tepat sasaran,” imbuhnya.

Saat ini, Iwan menyebut banyak perumahan yang mendapatkan bantuan FLPP dan KPR tapi dibiarkan kosong oleh pemiliknya. Bahkan di beberapa provinsi, tingkat kekosongan ini bahkan mencapai 60 persen hingga 80 persen.

“Saya masih melihat, beberapa perumahan yang mendapatkan FLPP KPR dan sebagainya dibiarkan kosong,” ujar dia.

Oleh karena itu, Iwan memastikan pihaknya akan mempelajari masalah ini lebih detail.

Ditegaskannya, bantuan FLPP seharusnya diberikan kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan rumah, bukan hanya berdasarkan kelayakan administratif saja.

“Hal ini perlu menjadi perhatian, seharusnya FLPP ini diberikan kepada kelompok yang urgent, mendesak untuk kebutuhan rumah ini,” katanya.

Temuan lainnya, lanjut Iwan, yaitu pengalihan rumah yang seharusnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang didapatkan melalui program FLPP kepada pihak-pihak yang sebenarnya tidak berhak.

“Beberapa waktu lalu ditemukan pengalihan rumah-rumah MBR kepada pihak lain yang tidak berhak memperoleh itu. Ini menjadi perhatian kami,” tegas Iwan.

Lanjut Iwan, pada dasarnya pemerintah mendukung penambahan bantuan ini, tetapi akurasi dalam penyaluran bantuan harus menjadi prioritas untuk membangun akuntabilitas yang lebih baik.

“Jadi pemerintah mendukung untuk diberikan penambahan, tetapi akurasi dari ketepatan sasaran menjadi sebuah keharusan. Ini jadi bagian dari akuntabilitas,” terang dia.

Iwan menduga, salah satu penyebab utama ketidaktepatan sasaran karena kurangnya pemanfaatan teknologi yang efektif dalam penyalurannya. Sehingga sering kali bantuan yang diberikan diterima oleh individu atau kelompok yang seharusnya tidak layak menerima. (*)