KABARBURSA.COM – Sepanjang pekan perdagangan 2 hingga 6 September 2024, investor asing aktif melakukan aksi beli besar-besaran atau net buy, dengan total mencapai Rp13,45 triliun di seluruh pasar saham Indonesia. Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), aksi beli ini terbagi atas Rp3,2 triliun dari pasar reguler dan Rp10,24 triliun dari pasar negosiasi serta transaksi.
Total nilai perdagangan selama pekan tersebut mencapai Rp53,466 triliun. Dari jumlah itu, Rp7,78 triliun berasal dari pasar negosiasi, Rp45,68 triliun dari pasar reguler, dan sisanya sebesar Rp60,5 juta dari pasar tunai (cash market).
Besarnya volume pembelian asing ini juga memberikan dorongan bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang mencatatkan penguatan dan kembali memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH). Hingga akhir perdagangan Jumat, 6 September 2024, IHSG mengalami kenaikan sebesar 0,53 persen dan mencapai level 7.721,84.
Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) menjadi yang paling diminati oleh investor asing. Sepanjang pekan ini, mereka mengakumulasi saham bank pelat merah tersebut dengan nilai mencapai Rp834,3 miliar, yang menyebabkan saham BMRI menguat sebesar 1,06 persen. Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengikuti di posisi kedua, dengan akumulasi sebesar Rp498,9 miliar, yang turut mendorong kenaikan saham BBRI sebesar 0,49 persen.
Di posisi ketiga, saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), yang dimiliki oleh konglomerat Prajogo Pangestu, juga diakumulasi oleh investor asing sebesar Rp315,5 miliar. Akibatnya, saham BREN melonjak hingga 3,12 persen sepanjang pekan ini.
Namun, meskipun terjadi aksi beli besar-besaran oleh asing, BEI mencatat penurunan tajam dalam nilai transaksi harian pada awal pekan September. Nilai transaksi harian turun sekitar 70 persen menjadi Rp10,69 triliun dari sebelumnya Rp35,8 triliun. Meskipun demikian, volume transaksi naik sebesar 13,27 persen menjadi 21,98 miliar saham, meski frekuensi transaksi harian turun 6,44 persen menjadi 1,12 juta kali.
Aksi beli asing ini tidak terlepas dari sentimen global, terutama terkait data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang dirilis baru-baru ini. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah pekerjaan pada bulan lalu mencapai level terendah sejak awal 2021. Penurunan ini mengisyaratkan bahwa pasar tenaga kerja AS mulai melambat, membuka peluang bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga secara lebih agresif.
Bret Kenwell, pejabat senior di Bank Sentral AS yang berbicara melalui eToro, menyatakan bahwa saat ini peluang penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan The Fed di bulan September cukup tinggi. Namun, jika ada laporan pekerjaan yang lebih buruk dari perkiraan, penurunan suku bunga sebesar 50 basis poin dapat menjadi pilihan yang lebih mungkin.
Sementara itu, dari sisi domestik, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa cadangan devisa Indonesia pada Agustus 2024 naik signifikan menjadi USD150,2 miliar, meningkat sebesar USD4,8 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah cadangan devisa Indonesia.
Menurut BI, kenaikan cadangan devisa ini didorong oleh beberapa faktor, termasuk penerimaan pajak dan jasa, penerimaan devisa dari sektor migas, serta penarikan pinjaman luar negeri oleh Pemerintah Indonesia. BI mencatat bahwa peningkatan cadangan devisa ini menunjukkan stabilitas ekonomi Indonesia di tengah dinamika global yang terjadi.
J.P. Morgan Taruh Kepercayaan Positif pada IHSG
Head of Indonesia Research & Strategy J.P. Morgan Indonesia, Henry Wibowo, memberi pandangan positif terhadap pasar saham Indonesia. Adapun pandangan positif tersebut didasari kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang saat ini menyentuh level tertinggi.
Henry menilai, capaian kinerja positif IHSG didorong oleh penguatan mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mengutip data per 5 September 2024 pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup pada level Rp15.401 per dolar AS, menguat sebesar 78 poin atau 0,51 persen.
“J.P. Morgan menekankan kembali pandangan positif terhadap pasar saham Indonesia. IHSG saat ini mencapai level tertinggi sepanjang masa, dibantu oleh Rupiah yang menguat,” kata Henry di Jakarta, Kamis, 5 September 2024.
Sejak bulan Juni, tutur Henry, J.P. Morgan melihat kembalinya aliran dana asing yang menggembirakan, yakni sekitar USD600 juta. Kendati demikian, angka ini masih lebih kecil dari total arus keluar dana asing sekitar USD1,7 miliar dari bulan April hingga Mei.
“Oleh karena itu, mungkin akan ada lebih banyak aliran dana yang akan datang,” jelasnya.
Di sisi lain, Henry menyebut pemangkasan suku bunga The Fed yang kemungkinan terjadi pada bulan September menjadi katalis jangka pendek bagi IHSG. Menurutnya, hal itu akan menguntungkan arus modal dan likuiditas Indonesia.
“J.P. Morgan memperkirakan Bank Indonesia akan memangkas 50 bps pada bulan September-Desember tahun ini dan 50 bps lagi pada semester satu 2025,” ungkapnya.
Lebih jauh, J.P. Morgan percaya sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga seperti bank, properti, dan otomotif akan mendapatkan keuntungan dari potensi pelonggaran moneter.
Meskipun sebagian besar bank di Indonesia tidak akan mengalami ekspansi Net Interest Margin (NIM) selama siklus penurunan suku bunga, J.P. Morgan meyakini jasa keuangan dalam negeri dapat memperoleh manfaat dari peningkatan likuiditas dan arus modal.
“J.P. Morgan juga percaya bahwa aset-aset berdurasi panjang seperti perusahaan berbasis internet dan bank digital dapat menjadi penerima manfaat dari tren suku bunga yang lebih rendah,” tutupnya. (*)